Pelajar Jawi dan 'Propaganda' Kekaisaran Ottoman di Hindia Belanda

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 17 Agustus 2024 | 14:00 WIB
Imigran Hadhrami di Surabaya, 1920. (wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda bahwa Kekaisaran Ottoman memiliki hubungan dan peranan khusus dengan modernisasi yang terjadi di Indonesia.

Namun sebelumnya, perlu kita ketahui bahwa dalam sejarah Ottoman, masa pemerintahan Abdulhamid II sering dilihat sebagai munculnya ideologi Kekhalifahan dalam kebijakan dalam dan luar negeri.

Dalam Al-Jami‘ah: Journal of Islamic Studies, Frial Ramadhan Supratman menerbitkan jurnal dengan judul Before The Ethical Policy: The Ottoman State, Pan-Islamism, and Modernisation in Indonesia 1898–1901. Frial menjelaskan bahwa Abdulhamid memainkan peran simbolis dalam mendefinisikan otoritasnya sebagai Khalifah.

Yakni dengan pemerintahan yang didasarkan pada "empat pilar negara": pertama, Islam; kedua, pemeliharaan Rumah Osman; ketiga, perlindungan Haram al-Haramayn; dan keempat, pemeliharaan Istanbul sebagai ibu kota.

"Sejarawan cenderung melihatnya sebagai seorang sultan yang menggunakan Islam untuk melegitimasi posisinya," ungkapnya.

Abdulhamid dilihat sebagai sultan korporatis tradisional Ottoman yang ingin menciptakan identitas politik yang sama bagi semua warga, tanpa memandang agama dan bahasa, kemudian menyelaraskan dirinya secara religius, budaya, dan politik dengan mayoritas warga tersebut, yaitu muslim.

"Sejarawan berpendapat bahwa berurusan dengan muslim menjadi perhatian utama Abdulhamid II karena ia menyatakan dirinya sebagai Khalifah," lanjutnya.

"Bahkan, secara lebih rinci, ia merumuskan fungsi utama Khalifah. Meskipun sebagai sultan dalam wilayahnya sendiri, berkat deklarasinya sebagai Khalifah, Abdulhamid menerima permohonan dari muslim di seluruh dunia untuk membantu mereka melawan kolonialisme Barat."

Kedatangan duta besar Aceh di Istanbul adalah contoh muslim di Indonesia yang mencari bantuan untuk menghadapi kolonialisme Belanda. Mereka berharap Abdulhamid bisa campur tangan dalam invasi Belanda ke Aceh.

Namun, menurutnya harapan bahwa Abdulhamid akan campur tangan dalam invasi kolonialisme terhadap negara-negara muslim adalah tidak realistis.

Permintaan bantuan dari luar negeri menjadi tanda bahwa pada periode Hamidian (1876–1909), Ottoman mulai dilihat sebagai negara Pan-Islamis yang memimpin perlawanan terhadap kolonialisme di beberapa negara muslim seperti India, Malaysia, dan Indonesia.

Baca Juga: Ketika Penaklukan Konstantinopel oleh Kekaisaran Ottoman Ubah Sejarah

M. Sukru Hanioglu, profesor yang mengamati  sejarah Ottoman, menekankan penggambaran sejarah Ottoman sebagai bagian integral dari sejarah Eropa dan dunia.

"Migrasi muslim ke wilayah Ottoman memainkan peran penting dalam mendefinisikan kebijakan Pan-Islamis pada periode Hamidian, karena proporsi muslim dalam populasi Ottoman telah meningkat menjadi 73,3%," jelasnya.

Hanioglu menjelaskan bahwa kunci untuk memahami periode Hamidian adalah kesetiaan kepada sultan dan penemuan kembali tradisi.

Banyak sejarawan dan ilmuwan sosial menolak keterkaitan antara Pan-Islamisme dan modernisasi pada periode Hamidian, karena mereka mengidentifikasi Islam politik, yang disebut Pan-Islam, dengan anti-kolonialisme, anti-kemajuan, tradisi, dan sebagai produk dari periode abad pertengahan.

