Misi Berbahaya dan Serba-serbi Kehidupan Para Selir Dinasti Ming

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 13 Agustus 2024 | 12:00 WIB
(Ilustrasi) Kaisar dari Dinasti Ming konon memiliki gundik-gundik atau selir hingga 9.000 banyaknya. (cn2)

Nationalgeographic.co.id—Dinasti Ming yang memerintah China selama 276 tahun dianggap sebagai masa kejayaan yang jadi bukti pemerintahan terbaik. Meski begitu, pemerintahan ini menyimpan kisah kelam tersendiri.

Kaisar dari Dinasti Ming konon memiliki gundik-gundik atau selir hingga 9.000 banyaknya. Para selir itu dijadikan gundik secara paksa dengan cara diculik dari rumah mereka dan dilarang meninggalkan 'sangkar emas' selain jika dipanggil ke kamar sang penguasa.

Kala itu, diperlakukan praktik barbar foot binding atau tradisi mengikat kaki agar telapak mereka kecil dan berbentuk mirip lotus yang kuncup. Sehingga, para perempuan tak bisa melarikan diri.

Mereka bahkan tak bisa berjalan ke kamar sang kaisar, melainkan dibawa dengan tandu dalam kondisi tanpa busana.

Pada waktu itu, Kaisar Hongwu memulai tradisi di mana para selir akan dibunuh, dipaksa bunuh diri, atau dikubur hidup-hidup di samping kaisar yang mati.

Dua penerusnya, Yongle dan Hongxi meneruskan tradisi mengerikan itu karena menginginkan para selir tetap disampingnya hingga alam baka.

Sementara itu Zhende, Kaisar Ming kesepuluh yang mewarisi takhta pada 1505 pada suatu titik merasa lelah pada para selir dan terobsesi dengan kehidupan warga biasa. Ia kerap menyelinap keluar pada malam hari, menyamar, dan sering mengunjungi rumah bordil lokal.

Namun, itu tak menghentikannya untuk terus mencari dan mengumpulkan lebih banyak selir, bahkan banyak diantaranya yang meninggal karena kelaparan.

Kaisar Jiajing, penerus Zhengde juga tak kalah aneh, ia terobsesi untuk menemukan obat mujarab untuk memberinya kehidupan yang kekal. Ia meyakini, salah satu bahan ramuan itu adalah darah menstruasi perawan.

Selama masa pemerintahannya, ia memerintahkan sejumlah gadis muda pilihan, secara bergantian, dibawa ke Kota Terlarang (Forbidden City) untuk "diperah".

Untuk memastikan tubuh mereka tetap murni, makanan mereka dibatasi. Para perawan hanya boleh mengonsumsi mulberi dan embun atau air hujan. Para dayang istana pun jadi korban praktik itu.

Baca Juga: China Kembali ke 'Masa Sampah Sejarah', Mirip Era Dinasti Ming?