Swara Terubus: Sosok Melankolis yang Membingkai Kesadaran Ekologis

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 5 Agustus 2024 | 06:00 WIB
Lukisan berjudul 'Mewangi' karya Alodia Yap, 2023, menampilkan perempuan yang digelayuti bunga-bunga kenanga. Ia ingin menceritakan tentang pengalamannya bersanding dengan alam dan perjumpaan-perjumpaan bersama para penghuninya—puspa dan satwa. Lukisannya diracik melalui pengamatan sains dan sentuhan seni, sehingga memiliki kekayaan pesan cerita yang menghubungkan kerinduan antara manusia dan alam. Juga, sejauh mana penghargaan masyarakat pada sosok perempuan. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Nationalgeographic.co.id—Saya termangu di depan lukisan yang menampilkan wajah seorang perempuan muda. Rambutnya hitam lurus dengan belahan tepat di tengah. Alisnya tipis, setipis rembulan hari pertama. Satu lagi, ia memiliki kekuatan pada matanya yang sendu. Sepasang bola matanya yang kelam itu tampak mengilap,  menyembunyikan pesan melankolis.

Namun, ada yang garib dalam lukisan itu. Seekor capung berwarna biru melekat di dahinya. Sekilas serangga itu tampak mengganggu bagi siapa saja yang memirsanya. Kendati demikian, ekspresi wajah perempuan itu tetap menunjukkan pesan kesyahduan ekologis. Lukisan berjudul "Jarum Biru" itu merupakan salah satu karya Benedicta Alodia Santoso, atau akrab disapa Alodia Yap, yang dirampungkannya pada tahun ini.

Capung jarum ekor biru merupakan serangga predator perairan yang berasal dari subordo Zygoptera. Capung telah menghuni Bumi sejak lebih dari 300 juta tahun silam, atau hampir 100 juta tahun sebelum dinosaurus pertama muncul. Sejarah yang begitu panjang memungkinkan keanekaragaman serangga berkembang seiring waktu. Namun kini capung jarum memiliki status kerentanan "terancam punah" dalam daftar IUCN. Serangga ini begitu sensitif terhadap perubahan lingkungan karena polusi dan limbah, sehingga menjadi bioindikator lingkungan. 

Lukisan berjudul 'Jarum Biru', yang menampilkan sosok perempuan dan capung jarum, subordo Zygoptera, serangga yang menjadi salah satu indikator lingkungan. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Serangga lain yang Alodia tampilkan dalam pameran ini adalah tonggeret—atau orang Jawa menjulukinya garengpung. Nyanyian serangga bernama ilmiah Cicadidae ini menjadi penanda pergantian musim. Secara hitungan sains dalam skala desibel, kekuatan nyanyiannya setara bunyi yang ditimbulkan teriakan anak, mesin bor, pemotong rumput, bahkan jeritan laju kereta bawah tanah. Dalam karyanya bertajuk "Belajar Mendengar", tonggeret dilukiskan melekat di telinga seorang perempuan muda yang rebah tanpa busana.

Sejenak saya merasa bergidik. Bukan karena perempuan tanpa busana itu melainkan membayangkan bagaimana rasanya bila kaki-kaki tonggeret menggerayangi daun telinga. Atau, bagaimana jadinya bila tonggeret itu meraung tepat di telinga kita.

Barangkali saya terlalu naif, namun gelumat kota memang telah menjauhkan antara kita dan serangga. Bahkan, dalam peradaban urban, serangga seolah menjelma sebagai monster yang merepotkan manusia. Tampaknya, Alodia telah mengingatkan kepada kita untuk kembali mengakrabi serangga-serangga demi belajar mendengar tanda-tanda alam dari mereka.

Seorang perempuan dan tonggeret di telinganya dalam lukisan berjudul 'Belajar Mendengar', 2024. Serangga dari keluarga Cicadidae ini memiliki daur hidup yang dipengaruhi musim. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Serangga-serangga yang ditampilkan dalam lukisannya—termasuk kepik emas dalam tajuk lukisan "Golden Mind"—sejatinya merupakan indikator ekosistem sekitar rumah kita.