Beberapa dari mereka menghubungkan Pan-Islam dengan beberapa orang Arab di sekitar Abdulhamid II yang memiliki ambisi untuk menghadapi negara-negara Eropa secara militer seperti Sayyid Fadl.

Tidak diragukan lagi, ideologi Pan-Islam dalam konteks ini tidak dapat diterima, karena pendukung Pan-Islamisme seperti Sayyid Fadl ingin agar Ottoman bertindak secara militer melawan Inggris, sementara negara Ottoman berusaha menghindari konflik dengan negara-negara Eropa, termasuk Inggris di Samudra Hindia.

Pandangan lain, yang dipengaruhi oleh Pan-Islamisme, melihat Abdulhamid sebagai sultan despotik (istibdad), yang memberlakukan sensor atas pers Ottoman.

Pelajar Jawi dan modernisasi

Pan-Islamisme dan modernisasi Ottoman di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari permintaan awal oleh utusan Aceh ke Istanbul untuk meminta bantuan militer sebelum periode Hamidian.

Kekaisaran Ottoman mulai memberikan perhatian pada Asia Tenggara. Ottoman membuka konsulat untuk pertama kalinya di Singapura pada tahun 1864, kemudian di Batavia pada tahun 1883.

Konsulat Ottoman pertama di Asia Tenggara adalah Syed Abdullah el-Juneyd. Ia diangkat sebagai duta besar Ottoman untuk Singapura pada tahun 1864.

Baca Juga: Kekaisaran Ottoman Menjangkau Indonesia Sejak Abad ke-16, untuk Apa?

Ia merupakan keturunan orang Hadrami yang tinggal di Singapura. Singapura adalah pusat gerakan Ottoman di Asia Tenggara karena pemerintah Inggris memberikan lebih banyak kebebasan pada gerakan tersebut dibandingkan dengan Hindia Belanda di bawah pemerintah Belanda.

Banyak migran, terutama dari Hadhramaut, datang ke Singapura pada abad ke-19. Banyak Hadrami datang dari Hadhramaut ke kota-kota di Asia Tenggara seperti Singapura, Batavia, dan Surabaya untuk mencari peluang, umumnya sebagai pedagang.

Sebenarnya, pembukaan konsulat Ottoman di Singapura membuat Belanda cemas karena mereka menganggap konsulat tersebut sebagai simbol persatuan umat Islam dan karenanya dapat bertindak sebagai katalis dalam membangkitkan semangat umat Islam untuk melawan kekuasaan kolonial Belanda.

Setelah kematian konsulat Ottoman pertama di Singapura, Belanda meminta Inggris untuk menghalangi kehadiran konsulat Ottoman. Namun, Belanda tidak dapat sepenuhnya menolak kehadiran Ottoman di Asia Tenggara karena Belanda memiliki hubungan ekonomi dengan Ottoman.

Opium adalah produk penting yang dibawa oleh agen Belanda dari Izmir ke Jawa. Penjualan opium di Jawa dan Madura—yang menjadi kegiatan utama perusahaan dalam perdagangan narkotika—dilakukan melalui sistem pertanian.

Ini terdiri dari menyewakan—seringkali untuk jangka waktu terbatas—hak untuk memungut pajak atau menjual barang-barang yang menjadi monopoli pemerintah, seperti opium.

Sistem ini ada di Asia Tenggara, termasuk Siam (Thailand), Vietnam, Pinang, beberapa negara bagian Malaya, Singapura, dan sejumlah pulau di Kepulauan Indonesia.

Baik di Singapura maupun Batavia, Ottoman memercayakan posisi konsulat kepada keluarga Hadrami yang memiliki pengalaman di Asia Tenggara.

