Langka! Prasasti Beraksara Han Ditemukan di Area Permakaman Lasem

By Agni Malagina, Minggu, 1 September 2024 | 08:05 WIB
Prasasti puisi beraksara Han pertama yang terletak di area bong Cina yang ditanami pohon jati di Desa Ngasinan, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang. Tak jauh dari Kawasan Cagar Budaya Kota Lama Lasem. Foto dibuat pada tanggal 8 Agustus 2024. (Agni Malagina)

National Geographic Indonesia—Dua buah prasasti (biasanya prasasti ini disebut Shipei atau prasasti batu) beraksara Han ditemukan oleh warga desa Ngasinan di Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang. Mereka menemukannya saat sedang rehat perjalanan di kawasan hutan jati pada area tersebut awal Agustus 2024.

Di sekitarnya terdapat 2 makam gaya Tiongkok yang tidak terawat, dengan salah satu buah nisan atau bongpainya berangka tahun 1876. Tempat ditemukannya prasasti tersebut berada di sekitar Punden tilas pertapaan Mpu Santi Badra, seorang tokoh terkenal dari garis keturunan Bhre Lasem

Temuan ini cukup langka di Indonesia mengingat tidak banyak prasasti beraksara Han tersebar di Nusantara. Salah satu prasasti beraksara Han di Nusantara pernah ditemukan di kepulauan Selat Karimata yang diduga prasasti peninggalan tentara Kekaisaran Tiongkok yang melakukan ekspedisi masa Dinasti Ming akhir abad 15.

Mengapa ada prasasti batu beraksara Han di wilayah Lasem terutama pada area perbukitan? Mengapa puisi? Mengapa di makam? Apa fungsinya?

Pertanyaan ini kerap dilontarkan masyarakat pemerhati temuan serupa prasasti, terutama prasasti beraksara asing di Nusantara.

Prasasti beraksara Han situs Ngasinan ini tentunya memiliki nilai pentingnya tersendiri. Dalam kebudayaan Tionghoa, menulis puisi dalam bentuk kaligrafi aksara Han dengan cara memahat aksara tersebut pada permukaan batu atau tebing merupakan hal yang umum dilakukan oleh bangsa Tiongkok setidaknya sejak masa Kaisar Qin Shi Huang pada tahun 219 Sebelum Masehi.

Ketika itu, kejayaan Qin Shi Huang menyatukan Tiongkok dipahatkan sebagai pesan tonggak kekuasaan mutlak di sebuah tebing Gunung Thai (saat ini terletak di Provinsi Shandong). Sejak masa itu, memahatkan kaligrafi beraksara Han di Tiongkok menjadi sarana untuk menyampaikan pesan kemenangan, simbol kekuasaan, dan penanda wilayah kekuasaan dalam susunan gramatika Bahasa Tiongkok Klasik, bukan bahasa sehari-hari (kolokial).

Oleh karenanya, tradisi memahat kaligrafi puisi di Tiongkok pun berkembang bersamaan kegemaran kaum aristokrat, birokrat dan kaum elit lainnya untuk memperlihatkan ekspresi seni, estetika, gaya hidup dan simbol status mereka melalui kaligrafi puisi yang dipahatkan pada tebing, batu prasasti, hingga dinding tembok batu dan lainnya.

Dalam kebudayaan Tiongkok, puisi biasanya erat kaitannya dengan lantunan suka dan duka masyarakat, mencatat jejak hidup mereka, pujian akan hal-hal indah, hingga berisi informasi berharga tentang sejarah, dan gambaran kehidupan masyarakat mereka. Puisi-puisi ini kemudian memiliki nilai penting karena pesan bijak yang tersembunyi dibalik rangkaian aksara Han klasik.

Fungsi puisi tidak hanya sebagai estetika, tetapi juga sebagai alat komunikasi seperti menyampaikan pesan, mengabadikan momen peristiwa penting. Letaknya bisa berada di mana saja seperti tebing gunung, batu besar di area hutan atau terbuka, batu karang di kepulauan, taman-taman para bangsawan dan kaum kaya, hingga area permakaman.

Meletakkan prasasti puisi di permakaman juga merupakan hal lumrah dalam kebiasaan budaya Tiongkok. Puisi digunakan sebagai tengara penghormatan kepada yang sudah meninggal dan dapat menjadi pesan refleksi bagi yang masih hidup atau keturunannya. 

Baca Juga: Mengapa Orang di Kekaisaran Tiongkok Mengukir Pesan di Atas Batu?