Saya pun berandai-andai, lebih penting mana antara manusia dan serangga? Apabila manusia tiba-tiba menghilang, Bumi akan kembali ke keseimbangan ekosistem pada sepuluh ribu tahun silam. Namun, jika serangga menghilang, lingkungan hidup akan mengalami kekacauan. Celakanya, sejauh ini serangga dianggap hama. Padahal perilaku serangga tertentu berperan meningkatkan siklus nutrisi dan produksi tanaman yang menjaga kelestarian manusia.

Namun, pada kenyataannya, serangga kian menghilang dari pekarangan rumah kita. Kini, mereka lenyap dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Akankah kita mengalami sendiri suatu masa yang ditandai kiamat serangga?

Baca Juga: Lukisan Gua Tertua di Dunia Ada di Sulawesi, Usianya 51.200 Tahun

Di sudut lainnya, saya menjumpai seri lukisan bertajuk "Thriving". Tiga lukisan yang menampilkan wajah perempuan muda berkarakter mirip dengan lukisan "Jarum Biru" dan "Belajar Mendengar". Namun, dalam seri ini masing-masing berkelindan dengan puspa liar yang merambat. 

Kebetulan semua wajah perempuan itu tampak identik. Saya pun tergelitik untuk menanyakan langsung kepada sang seniman, apakah sosok dalam lukisan-lukisan itu merupakan representasi dirinya?

"Enggak pernah secara sadar berusaha menggambar diri," ungkap Alodia."Tapi kata orang memang jangan-jangan cerminan diri. Karena paling familiar dengan wajah sendiri jadi [subjek lukisan] mirip ke sana juga." Dia juga menambahkan bahwa sosok dalam lukisannya bukanlah anak-anak, melainkan perempuan dewasa dengan lekuk tubuh pascapubertas.

Perayaan gagasan bertumbuh bersama alam

Pameran solo bertajuk Swara Terubus digelar di Matraman Art Space pada 21 Juli sampai 11 Agustus 2024. Pameran ini menampilkan 23 lukisan karya Alodia Yap, yang sebagian besar diselesaikannya pada tahun ini. Selama Januari-Juli, sekurang-kurangnya ia menyelesaikan  dua sampai tiga lukisan dalam satu bulan.

Lukisan 'Thriving 3' merupakan satu dari tiga seri lukisan yang menampilkan wajah perempuan muda yang digelayuti tumbuhan liar wijayakusuma (Epiphyllum anguliger). Alodia menaruh perhatian pada tetumbuhan liar yang dijumpainya, yang kerap terabaikan dan dituduh sebagai gulma dan tumbuhan tak berguna. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Alodia, yang pada warsa ini berusia 29 tahun, lahir dan tumbuh dalam kebinekaan budaya di Salatiga. Kota kecil itu memilki pesona bangunan-bangunan tua yang berlatar Gunung Merbabu nan juwita. Talentanya dalam seni rupa telah ditempa semenjak kanak-kanak. Di kota itu pula ia menuntaskan kuliahnya di Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana.

Barangkali, bakat melukisnya diturunkan dari sang kakek. Alodia mengungkapkan bahwa lukisan karya kakeknya masih dipajang di Klenteng Hok Tek Bio, Salatiga. "Lukisan kaca gitu," ujarnya, "yang ditaruh di atas pintu-pintu ruang doa."

Lanskap geografi kota dan kebiasaannya sebagai pejalan kaki telah memberinya peluang untuk berinteraksi lebih dekat bersama alam—menapaki tepian hutan sampai lanskap pegunungan. Kota kelahirannya menjadi tempatnya mengekspresikan pemikiran dan gagasan melalui mural dan lukisan tentang perempuan. 

"Pameran ini secara umum adalah perayaan dari endapan gagasanku sekitar tahun 2019-2022 tentang bertumbuh," ungkapnya. Alodia berkisah bahwa pada tahun-tahun itulah ia kerap menjelajahi pelosok Salatiga, gunung dan rawa. Dalam perjalanan itu ia menjumpai tetumbuhan liar dan ragam serangga.

Salah satu karyanya tahun ini bertajuk 'Menumbuh dan Bertumbuh 2' yang mewakili pemikiran Alodia tentang tumbuhan liar yang merambat. Sejatinya tumbuhan itu memiliki kekuatan tersembuyi untuk melebur bersama dirinya. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Perjumpaan-perjumpaan itu telah membangkitkan pertanyaan dalam benaknya tentang di balik maksud kehadiran tetumbuhan seperti mungilnya begonia sampai talas yang begitu besar dan tegap berdiri menjulang. "Berharapnya mencari kontempelasi tapi ujung-ujungnya aku ngalamun aja," ujarnya.

