Kekaisaran Ottoman Menjangkau Indonesia Sejak Abad ke-16, untuk Apa?

By Muflika Nur Fuaddah, Jumat, 16 Agustus 2024 | 16:00 WIB
(Ilustrasi) Sultan Mehmed II dari Kekaisaran Ottoman (Jean-Joseph Benjamin-Constant (Public Domain))

Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman, kekuatan tangguh yang membentang di sebagian besar wilayah Mediterania dan Eropa Timur, memiliki hubungan yang tidak biasa dengan kerajaan yang jauh di Asia Tenggara: Kesultanan Aceh di Indonesia.

Aliansi ini, yang terbentuk pada abad ke-16, merupakan bukti ambisi global Ottoman dan kompleksitas dinamika kekuasaan di dunia pra-modern.

Kekaisaran Ottoman ini diciptakan oleh suku-suku Turki di Anatolia (Asia Kecil) yang tumbuh menjadi salah satu negara paling kuat di dunia selama abad ke-15 dan ke-16.

Periode Ottoman berlangsung lebih dari 600 tahun dan berakhir hanya pada tahun 1922, ketika digantikan oleh Republik Turki dan berbagai negara penerus di Eropa tenggara dan Timur Tengah.

Pada puncaknya, kekaisaran meliputi sebagian besar Eropa tenggara hingga gerbang Wina, termasuk Hongaria saat ini, wilayah Balkan, Yunani, dan sebagian Ukraina.

Tak hanya itu, ia juga menjangkau sebagian Timur Tengah sekarang diduduki oleh Irak, Suriah, Israel, dan Mesir; Afrika Utara sejauh barat Aljazair; dan sebagian besar Jazirah Arab.

Istilah Ottoman adalah sebutan dinasti yang berasal dari Osman I, seorang kepala suku nomaden Turkmenistan yang mendirikan dinasti dan kekaisaran sekitar tahun 1300.

Negara Ottoman hingga 1481: Era ekspansi

Periode pertama sejarah Ottoman ditandai oleh perluasan wilayah yang hampir terus-menerus, di mana kekuasaan Ottoman meluas dari sebuah kerajaan kecil di Anatolia barat laut hingga meliputi sebagian besar Eropa tenggara dan Anatolia.

Institusi politik, ekonomi, dan sosial dari kekaisaran Islam klasik digabungkan dengan institusi yang diwarisi dari Bizantium dan kekaisaran Turki yang besar di Asia Tengah dan dibangun kembali dalam bentuk baru yang menjadi ciri khas wilayah tersebut hingga zaman modern.

Asal usul dan perluasan negara Ottoman sendiri bermula sekitar tahun 1300–1402, pada tahap awal ekspansi mereka, Ottoman adalah pemimpin para pejuang Turki untuk iman Islam, dikenal dengan gelar kehormatan ghazi (bahasa Arab: “perampok”), yang berperang melawan negara Bizantium Kristen yang sedang menyusut.

Baca Juga: Kekaisaran Ottoman ‘Menjelajah’ Nusantara dari Ujung Barat ke Timur

Nenek moyang Osman I, pendiri dinasti tersebut, adalah anggota suku Kayı yang telah memasuki Anatolia bersama dengan sejumlah besar orang Turkmenistan.

Pengembara Oguz, yang bermigrasi dari Asia Tengah, menetapkan diri mereka sebagai dinasti Seljuk di Iran dan Mesopotamia pada pertengahan abad ke-11, menguasai Bizantium setelah Pertempuran Manzikert (1071), dan menduduki Anatolia timur dan tengah selama abad ke-12.

Para Ghazi berperang melawan Bizantium dan kemudian bangsa Mongol, yang menyerbu Anatolia setelah berdirinya Kekaisaran Il-Khanid (Ilhanid) di Iran dan Mesopotamia pada paruh terakhir abad ke-13.

Dengan hancurnya kekuasaan Seljuk dan digantikannya dengan kedaulatan Mongol, yang ditegakkan oleh pendudukan militer langsung di sebagian besar Anatolia timur, kerajaan-kerajaan Turkmenistan yang merdeka, muncul di sisa wilayah Anatolia.

Aliansi yang jauh

Dalam perjalanan dan perkembangannya, pengaruh Kekaisaran Ottoman bahkan menjangkau sampai ke Indonesia melalui serangkaian faktor yang saling terkait.

Pertama, Kekaisaran Ottoman terlibat dalam persaingan sengit dengan Portugis, yang telah mendirikan pos dagang di Asia Tenggara.

Portugis, yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan, menjadi ancaman bagi kepentingan Utsmaniyah di Samudra Hindia.

Kesultanan Aceh, yang juga menghadapi agresi Portugis, melihat Utsmaniyah sebagai sekutu potensial.

Kedua, Kekaisaran Ottoman merupakan pusat utama pembelajaran Islam. Kesultanan Aceh, negara Muslim yang taat, mengandalkan bimbingan dan dukungan agama Ottoman.

Kepercayaan bersama ini menjadi dasar bagi aliansi, karena kedua negara memandang diri mereka sebagai bagian dari komunitas Islam yang lebih luas.

Baca Juga: Para Pujangga Kerajaan Jawa Meromantisasi Kekaisaran Ottoman

Aliansi antara Ottoman dan Aceh diperkuat melalui misi diplomatik dan perdagangan.

