Nationalgeographic.co.id—Di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin mendesak, negara-negara di seluruh dunia berlomba-lomba mencari solusi inovatif untuk mengurangi emisi karbon.
Jepang, negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang, kini tengah mengandalkan kekuatan alam untuk menjawab tantangan tersebut.
Melalui inisiatif ambisius yang memanfaatkan potensi "karbon biru", Negeri Sakura tidak hanya berupaya mencapai target netralitas karbon, tetapi juga mengembalikan kesehatan ekosistem pesisirnya yang semakin terdegradasi.
Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana Jepang berencana mengoptimalkan potensi karbon biru untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
Permata tersembunyi
Jauh dari hiruk pikuk Tokyo, kota Hayama di Prefektur Kanagawa menawarkan oase ketenangan dengan pantai-pantai eksotis, vila kekaisaran megah, dan panorama Gunung Fuji yang memukau. Namun, di balik keindahan alamnya yang memikat, lautan Hayama menyimpan kisah yang mengkhawatirkan.
"Sejak sekitar tahun 2016, saya menyaksikan penurunan drastis populasi rumput laut seperti arame dan kajime," ungkap Katsunori Yamaki, anggota Dewan Rumput Laut Hayama, seperti dilansir dari The Japan Times. "Nelayan lokal juga mengeluhkan semakin sulitnya menangkap abalone, kerang turban, dan ikan-ikan yang biasa hidup di antara hamparan rumput laut."
Menyadari urgensi masalah ini, Dewan Rumput Laut Hayama bersama nelayan dan sekolah setempat berinisiatif untuk mengembalikan kejayaan lautan Hayama. Mereka memulai proyek ambisius dengan menanam kembali rumput laut di perairan pesisir. Tak berhenti di situ, mereka juga memperkaya ekosistem dengan menambahkan berbagai spesies rumput laut dan moluska laut.
Upaya restorasi ini semakin mendapat perhatian dunia setelah diakui sebagai "ekosistem karbon biru". Penghargaan ini semakin mengukuhkan pentingnya peran Hayama dalam menjaga keseimbangan lingkungan global.
Dipopulerkan oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2009, karbon biru adalah karbon dioksida yang terperangkap dan disimpan oleh ekosistem pesisir seperti hutan mangrove dan hamparan rumput laut.
Meskipun hanya menempati sebagian kecil dari luas lautan (0,5%), ekosistem ini berperan sangat vital dalam memerangi perubahan iklim dengan menyerap karbon jauh lebih banyak (50%) daripada hutan hujan tropis.
Baca Juga: Kunci Pengurangan Karbon Pesisir Ada di Tangan Masyarakat dan Mangrove
Sayangnya, keindahan alam ini terancam oleh aktivitas manusia. Para ilmuwan memperkirakan bahwa setengah dari ekosistem karbon biru dunia telah hilang akibat kerusakan habitat.
Di Jepang, negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang, penurunan ekosistem rumput laut dan lamun juga sangat signifikan. Data pemerintah menunjukkan penurunan drastis (20%-36%) antara tahun 1978 dan 1992, dan tren ini terus berlanjut.
Dampak hilangnya ekosistem karbon biru sangat luas. Tidak hanya mengurangi kemampuan laut dalam menyerap karbon, tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati laut dan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir.
Bagi Jepang, yang memiliki sejarah panjang dalam memanfaatkan sumber daya laut, kerusakan ekosistem ini juga berdampak pada perekonomian dan mata pencaharian masyarakat pesisir.
Untungnya, kesadaran akan pentingnya melindungi karbon biru semakin meningkat. Deklarasi pemerintah Jepang pada tahun 2020 untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050 menjadi momentum baru dalam upaya pelestarian ekosistem pesisir.
Pemerintah dan masyarakat sipil kini bekerja sama untuk memulihkan habitat yang rusak dan melindungi ekosistem karbon biru yang masih ada.
Jepang telah mengambil langkah signifikan dalam upaya mencapai target netralitas karbon. Awal tahun ini, Negeri Sakura menjadi negara pertama di dunia yang memasukkan penyerapan karbon oleh rumput laut—sebuah ekosistem karbon biru yang seringkali terabaikan—ke dalam laporan emisinya kepada PBB.
Menurut data terbaru, ekosistem karbon biru di Jepang berhasil menyerap sekitar 0,03% dari total emisi gas rumah kaca negara ini pada tahun fiskal 2023. Meskipun angka ini mungkin terlihat kecil, para ahli meyakini bahwa potensi karbon biru sangat besar. Dengan memperluas proyek budidaya rumput laut dan ekosistem karbon biru lainnya, Jepang bisa semakin dekat dengan tujuan nol emisi.
Namun, perjalanan menuju pemanfaatan penuh potensi karbon biru tidaklah mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah mengukur secara akurat jumlah karbon yang diserap dan disimpan oleh rumput laut.