Untuk pertama kalinya, Ottoman menjalin hubungan terbuka dengan kelompok Hadrami. Frial berpendapat bahwa hal ini tidak dapat dipisahkan dari hubungan Hadrami dengan Samudra Hindia dan Istanbul.

Jaringan luas kelompok Hadrami di Istanbul memengaruhi kebijakan Ottoman di Asia Tenggara. Seperti yang disebutkan di atas, Sayyid Fadl menjadi tokoh penting di istana Ottoman sebagai penasihat sultan.

Berkat kehadiran Sayyid Fadl di Istanbul, banyak orang Hadrami yang dapat memperluas jalinan hubungan mereka dengan istana Abdulhamid II.

Baca Juga: Kekaisaran Ottoman ‘Menjelajah’ Nusantara dari Ujung Barat ke Timur

Secara teori, konsulat Ottoman di Batavia adalah agen komersial, tapi dalam praktiknya, mereka selalu diawasi oleh otoritas kolonial di Hindia Belanda, karena Ottoman dapat menyebarkan intervensi militer berbasis Pan-Islamisme untuk menghadapi kolonialisme di Hindia Belanda.

Pada era Hamidian, pada tahun 1885, tiga belas jamaah Aceh mengirimkan petisi kepada gubernur Ottoman di Hijaz untuk diteruskan ke Istanbul, meminta bantuan untuk menyelamatkan negara mereka dari invasi pemerintah kolonial Belanda.

Oleh karena itu, konsulat Ottoman di Batavia, Galip Bey, mengunjungi Aceh dan melaksanakan salat Jumat di Masjid Baiturrahman. Tidak diragukan lagi, agenda utama konsulat Ottoman di Batavia bukanlah untuk menyebarkan anti-kolonialisme dengan intervensi militer, tetapi untuk mendukung semangat moral dan keagamaan guna mengawasi modernisasi di Indonesia.

Konsulat Ottoman di Batavia juga memiliki agenda lain selain sebagai agen komersial, seperti menyumbangkan Al-Quran dan uang kepada umat Islam. Ada arsip yang menunjukkan permintaan Al-Quran dari ikhwan al-Jawiyun (Persaudaraan Jawi) yang meminta 800 sumbangan Al-Quran dari Istanbul.

Sultan, selain mendistribusikan Al-Quran, juga menyumbangkan uang untuk pembangunan masjid di Batavia pada tahun 1899. Sebuah dokumen yang berasal dari tahun 1898 berisi permohonan dari Batavia untuk perbaikan dua masjid dan makam Syaikh al-Idrus atau al-Aydarus.

Sumbangan Al-Quran dan uang dari Ottoman kepada umat Islam di Indonesia untuk pembangunan dan perbaikan sekolah, masjid, dan makam adalah bukti bahwa Abdulhamid II sebagai Khalifah telah memenuhi tugasnya.

Seperti yang telah disebutkan di atas, Ottoman pada masa Abdulhamid II (1876–1909), memiliki agenda modernisasi baik di wilayahnya maupun di luar negeri. Sentralisasi pendidikan dan proyek Kereta Api Hijaz menjadi bukti bahwa Pan-Islamisme dan modernisasi bukan untuk melawan kolonialisme, tetapi untuk menciptakan kesejahteraan negara berbasis Islam.

Oleh karena itu, untuk mengejar agenda tersebut, Ottoman juga melayani umat Islam di luar negeri untuk memperkuat posisi Kekhalifahan di Istanbul.

Selanjutnya, posisi Khalifah dalam meluncurkan Pan-Islamisme dan modernisasi menjadi kuat di mata umat Islam. Oleh karena itu, umat Islam di luar negeri dapat mendukung modernisasi dan mengambil manfaat darinya.

Kebijakan negara Ottoman yang paling signifikan di Indonesia pada akhir abad ke-19 adalah memberikan kesempatan bagi pelajar Jawi untuk datang ke Istanbul.

