Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman di Turki memiliki tempat tersendiri dalam Sejarah Indonesia.
Kekaisaran Islam ini sendiri juga memiliki hubungan dengan beberapa Kerajaan di Nusantara pada waktu itu.
Bahkan pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 pada tahun 2015 di Keraton Yogyakarta, mengungkap hubungan antara Kekaisaran Ottoman dengan Kerajaan Jawa.
Namun tak hanya itu, beberapa kerajaan lain di berbagai wilayah di Indonesia juga memiliki hubungan yang tak jauh berbeda.
Hubungan antara Turki Utsmani dan Kerajaan Indonesia Timur
Dalam Majalah Ilmiah Tabuah, Meirison, Zulvia Trinova, dan Yelmi Eri Firdaus dari UIN Imam Bonjol Padang, menerbitkan artikel yang berjudul The Ottoman Empire Relations With The Nusantara (Spice Island).
Dalam artikel tersebut, mereka mengungkap bahwa Karaeng Pattingalloang, penguasa Kerajaan Bone di Sulawesi dan menantu Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa Tallo Makassar, gemar mempelajari ilmu dari berbagai belahan dunia, termasuk risalah Utsmani tentang pembuatan meriam.
"Pada 1580 M, Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate menerima kunjungan dari petualang Inggris Sir Francis Drake," ungkap Meirison dkk.
"Ia melaporkan kehadiran orang-orang Turki di Ternate."
Drake mencatat bahwa orang-orang ini disebut "Rum" (Romawi/ Eropa) dan berperan sebagai perantara untuk menjaga perdagangan dengan Ternate.
"Mereka belajar cara membuat meriam dan memproses mesiu dari Turki," lanjutnya.
Baca Juga: Para Pujangga Kerajaan Jawa Meromantisasi Kekaisaran Ottoman
"Ternate menarik bagi Turki Utsmani yang sudah memiliki banyak informasi tentang Asia Tenggara dari Kesultanan Aceh."
Faktanya, Laksamana Utsmaniyah Kurtoğlu Hızır Reis berniat mencapai Jawa, Kalimantan, dan Ternate, tetapi terjebak dalam pertempuran dengan armada Portugis di Sumatra.
Hubungan antara Turki Utsmani dan Kerajaan Aceh
Pada 11 November 2013, ratusan koin emas kuno Kesultanan Aceh ditemukan di Desa Pande, Aceh.
Beberapa koin tersebut bertuliskan Alauddin Shah Mahmud Al-Kahar, Sultan Aceh, bersanding dengan Sulaiman I, Sultan Turki Utsmaniyah, yang membuktikan hubungan diplomatik antara Aceh dan Kekhalifahan Utsmaniyah sejak abad ke-16.
Aliansi Aceh-Utsmaniyah telah ada sejak tahun 1530-an.
Sultan Alauddin al-Qahhar berusaha mengembangkan hubungan ini untuk mengusir Portugis dari Malaka dan memperluas kekuasaannya di Sumatra.
Menurut Fernão Mendes Pinto, Sultan Aceh merekrut 300 tentara Utsmaniyah.
Setelah 1562, Aceh tampaknya menerima bantuan tambahan, yang memungkinkannya untuk menaklukkan Aru dan Johor pada tahun 1564.
Pemerintah Aceh berulang kali mencoba menyerang Portugis di Malaka dan tempat-tempat lain di Selat Malaka.
Serangan pertama terhadap Portugis terjadi pada tahun 1524.
Baca Juga: Mengenal Suku Bangsa Oghuz: Leluhur Kekaisaran Ottoman dari China
Serangan berikutnya dilakukan oleh Aceh pada tahun 1568.
Meskipun serangan ini dilakukan dalam skala besar dengan bantuan tentara bayaran dari Turki, Malabar, dan Abbessinia, Aceh tetap tidak mampu mengusir Portugis dari Malaka.
Serangan serupa dilakukan pada tahun 1615 dan serangan terbesar pada tahun 1629.
Pada tahun 1629, Iskandar Muda melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka, hampir saja Portugis kalah jika mereka tidak mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk bertahan dari serangan Aceh.
Aceh sebagai Delegasi Pertama ke Istanbul pada 1562
Aceh mengirim delegasi pertama ke Istanbul pada tahun 1562, meminta bantuan berupa senjata artileri.
Sultan Suleiman I merespons dengan mengirimkan peluru, teknisi, dan seorang diplomat bernama Lutfi Bey.
Sultan Suleiman I mengirimkan armada kapal berisi prajurit, penasihat militer, teknisi meriam, dan pengrajin.
Sayangnya, armada yang dijadwalkan tiba di Aceh pada tahun 1568 dialihkan ke Yaman untuk memadamkan pemberontakan, hanya dua kapal yang tiba di Aceh tanpa senjata, membawa pedagang dan teknisi artileri.
Waktu berlalu, dan Aceh menghadapi ancaman baru dari Belanda. Pada tahun 1872-1873, Belanda berniat menyerang Aceh.