Utusan Ottoman melakukan perjalanan ke Aceh, membawa hadiah dan surat dukungan. Sebagai balasannya, Aceh mengirim utusan ke istana Ottoman, mencari bantuan militer dan menjalin hubungan komersial.

Ottoman, meskipun tidak dapat secara langsung campur tangan secara militer di Indonesia, menyediakan senjata, mesiu, dan perlengkapan lainnya untuk Aceh. 

Perdagangan antara kedua negara juga penting, letak Aceh yang strategis menjadikannya pusat penting bagi perdagangan rempah-rempah, dan Kekaisaran Ottoman berupaya mengakses komoditas berharga ini.

Para pedagang Utsmani membangun rute perdagangan melalui Samudra Hindia, yang menghubungkan Aceh dengan pasar-pasar di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Aliansi Kekaisaran Ottoman dengan Kesultanan Aceh merupakan pencapaian yang luar biasa, yang menunjukkan kemampuan Ottoman untuk memproyeksikan kekuasaan mereka melintasi jarak yang sangat jauh.

Aliansi tersebut juga menggarisbawahi pentingnya solidaritas Islam di dunia di mana kekaisaran-kekaisaran bersaing untuk mendominasi.

Meskipun aliansi tersebut akhirnya bubar, aliansi tersebut meninggalkan dampak yang bertahan lama pada sejarah kedua wilayah, yang menyoroti keterkaitan dunia pada abad ke-16.

Hubungan formal antara Aceh dan Kekaisaran Ottoman

Dalam Majalah Ilmiah Tabuah, Meirison, Zulvia Trinova, dan Yelmi Eri Firdaus dari UIN Imam Bonjol Padang, menerbitkan jurnal yang berjudul The Ottoman Empire Relations With The Nusantara (Spice Island).

Mereka mengungkap bahwa surat kabar Turki yang diterbitkan pada saat pecahnya perang antara Aceh dan Belanda (1875) menceritakan bahwa pada tahun 1516 Sultan Aceh Firman Syah telah menghubungi Siman Pasya, Wazir Sultan Salim I, untuk menjalin persahabatan.

Baca Juga: Mengenal Suku Bangsa Oghuz: Leluhur Kekaisaran Ottoman dari China

Sejak itu, hubungan antara Aceh dan Turki Utsmaniyah terjalin dengan baik. “Selain Turki, Aceh juga menjalin kerja sama dalam bidang perdagangan dan militer dengan Kerajaan Islam di India, negara-negara Arab, dan beberapa kerajaan di Jawa,” ungkap Meirison dkk.

"Snouck Hurgronje, penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah Kolonial Belanda mendengar berbagai cerita yang beredar di masyarakat bahwa orang Aceh adalah campuran keturunan Arab, Persia, dan Turki," lanjutnya.

Asumsi ini, menurut Denys Lombard, seorang orientalis Prancis, tampaknya tidak terbentuk lama pada waktu itu. Munculnya gagasan semacam itu mungkin dipicu oleh semangat untuk terus melawan penjajah dari Eropa Kristen.

Kesultanan Aceh adalah salah satu kerajaan Islam di Nusantara, mereka berperan dalam perlawanan terhadap Portugis.

Sultan Ali Mughayat Syah pernah menaklukkan armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brito di laut lepas pada Mei 1521. Putra sulungnya, Salahuddin, yang menggantikannya, juga menyerang Malaka pada tahun 1537, namun tidak berhasil.

Putra bungsu Mughayat Shah bernama 'Alauddin al-Kahhar Ri'ayat Shah menggantikan saudaranya pada tahun 1539 dan memperkuat Kesultanan Aceh.

Sultan Alauddin memiliki pasukan yang terdiri dari orang Turki, Kamboja, dan Malabar. Sultan Alauddin sendiri dua kali menyerang Malaka (1547-1568).

Pada tahun 1562, seorang utusan dari Aceh meminta meriam kepada Sultan Turki untuk melawan Portugis.

Juga diceritakan bahwa beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Asia Tenggara bersedia masuk Islam jika Turki Utsmaniyah bersedia memberikan bantuan. Turki sendiri siap membantu dengan senjata dan ahli. Beberapa kapal disediakan untuk berangkat dengan utusan dari Aceh.

Meskipun menunggu beberapa saat, meriam akhirnya tiba di Aceh. Dari beberapa kapal yang dikirim, hanya dua yang langsung menuju Aceh karena yang lainnya terpaksa berbelok untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Yaman. 

Bantuan dari Turki tiba di Aceh berupa senjata, dan 300 ahli profesional dalam bidang teknik, militer, ekonomi, dan hukum konstitusi. Di antara senjata yang dikirim adalah sebuah meriam besar yang dikenal sebagai Meriam Lada Secupak.

Kesimpulan

Jangkauan Kekaisaran Ottoman ke Indonesia pada abad ke-16 merupakan contoh menarik tentang bagaimana faktor politik, agama, dan ekonomi dapat saling terkait untuk menciptakan aliansi yang tak terduga.

Aliansi antara Ottoman dan Kesultanan Aceh, meskipun bersifat sementara, berfungsi sebagai pengingat akan jangkauan global Kekaisaran Ottoman dan kompleksitas hubungan historis.