Istilah Jawi digunakan karena arsip Ottoman menggunakan 'Cavalı' untuk menyebut pelajar yang datang ke Istanbul pada saat itu. Meskipun begitu, pelajar Jawi yang datang ke Istanbul adalah orang Hadrami.

Namun, kita dapat melihat bahwa negara Ottoman menempatkan orang Hadrami sebagai representasi dari Cavalı atau Jawi. Singkatnya, negara Ottoman bermaksud menempatkan orang Hadrami sebagai agen modernisasi Ottoman.

Sebuah arsip menunjukkan bahwa para pelajar dari Batavia datang ke Istanbul pada tahun 1898. Mereka diberi dana untuk biaya perjalanan oleh pemerintah Ottoman.

Para pelajar tersebut termasuk Abdurahman bin Abdulkadir al-Aydarus, Abdulmuthalib Shahab, Mehmet Ihsan, Muhammad Hasan, dan Ali. Abdullah al-Attas juga mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di Istanbul setelah mereka lulus dari Mesir, tepatnya di Darüşafaka dan Aşiret Mektebi.

Tahun berikutnya, tujuh pelajar lagi dikirim, termasuk keturunan Hadrami seperti Syaikh Abd al-Rahman, Abdallah bin Junayd dari Buitenzorg (Bogor), empat anak dari keluarga Sunkar dari Batavia, dan satu orang bernama Ahmad bin Muhammad al-Sayyidi dari Sumatra Utara.

Namun, karena kurangnya dana, beberapa pelajar tidak dapat belajar dengan baik. Meskipun begitu, negara Ottoman juga memberikan penghargaan kepada pelajar Jawi yang belajar di Istanbul, seperti Ahmad dan Said Bachinid yang belajar di Mekteb-i Mülkiye Aşiret Sınıfı dan mendapatkan medali Nişan Mecidi keempat dari negara Ottoman.

Menurut arsip tersebut, pelajar Jawi yang datang ke Istanbul belajar di sekolah-sekolah modern Ottoman seperti sekolah berbasis Prancis, Sultaniye.

Ini menunjukkan bahwa banyak dari mereka datang ke Istanbul untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern dan bahasa seperti Prancis, bukan untuk mempersiapkan agenda anti-kolonialisme untuk dibawa kembali ke Indonesia.

Pelajar Jawi seperti Ahmed dan Said Efendi meminta untuk belajar bahasa Prancis setelah lulus dari Aşiret Mektebi. Setelah lulus dari Istanbul, negara Ottoman berharap mereka bisa menyebarkan ilmu pengetahuan modern di Indonesia, membangun pendidikan modern sesuai dengan prinsip-prinsip Pan-Islamisme.

Berkat kebaikan Sultan Abdulhamid yang memungkinkan pelajar Jawi datang ke Istanbul dan memberikan beberapa sumbangan seperti memperbaiki makam dan membangun masjid, kelompok Hadrami di Indonesia menjadi agen yang bersedia untuk proyek modernisasi Ottoman.

Mereka membantu konsul Ottoman di Batavia mengumpulkan uang untuk membantu pembangunan proyek Kereta Api Hijaz. Oleh karena itu, banyak Hadrami yang dianugerahi medali dari negara Ottoman.

Konsulat Ottoman di Batavia memberikan medali kepada para Sayyid Hadrami seperti Abdullah al-Abdu Rusulhadremi, Seyyid Nur al-Kafi, Seyyid Baidila, Seyyid Abdullah, Seyyid Abdul Kadir al-İdrus, Seyyid Muhammad Şahab, dan Seyyid Sahal bin Abdullah. Lainnya, seperti Şyakh Ömer el-Yusuf el-Menkuşa, juga mendapatkan medali berkat kontribusi mereka pada proyek Kereta Api Hijaz.

Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa Hadrami di Asia Tenggara dapat disebut sebagai agen modernisasi pertama di Indonesia.