Shah Mahmud segera mengirim surat kepada Sultan Abdul Aziz dari Utsmaniyah untuk meminta bantuan.
Baca Juga: Meriam Lada Secupak: Tanda Cinta Kekaisaran Ottoman untuk Aceh
Tetapi pada saat itu, kekuasaan Sultan mulai melemah di bawah para menterinya, dan armada yang disiapkan untuk membantu Aceh akhirnya dipindahkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman Zaidiyah.
Hubungan antara Turki Utsmani dan Kerajaan Jawa
Budaya India memang mempengaruhi Nusantara sebelumnya, tetapi para penyair kerajaan Jawa sebagai penerus dinasti Mataram, di antaranya Kesunanan Surakarta, punya kebijakan untuk menghilangkan "kebesaran" India dari pemikiran Jawa.
Arab dan Turki dianggap dalam karya sastra kontemporer sebagai kontributor pada Keagungan Nusantara.
"Contoh yang dapat diambil adalah Serat Paramayoga oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita, penyair paling otoritatif dari Istana Surakarta," paparnya Meirison dkk.
Dalam karyanya, diceritakan bahwa tokoh Ajisaka, seorang pria India yang telah menjadi murid Nabi Muhammad, diperintahkan oleh Sultan Algabah dari Ngerum, nama untuk Turki Utsmaniyah saat itu, untuk mengembangkan pulau Jawa.
Dikatakan bahwa Pulau Jawa saat itu masih kosong dan belum dihuni oleh manusia.
Ajisaka pergi ke Jawa, ditemani oleh 200 orang. Namun, kelompok itu kemudian meninggal karena wabah penyakit, dan hanya beberapa ratus orang yang kembali ke negara asal mereka.
Pada waktu lain, Aji Saka kembali memimpin ekspedisi kedua ditemani oleh Patih Amiru Syamsu.
Misi kedua ini berhasil. Selanjutnya, Sultan Algabah melanjutkan ekspedisi ketiga untuk memajukan Jawa di bawah kepemimpinan Said Jamhur Muharram, yang langsung menuju Kediri, Jawa Timur.
"Cerita yang terkandung dalam Serat Paramayoga jelas hanyalah versi pseudo-historis," jelas Meirison dkk.
Baca Juga: Meriam Lada Secupak: Tanda Cinta Kekaisaran Ottoman untuk Aceh
Maknanya bukan benar-benar sejarah. Keberadaan Sultan Algabah bahkan sosok Aji Saka sendiri dan cerita yang mengelilinginya masih dapat diperdebatkan.
Pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 pada tahun 2015 di Keraton Yogyakarta juga menyatakan bahwa Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Khilafah Islam (Turki) untuk Tanah Jawa.
Turki menyerahkan bendera berwarna Laa ilaha illallah yang terbuat dari kain kiswah Ka'bah berwarna ungu kehitaman, serta bendera bertuliskan Muhammadarrasulullah berwarna hijau.
Duplikat bendera ini disimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Sri Sultan juga menyebutkan bahwa pada tahun 1903, saat kongres khilafah diadakan di Jakarta, Sultan Turki mengirim M Amin Bey yang menyatakan bahwa penguasa Muslim dilarang tunduk pada Belanda.
Berdasarkan dorongan Sultan, salah satu abdi Ngarso dalem Sultan Jogja kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan.
Aceh sejak masa Sultan Alauddin Riayat Syah (1537-1571) telah mengirim Husain Affandi ke Sultan Sulaiman Al Qanuni di Turki (1520-1566).
Kerajaan Demak membangun aliansi strategis dengan Daulah 'Aliyah' Utsmaniyah (Sunni) di Turki menghadapi dukungan Portugis dari Daulah Shafawiyah (Syiah) di Iran.
Sultan Agung Hanyokrokusumo melihat perlunya mengambil langkah lebih lanjut untuk memperkuat kerajaannya sebagai perwakilan sah kekuatan dunia Islam di Nusantara.
Begitulah Kekaisaran Ottoman dengan kekuatan militernya yang dominan, mampu mengontrol wilayah luas, menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai bangsa, dan mengumpulkan pasukan untuk pertempuran mereka.
Di Timur, khususnya, mereka mendekati masyarakat setempat dan mengundang mereka untuk membangun aliansi kuat dalam menghadapi perang.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Kapan Sebenarnya Konstantinopel Berubah jadi Istanbul?
Pasukan Turki berhasil menembus penjajah Portugis di seluruh Nusantara, mulai dari Aceh, Selat Malaka, Jawa, Kerajaan Mataram, Kesultanan Bone, hingga Kepulauan Buru.
Pasukan Turki datang ke Nusantara juga dengan tujuan berdakwah dan membangun persaudaraan di antara umat Islam.***
Baca Juga: Sejarah Dunia: Kala Ratu Inggris dan Sultan Ottoman Jalin Hubungan Mesra