Swara Terubus: Sosok Melankolis yang Membingkai Kesadaran Ekologis

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 5 Agustus 2024 | 06:00 WIB
Lukisan berjudul 'Mewangi' karya Alodia Yap, 2023, menampilkan perempuan yang digelayuti bunga-bunga kenanga. Ia ingin menceritakan tentang pengalamannya bersanding dengan alam dan perjumpaan-perjumpaan bersama para penghuninya—puspa dan satwa. Lukisannya diracik melalui pengamatan sains dan sentuhan seni, sehingga memiliki kekayaan pesan cerita yang menghubungkan kerinduan antara manusia dan alam. Juga, sejauh mana penghargaan masyarakat pada sosok perempuan. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Baca Juga: Lukisan Harimau Raden Saleh: Jejak Nestapa Satwa di Pulau Jawa

Apa jadinya bila Bumi tak bisa lagi dihuni? Apesnya, kita telah dituding sebagai penghancur pusparagam hayati planet ini. Dan, keseragaman adalah tragedi untuk negeri ini. Saya teringat buku The Uninhabitable Earth yang ditulis David Wallace-Wells. Bukunya mengisahkan spesies kita yang begitu kemaruk sehingga menciptakan unsur-unsur kekacauan dan bermuara pada krisis iklim.

"Saya pribadi berpikir bahwa perubahan iklim itu sendiri menawarkan gambaran paling menggugah," tulis David dalam bukunya, "karena kekejamannya justru mengangkat perasaan bahwa kita punya kuasa, dan dengan demikian menyerukan kepada dunia untuk bertindak sebagai satu kesatuan." Kemudian, ia menutup pembahasan buku itu dengan selarik kalimat, "Anda tidak bisa memilih planet, karena hanya yang ini satu-satunya yang bisa kita sebut sebagai rumah."

"Lukisan-lukisan Alodia mengemas estetika biodiversitas selain dari bunga ia juga mengemas warna serangga," tulis Dessy Rachma Waryanti yang menuturkan aspek filosofis karya Alodia dalam catatan kuratorialnya yang bertajuk Swara Terubus: Perihal Narasi Bunga Rambat dan Monolog Tetumbuhan.

'Small Things Matter 3' yang menampilkan perempuan dan tumbuhan dandelion (Taraxacum)—orang Jawa menyebutnya randa tapak. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Menurut Dessy, lukisan serangga dan ragam puspa liar itu sejatinya sangat berkelindan dengan sederet upaya konservasi yang melibatkan masyarakat. Pendekatan semacam ini pun selaras dengan anjuran konservasi ekologi sejagat.

"Refleksi personal Alodia atas tanaman liar adalah tentang bagaimana ia menemukan pembelajaran hidup dari bunga-bunga liar ini," tulisnya. "Tanaman seperti anggrek liar, kenanga, dan ajeran sering muncul dalam karyanya." Lukisan-lukisannya telah memunculkan kembali kerinduan kita untuk tumbuh bersama alam, sekaligus memuliakan perempuan sebagai Ibu Bumi. 

Menurutnya, kebiasaan Alodia dalam menanam tanaman di rumah turut membuatnya lebih memperhatikan detail tentang proses bertumbuh dengan bermakna. "Tak hanya terhadap bentuk," ungkapnya, "tapi juga bagaimana karakter tanaman liar ini diam-diam mirip dengan dirinya."

'Invisible Growing' yang selesai pada 2024 menampilkan sosok perempuan muda—boleh jadi potret sang seniman sendiri. Lukisan-lukisannya mempertanyakan mengapa kita kerap melewatkan kepekaan diri kita atas tubuh yang tumbuh. Karya-karyanya menyisipkan pertanyaan apakah hari ini masyarakat telah memperlakukan perempuan dengan lebih baik? Menurutnya, hubungan itu sejatinya dapat dinilai dari sejauh mana relasi masyarakat dengan tanaman liar dan Ibu Bumi. (ALODIA YAP/SWARA TERUBUS)

Dessy juga mengatakan, "Melalui karyanya, Alodia menciptakan kesadaran akan kecepatan hidup, yang sering membuat kita lupa akan sekitar, womanhood, dan pentingnya "growing by conciousness"—kesadaran bertumbuh." Kesadaran semacam ini diperlukan sebagai kesadaran untuk hidup, kendati kehidupan itu sulit dan kadang kita harus menerima kesedihan itu sendirian, ungkapnya.

Pameran ini menawarkan pemikiran kritis tentang bagaimana cara kita melihat sebuah kesendirian, ungkapnya. "Karya-karya dalam pameran ini mereka ulang perjalanan reflektif secara kritis atas pertanyaan: Bagaimana jika yang membersamai kita berjalan bukan manusia lain namun tetumbuhan, masihkah kita dituduh egois dan mendapat sangkaan ingin berjalan lebih cepat daripada yang lain?"

Benedicta Alodia Santoso, atau akrab disapa Alodia Yap, tengah melukis di studionya di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Ia mengekspresikan pengalaman subyektifnya sebagai perempuan dalam lukisan-lukisan yang menampilkan bentuk relasi surealis antara manusia dan tumbuhan liar. (VANDI ANGGA)

"Karya-karya Alodia mengajak kita berhenti, berjalan dengan bunga tepian jalan, dan agar kita tidak merasa salah dengan beristirahat," demikian ungkap Dessy.

Menurutnya, tidak ada yang keliru dengan berhenti sejenak. Laju kesibukan kita hari ini telah membawa kita jauh untuk menikmati perhentian sejenak. Bahkan, kadang kita justru merasa bersalah karena harus berhenti, sehingga muncul ungkapan bahwa berhenti memiliki kedekatan makna dengan kemalasan.

Ia menambahkan pameran ini menunjukkan kepada kita bahwa bagi Alodia, "alam membersamainya belajar bagaimana hidup harus berjalan dengan baik meski sesekali berhenti."