Para ilmuwan di Jepang terus berupaya mengembangkan metode yang lebih baik untuk melakukan verifikasi ini. Keakuratan data sangat penting, mengingat potensi terjadinya "greenwashing" atau klaim lingkungan yang tidak berdasar.
Meskipun demikian, para pendukung karbon biru tetap optimis. Mereka menekankan bahwa manfaat ekosistem ini tidak hanya terbatas pada penyerapan karbon. Rumput laut juga memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan laut, melindungi garis pantai, dan mendukung keanekaragaman hayati.
Baca Juga: Perubahan Iklim dan Keberlanjutan Mangrove di Wilayah Pesisir Papua
Manfaat Tambahan
Minat Jepang terhadap karbon biru bukanlah hal baru. Sejak tahun 2013, pemerintah Jepang telah memasukkan penelitian dan pengembangan karbon biru ke dalam agenda kebijakan kelautannya.
Pada tahun 2018, komitmen ini semakin diperkuat dengan adanya rencana yang lebih konkret untuk mengimplementasikan inisiatif karbon biru, yang dipimpin langsung oleh Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata.
Sebagai upaya untuk menyinergikan berbagai program yang terkait dengan karbon biru, pemerintah Jepang pada awal tahun 2023 membentuk Dewan Liaison Karbon Biru. Dewan ini berfungsi sebagai wadah koordinasi bagi berbagai kementerian untuk bekerja sama dalam memanfaatkan potensi karbon biru secara maksimal.
Salah satu instrumen yang dianggap penting untuk mendorong proyek-proyek karbon biru adalah mekanisme carbon offset atau penggantian kerugian karbon. Carbon offset merupakan sertifikat yang menunjukkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah dilakukan oleh suatu proyek. Dengan adanya carbon offset, perusahaan atau individu yang masih menghasilkan emisi dapat membeli sertifikat ini untuk mengimbangi emisinya.
Meskipun mekanisme carbon offset masih menjadi perdebatan di tingkat internasional, pemerintah Jepang telah menjadikan perdagangan kredit karbon sebagai salah satu pilar strategi dekarbonisasinya. Saat ini, pemerintah Jepang telah mengeluarkan kredit karbon untuk berbagai kegiatan, seperti penghematan energi, penggunaan energi terbarukan, dan pengelolaan hutan.
Di tengah ambisi Jepang untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050, seorang ilmuwan bernama Tomohiro Kuwae melihat peluang besar dalam ekosistem laut. Melihat potensi karbon biru—karbon yang terperangkap dalam ekosistem pesisir seperti padang lamun dan hutan mangrove—Kuwae mendirikan Asosiasi Ekonomi Biru Jepang (JBE) pada tahun 2020.
Keputusan Kuwae untuk mendirikan JBE ternyata sangat tepat waktu. Hanya beberapa bulan setelah pendirian JBE, pemerintah Jepang mengumumkan target ambisius untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050. Hal ini mendorong Kuwae dan timnya untuk segera mengembangkan sistem kredit karbon biru yang efektif.
"Awalnya, saya memperkirakan butuh waktu sekitar tiga tahun untuk membangun sistem ini secara bertahap," kata Kuwae. "Namun, dengan adanya target pemerintah yang begitu jelas, kami harus mempercepat prosesnya."
JBE bekerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan sistem kredit karbon biru. Saat ini, JBE telah mensertifikasi lebih dari 29 proyek restorasi pesisir di seluruh Jepang.
Baca Juga: Bagaimana Mangrove Pesisir Membantu Menjaga Bumi Tetap Dingin
Proses sertifikasi ini cukup ketat. Pelamar harus menyerahkan data yang detail mengenai proyek mereka, termasuk luas area yang dipulihkan dan potensi penyerapan karbon. Data-data ini kemudian akan dievaluasi oleh panel ahli independen.
Salah satu proyek yang telah berhasil mendapatkan sertifikasi kredit karbon biru adalah Dewan Rumput Laut Hayama. Berkat data yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, Dewan Hayama dengan mudah melalui proses sertifikasi. Kredit karbon yang diperoleh kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan konservasi lebih lanjut.
"Kami sekarang menggunakan (kredit) untuk mempertahankan aktivitas konservasi lokal kami," jelasnya.
Dewan tersebut mengundang anak-anak lokal dan perusahaan yang membeli kredit untuk "tur karbon biru" untuk lebih memahami keadaan ekosistem.
"Saya percaya bahwa jika laut membaik, hal itu juga akan menciptakan manfaat ekonomi—ekonomi biru—bagi daerah tersebut," tambah Yamaki.
Sejauh ini, inisiatif kredit karbon biru yang digagas oleh JBE telah berhasil menarik minat banyak pihak. Proyek-proyek restorasi pesisir yang telah disertifikasi oleh JBE ternyata sangat diminati, meskipun skalanya masih terbilang kecil.
