Pelajar Jawi dan 'Propaganda' Kekaisaran Ottoman di Hindia Belanda

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 17 Agustus 2024 | 14:00 WIB
Imigran Hadhrami di Surabaya, 1920. (wikimedia)

Secara teori, konsulat Ottoman di Batavia adalah agen komersial, tapi dalam praktiknya, mereka selalu diawasi oleh otoritas kolonial di Hindia Belanda, karena Ottoman dapat menyebarkan intervensi militer berbasis Pan-Islamisme untuk menghadapi kolonialisme di Hindia Belanda.

Pada era Hamidian, pada tahun 1885, tiga belas jamaah Aceh mengirimkan petisi kepada gubernur Ottoman di Hijaz untuk diteruskan ke Istanbul, meminta bantuan untuk menyelamatkan negara mereka dari invasi pemerintah kolonial Belanda.

Oleh karena itu, konsulat Ottoman di Batavia, Galip Bey, mengunjungi Aceh dan melaksanakan salat Jumat di Masjid Baiturrahman. Tidak diragukan lagi, agenda utama konsulat Ottoman di Batavia bukanlah untuk menyebarkan anti-kolonialisme dengan intervensi militer, tetapi untuk mendukung semangat moral dan keagamaan guna mengawasi modernisasi di Indonesia.

Konsulat Ottoman di Batavia juga memiliki agenda lain selain sebagai agen komersial, seperti menyumbangkan Al-Quran dan uang kepada umat Islam. Ada arsip yang menunjukkan permintaan Al-Quran dari ikhwan al-Jawiyun (Persaudaraan Jawi) yang meminta 800 sumbangan Al-Quran dari Istanbul.

Sultan, selain mendistribusikan Al-Quran, juga menyumbangkan uang untuk pembangunan masjid di Batavia pada tahun 1899. Sebuah dokumen yang berasal dari tahun 1898 berisi permohonan dari Batavia untuk perbaikan dua masjid dan makam Syaikh al-Idrus atau al-Aydarus.

Sumbangan Al-Quran dan uang dari Ottoman kepada umat Islam di Indonesia untuk pembangunan dan perbaikan sekolah, masjid, dan makam adalah bukti bahwa Abdulhamid II sebagai Khalifah telah memenuhi tugasnya.

Seperti yang telah disebutkan di atas, Ottoman pada masa Abdulhamid II (1876–1909), memiliki agenda modernisasi baik di wilayahnya maupun di luar negeri. Sentralisasi pendidikan dan proyek Kereta Api Hijaz menjadi bukti bahwa Pan-Islamisme dan modernisasi bukan untuk melawan kolonialisme, tetapi untuk menciptakan kesejahteraan negara berbasis Islam.

Oleh karena itu, untuk mengejar agenda tersebut, Ottoman juga melayani umat Islam di luar negeri untuk memperkuat posisi Kekhalifahan di Istanbul.

Selanjutnya, posisi Khalifah dalam meluncurkan Pan-Islamisme dan modernisasi menjadi kuat di mata umat Islam. Oleh karena itu, umat Islam di luar negeri dapat mendukung modernisasi dan mengambil manfaat darinya.

Kebijakan negara Ottoman yang paling signifikan di Indonesia pada akhir abad ke-19 adalah memberikan kesempatan bagi pelajar Jawi untuk datang ke Istanbul.

Istilah Jawi digunakan karena arsip Ottoman menggunakan 'Cavalı' untuk menyebut pelajar yang datang ke Istanbul pada saat itu. Meskipun begitu, pelajar Jawi yang datang ke Istanbul adalah orang Hadrami.

Namun, kita dapat melihat bahwa negara Ottoman menempatkan orang Hadrami sebagai representasi dari Cavalı atau Jawi. Singkatnya, negara Ottoman bermaksud menempatkan orang Hadrami sebagai agen modernisasi Ottoman.