Baca Juga: Tafsir Fisika Alam Luar Biasa Van Gogh dari Lukisan-lukisannya

"Yang aku tangkap saat itu ya sekadar keindahannya, keberadaanya secara ekologi." Kemudian dia melanjutkan, "Tapi, setelah aku pulang, aku terbayang-bayang tanaman liar di permukaan batu, daun berbulu di lantai hutan. Aneh aja rasanya. Kok bisa ya ada tumbuhan bisa hidup di batu?" Sejak saat itu sang seniman pun menjadi pemerhati tetumbuhan liar di lingkungannya.

Berkait dengan sosok perempuan muda dalam lukisannya, Alodia mengungkapkan, "perempuan dan ketubuhannya adalah simbol yang aku ambil sebagai subjek. Perempuan sebagai tokoh utama, dengan sifat fisiknya yang berubah."

Menurut pemikirannya, tubuh manusia bukan sekadar cangkang—yang memiliki bentuk indah, cantik, ganteng, dan sebagainya—melainkan dari tubuh itu sejatinya kita bisa menyaksikan beragam kejadian.

"Pertemuan masa lampau sampai sekarang, pertemuan leluhur-leluhur sampai generasi kini [telah] menjelma di tubuh," ujar Alodia. "Mungkin mbahnya dulu orang gunung, sekarang kaki cicitnya kokoh. Mungkin mata sipitnya dari entah generasi di atasnya. Dan mungkin kulit belangnya karena kebiasaanya di bawah matahari pakai baju pendek."

Lukisan 'Air di Atas Daun Talas', karya Alodia pada 2024. Dalam pameran ini ia merefleksikan pengalaman subyektifnya sebagai perempuan. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Alodia ingin menceritakan semua itu kepada kita tentang pengalamannya bersanding dengan alam dan perjumpaan-perjumpaan bersama penghuninya. "Apa yang aku dengar dari tonggeret malam-malam di mata air yang gelap. Apa yang aku lihat dari lumut kecil di sela akar pohon yang besar. Semua itu dengan analogi ketubuhan yang aku maksud."

Peluang kesadaran ekologis untuk kita

Lukisan-lukisannya menampilkan keanekaragaman hayati yang diberi sentuhan rasa berdasar pengalaman pribadinya. Ia telah meracik lukisan melalui pengamatan sains dan sentuhan seni, sehingga karyanya memiliki kekayaan pesan cerita yang menghubungkan kerinduan antara manusia dan alam.

Lukisan 'Hikayat Merawat', 2024. Di setiap karyanya, perempuan dan ketubuhannya tampil subjek atau tokoh utama, dengan sifat fisiknya yang berubah. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Alodia telah menciptakan kesadaran ekologis dalam setiap karyanya. Sebuah kesadaran yang bukan sekadar pengetahuan tentang ekologi, tetapi juga menekankan saling ketergantungan kita dengan alam karena sejatinya kesejahteraan peradaban kita bergantung pada ekosistem yang sehat.

Kesadaran ekologis dalam narasi karyanya turut mendorong tindakan untuk melestarikan dan melindungi ekosistem, serupa upaya ilmuwan warga yang menyelamatkan kota mereka dari kehancuran. Boleh dikata, Alodia adalah seniman sekaligus sebagai ilmuwan warga.

Baca Juga: Lukisan Harimau Raden Saleh: Jejak Nestapa Satwa di Pulau Jawa

Apa jadinya bila Bumi tak bisa lagi dihuni? Apesnya, kita telah dituding sebagai penghancur pusparagam hayati planet ini. Dan, keseragaman adalah tragedi untuk negeri ini. Saya teringat buku The Uninhabitable Earth yang ditulis David Wallace-Wells. Bukunya mengisahkan spesies kita yang begitu kemaruk sehingga menciptakan unsur-unsur kekacauan dan bermuara pada krisis iklim.

"Saya pribadi berpikir bahwa perubahan iklim itu sendiri menawarkan gambaran paling menggugah," tulis David dalam bukunya, "karena kekejamannya justru mengangkat perasaan bahwa kita punya kuasa, dan dengan demikian menyerukan kepada dunia untuk bertindak sebagai satu kesatuan." Kemudian, ia menutup pembahasan buku itu dengan selarik kalimat, "Anda tidak bisa memilih planet, karena hanya yang ini satu-satunya yang bisa kita sebut sebagai rumah."

