Nationalgeographic.co.id—Sekitar Oktober 1945, Sukarno pernah mengajukan banding ke Amerika Serikat yang bersikap netral dalam perjuangan antikolonialisme yang merebak di seluruh dunia. Sayangnya, pengajuan banding ini tidak digubris oleh AS.
Perdana Menteri Indonesia pertama Sutan Sjahrir kembali ke Washington pada Desember untuk bertemu dengan Presiden Harry S. Truman.
Dia memohon, "dalam kapasitas Anda sebagai [Presiden] sebuah negara yang netral dan tidak memihak, [kami berharap] Amerika Serikat akan memberikan bantuan yang kami perlukan." Lagi-lagi, AS tidak menghiraukannya.
Ketidakpedulian AS bukan tanpa alasan. Mereka sedang disibukkan dengan membangun kembali sekutu-sekutunya di Eropa setelah Perang Dunia II. Bantuan yang diberikan berdasarkan Marshall Plan yang membuat negara-negara Eropa barat kelak harus membawa keuntungan pada AS. Dengan Marshall Plan, AS ingin membangun kekuatan menghadapi Uni Soviet yang juga kuat.
AS sendiri punya prinsip bahwa kemerdekaan dan kebebasan harus diperjuangkan. Sebab, AS sendiri merupakan bekas 13 koloni di benua Amerika yang pernah diperas Inggris. Mantan Presiden AS Franklin D. Roosevelt bahkan menyatakan, semua orang di muka bumi berhak untuk menentukan nasib sendiri, termasuk kemerdekaannya, melalui Piagam Atlantik 1941.
Masa awal setelah Perang Dunia II cukup sulit bagi AS untuk bersikap. Jauh sebelum Kekaisaran Jepang masuk ke dalam cerita sejarah kemerdekaan Indonesia, AS sangat berpihak kepada Belanda. AS tidak punya peran dalam urusan rumah tangga Belanda dan koloninya di Hindia karena kesepakatan politik.
Tanggung jawab AS jadi besar terhadap koloni Hindia Belanda menjelang Perang Dunia II. Sebelum Jepang masuk ke Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Van Mook dan Jenderal Douglas MacArthur sempat mengadakan kesepakatan tentang pengembalian Hindia ke Belanda setelah Perang.
Agustus 1945, Kekaisaran Jepang menyerah tanpa syarat, namun Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Selama 3,5 tahun kependudukan Jepang mendorong nasionalisme berkembang lebih pesat dari masa sebelumnya. Upaya kemerdekaan ini memiliki lembaga, rancangan ideologi, UUD, dan berbagai laskar pejuang yang terorganisasi.
Dalam buku War Against Japan Vol. 2, The Surrender of Japan, yang ditulis oleh veteran Sekutu menulis "Metamorfosis nyata terjadi selama tahun-tahun perang dan bangkitnya nasionalisme fanatik, yang karena alasan tertentu tidak disadari oleh Intelijen Sekutu dan Belanda."
Setelah Perang Dunia II, sikap AS atas antikolonialismenya yang netral cenderung berpihak secara diam-diam dalam kebijakan luar negeri. Dia justru mendukung sekutu-sekutunya yang sedang berupaya menancapkan kembali kolonialisme seperti Belanda di Indonesia dan Prancis di Vietnam.
Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam buku American Visions of the Netherlands East Indies/Indonesia mengungkapkan bahwa AS sangat berhati-hati untuk menjalankan agenda anti-imperialis yang sebelumnya diserukan Presiden Roosevelt.
Kondisi yang terjadi saat ini, AS berhadapan dengan negara-negara Eropa yang merupakan sekutunya untuk mempertahankan jajahannya. Di satu sisi, di negeri-negeri jajahan mereka menghadapi kekuatan komunis yang radikal dan bersekutu dengan serikat buruh yang membahayakan pemulihan kapitalisme di Eropa.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR