Nationalgeographic.co.id—Saya termangu di depan lukisan yang menampilkan wajah seorang perempuan muda. Rambutnya hitam lurus dengan belahan tepat di tengah. Alisnya tipis, setipis rembulan hari pertama. Satu lagi, ia memiliki kekuatan pada matanya yang sendu. Sepasang bola matanya yang kelam itu tampak mengilap, menyembunyikan pesan melankolis.
Namun, ada yang garib dalam lukisan itu. Seekor capung berwarna biru melekat di dahinya. Sekilas serangga itu tampak mengganggu bagi siapa saja yang memirsanya. Kendati demikian, ekspresi wajah perempuan itu tetap menunjukkan pesan kesyahduan ekologis. Lukisan berjudul "Jarum Biru" itu merupakan salah satu karya Benedicta Alodia Santoso, atau akrab disapa Alodia Yap, yang dirampungkannya pada tahun ini.
Capung jarum ekor biru merupakan serangga predator perairan yang berasal dari subordo Zygoptera. Capung telah menghuni Bumi sejak lebih dari 300 juta tahun silam, atau hampir 100 juta tahun sebelum dinosaurus pertama muncul. Sejarah yang begitu panjang memungkinkan keanekaragaman serangga berkembang seiring waktu. Namun kini capung jarum memiliki status kerentanan "terancam punah" dalam daftar IUCN. Serangga ini begitu sensitif terhadap perubahan lingkungan karena polusi dan limbah, sehingga menjadi bioindikator lingkungan.
Serangga lain yang Alodia tampilkan dalam pameran ini adalah tonggeret—atau orang Jawa menjulukinya garengpung. Nyanyian serangga bernama ilmiah Cicadidae ini menjadi penanda pergantian musim. Secara hitungan sains dalam skala desibel, kekuatan nyanyiannya setara bunyi yang ditimbulkan teriakan anak, mesin bor, pemotong rumput, bahkan jeritan laju kereta bawah tanah. Dalam karyanya bertajuk "Belajar Mendengar", tonggeret dilukiskan melekat di telinga seorang perempuan muda yang rebah tanpa busana.
Sejenak saya merasa bergidik. Bukan karena perempuan tanpa busana itu melainkan membayangkan bagaimana rasanya bila kaki-kaki tonggeret menggerayangi daun telinga. Atau, bagaimana jadinya bila tonggeret itu meraung tepat di telinga kita.
Barangkali saya terlalu naif, namun gelumat kota memang telah menjauhkan antara kita dan serangga. Bahkan, dalam peradaban urban, serangga seolah menjelma sebagai monster yang merepotkan manusia. Tampaknya, Alodia telah mengingatkan kepada kita untuk kembali mengakrabi serangga-serangga demi belajar mendengar tanda-tanda alam dari mereka.
Serangga-serangga yang ditampilkan dalam lukisannya—termasuk kepik emas dalam tajuk lukisan "Golden Mind"—sejatinya merupakan indikator ekosistem sekitar rumah kita.
Saya pun berandai-andai, lebih penting mana antara manusia dan serangga? Apabila manusia tiba-tiba menghilang, Bumi akan kembali ke keseimbangan ekosistem pada sepuluh ribu tahun silam. Namun, jika serangga menghilang, lingkungan hidup akan mengalami kekacauan. Celakanya, sejauh ini serangga dianggap hama. Padahal perilaku serangga tertentu berperan meningkatkan siklus nutrisi dan produksi tanaman yang menjaga kelestarian manusia.
Namun, pada kenyataannya, serangga kian menghilang dari pekarangan rumah kita. Kini, mereka lenyap dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Akankah kita mengalami sendiri suatu masa yang ditandai kiamat serangga?
Baca Juga: Lukisan Gua Tertua di Dunia Ada di Sulawesi, Usianya 51.200 Tahun