"Lukisan-lukisan Alodia mengemas estetika biodiversitas selain dari bunga ia juga mengemas warna serangga," tulis Dessy Rachma Waryanti yang menuturkan aspek filosofis karya Alodia dalam catatan kuratorialnya yang bertajuk Swara Terubus: Perihal Narasi Bunga Rambat dan Monolog Tetumbuhan.

'Small Things Matter 3' yang menampilkan perempuan dan tumbuhan dandelion (Taraxacum)—orang Jawa menyebutnya randa tapak. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Menurut Dessy, lukisan serangga dan ragam puspa liar itu sejatinya sangat berkelindan dengan sederet upaya konservasi yang melibatkan masyarakat. Pendekatan semacam ini pun selaras dengan anjuran konservasi ekologi sejagat.

"Refleksi personal Alodia atas tanaman liar adalah tentang bagaimana ia menemukan pembelajaran hidup dari bunga-bunga liar ini," tulisnya. "Tanaman seperti anggrek liar, kenanga, dan ajeran sering muncul dalam karyanya." Lukisan-lukisannya telah memunculkan kembali kerinduan kita untuk tumbuh bersama alam, sekaligus memuliakan perempuan sebagai Ibu Bumi. 

Menurutnya, kebiasaan Alodia dalam menanam tanaman di rumah turut membuatnya lebih memperhatikan detail tentang proses bertumbuh dengan bermakna. "Tak hanya terhadap bentuk," ungkapnya, "tapi juga bagaimana karakter tanaman liar ini diam-diam mirip dengan dirinya."

'Invisible Growing' yang selesai pada 2024 menampilkan sosok perempuan muda—boleh jadi potret sang seniman sendiri. Lukisan-lukisannya mempertanyakan mengapa kita kerap melewatkan kepekaan diri kita atas tubuh yang tumbuh. Karya-karyanya menyisipkan pertanyaan apakah hari ini masyarakat telah memperlakukan perempuan dengan lebih baik? Menurutnya, hubungan itu sejatinya dapat dinilai dari sejauh mana relasi masyarakat dengan tanaman liar dan Ibu Bumi. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Dessy juga mengatakan, "Melalui karyanya, Alodia menciptakan kesadaran akan kecepatan hidup, yang sering membuat kita lupa akan sekitar, womanhood, dan pentingnya "growing by conciousness"—kesadaran bertumbuh." Kesadaran semacam ini diperlukan sebagai kesadaran untuk hidup, kendati kehidupan itu sulit dan kadang kita harus menerima kesedihan itu sendirian, ungkapnya.

Pameran ini menawarkan pemikiran kritis tentang bagaimana cara kita melihat sebuah kesendirian, ungkapnya. "Karya-karya dalam pameran ini mereka ulang perjalanan reflektif secara kritis atas pertanyaan: Bagaimana jika yang membersamai kita berjalan bukan manusia lain namun tetumbuhan, masihkah kita dituduh egois dan mendapat sangkaan ingin berjalan lebih cepat daripada yang lain?"

Benedicta Alodia Santoso, atau akrab disapa Alodia Yap, tengah melukis di studionya di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Ia mengekspresikan pengalaman subyektifnya sebagai perempuan dalam lukisan-lukisan yang menampilkan bentuk relasi surealis antara manusia dan tumbuhan liar. (VANDI ANGGA)

"Karya-karya Alodia mengajak kita berhenti, berjalan dengan bunga tepian jalan, dan agar kita tidak merasa salah dengan beristirahat," demikian ungkap Dessy.

Menurutnya, tidak ada yang keliru dengan berhenti sejenak. Laju kesibukan kita hari ini telah membawa kita jauh untuk menikmati perhentian sejenak. Bahkan, kadang kita justru merasa bersalah karena harus berhenti, sehingga muncul ungkapan bahwa berhenti memiliki kedekatan makna dengan kemalasan.

Ia menambahkan pameran ini menunjukkan kepada kita bahwa bagi Alodia, "alam membersamainya belajar bagaimana hidup harus berjalan dengan baik meski sesekali berhenti."