"Meskipun jumlah kredit karbon yang dihasilkan dari proyek-proyek ini tidak terlalu besar, namun permintaannya sangat tinggi," ungkap Tomohiro Kuwae, pendiri JBE. "Banyak perusahaan lokal yang tertarik untuk membeli kredit karbon ini karena mereka melihat nilai lebih di balik proyek-proyek restorasi pesisir."
Menurut Kuwae, minat yang tinggi terhadap kredit karbon biru ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin peduli terhadap lingkungan dan ingin berkontribusi dalam upaya pelestarian alam. Selain itu, perusahaan-perusahaan juga melihat bahwa mendukung proyek-proyek restorasi pesisir dapat meningkatkan citra merek mereka.
Ekosistem karbon biru tidak hanya berperan sebagai penyerap karbon yang efektif, tetapi juga memberikan berbagai manfaat tambahan bagi masyarakat pesisir. Daniel Friess, seorang profesor dari Tulane University yang ahli dalam bidang karbon biru, menjelaskan bahwa ekosistem karbon biru dapat mendukung perikanan, melindungi garis pantai, dan memiliki nilai budaya yang tinggi.
"Karbon biru dapat dianggap sebagai 'payung' yang melindungi berbagai manfaat ekosistem pesisir lainnya," ujar Friess.
Baca Juga: Ekosistem Karbon Biru, Modal Alami untuk Kendalikan Perubahan Iklim
Menghindari greenwashing
Antusiasme global terhadap karbon biru, termasuk di Jepang, semakin meningkat. Namun, upaya untuk mengukur dan memverifikasi penyerapan karbon oleh ekosistem ini, khususnya rumput laut, masih menghadapi sejumlah tantangan.
Tidak seperti mangrove atau padang lamun yang menyimpan karbon secara langsung di dalam sedimen, rumput laut seperti konbu dan wakame yang menempel pada permukaan keras menyimpan sebagian besar karbon yang mereka serap di tempat yang jauh lebih dalam, yaitu dasar laut. Hal ini membuat proses pelacakan dan verifikasi karbon yang tersimpan menjadi jauh lebih kompleks.
"Membuktikan hubungan antara pertumbuhan rumput laut dan penyimpanan karbon di dasar laut adalah hal yang sangat sulit," ungkap Daniel Friess, seorang profesor dari Tulane University. Karena kesulitan ini, banyak studi ilmiah internasional seringkali tidak memasukkan rumput laut dalam perhitungan karbon biru.
Meskipun menghadapi tantangan yang signifikan, Tomohiro Kuwae, pendiri JBE, melihat peluang besar dalam pengembangan metode pengukuran karbon biru untuk rumput laut. "Sebagai seorang ilmuwan, saya merasa tertantang untuk mempelajari hal-hal yang belum diketahui," ujarnya.
Bersama timnya, Kuwae telah mengembangkan metode perhitungan yang memungkinkan para pelamar untuk memperkirakan jumlah karbon yang diserap oleh berbagai jenis rumput laut. Metode ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam proses sertifikasi kredit karbon biru yang dikeluarkan oleh JBE.
"Kami menyadari bahwa kami perlu mengambil risiko untuk menjadi yang pertama mengembangkan metode perhitungan karbon biru untuk rumput laut," kata Kuwae.
Meskipun potensi karbon biru dalam memerangi perubahan iklim sangat menjanjikan, perjalanan menuju implementasi skala besar masih penuh dengan tantangan. Salah satu kendala utama adalah biaya yang tinggi untuk memulai dan memantau proyek-proyek restorasi ekosistem pesisir.
Selain itu, ekosistem pesisir sendiri juga menghadapi ancaman dari perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan gelombang panas yang dapat merusak habitat laut.
"Istilah 'greenwashing' atau pencitraan hijau yang menyesatkan adalah ancaman nyata bagi kredibilitas proyek karbon biru," ujar Daniel Friess, seorang ahli karbon biru dari Tulane University. Friess mencatat bahwa jika kredit karbon biru hanya digunakan untuk menutupi emisi tanpa adanya upaya nyata untuk mengurangi emisi secara keseluruhan, maka kredibilitas seluruh konsep karbon biru akan terkikis.
Proyek kredit karbon hutan dapat menjadi pelajaran berharga bagi pengembangan kredit karbon biru. Meskipun kredit karbon hutan telah populer di kalangan perusahaan, namun banyak kritik yang mengarah pada efektivitas dan transparansi dari mekanisme ini.
Para ahli khawatir bahwa kredit karbon hutan seringkali dilebih-lebihkan manfaatnya dan digunakan sebagai alat untuk menunda tindakan nyata dalam mengurangi emisi.
Untuk menghindari nasib yang sama, JBE telah menerapkan mekanisme yang ketat dalam proses sertifikasi kredit karbon biru. Kuwae menegaskan bahwa JBE hanya akan memberikan sertifikasi kepada proyek yang benar-benar berhasil dalam memulihkan ekosistem dan menyerap karbon.
"Jika ekosistem tidak membaik, maka tidak ada gunanya memberikan kredit," tegasnya.