Sejarah Panjang Paralimpiade: Perjuangan Tanpa Henti Demi Inklusivitas

By Ade S, Selasa, 3 September 2024 | 08:03 WIB
Sejarah panjang Paralimpiade, dari awal yang sederhana hingga menjadi ajang olahraga dunia yang menginspirasi. (Stig Morten Skjæran)

Nationalgeographic.co.id—Dalam dunia yang seringkali membedakan dan menghakimi, Paralimpiade hadir sebagai oase inklusivitas. Sejarah panjang ajang olahraga ini adalah bukti nyata bahwa setiap individu, terlepas dari keterbatasan fisiknya, berhak untuk bermimpi, berjuang, dan meraih prestasi.

Artikel ini akan membawa Anda pada perjalanan inspiratif, mengungkap bagaimana Paralimpiade telah mengubah persepsi masyarakat tentang disabilitas dan mendorong terciptanya dunia yang lebih adil dan setara.

Bintang cemerlang yang menginspirasi dunia paralimpik

Jessica Long, perenang asal Amerika Serikat, telah membuktikan bahwa disabilitas bukanlah penghalang untuk meraih prestasi gemilang.

Dengan lima medali emas yang digondolnya pada Paralimpiade Tokyo 2020, total koleksi medali Jessica kini mencapai angka yang mengagumkan, yaitu 29 buah. Prestasi luar biasa ini telah menjadikan dirinya salah satu atlet Paralimpik paling sukses di dunia.

Bagi Jessica, Paralimpiade bukan sekadar ajang kompetisi, tetapi juga sebuah platform untuk menginspirasi jutaan orang. Sejak meraih medali emas pertamanya di Athena pada usia 12 tahun, ia bertekad untuk memperkenalkan Paralimpiade kepada dunia.

"Setiap empat tahun, antusiasme dan persiapan menuju Paralimpiade semakin meningkat," ujar Jessica, yang harus kehilangan kedua kakinya sejak bayi akibat kondisi bawaan, seperti dilansir dari National Geographic.

Popularitas Paralimpiade saat ini memang tengah berada di puncaknya. Pada gelaran Paralimpiade Paris yang baru saja berakhir, lebih dari 4.400 atlet dari berbagai negara berkumpul untuk mempertontonkan kemampuan terbaik mereka.

Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah panjang dan menarik di balik perhelatan olahraga ini?

Perjuangan tanpa henti untuk inklusivitas

Paralimpiade, perhelatan olahraga bagi para atlet dengan disabilitas, telah menjelma menjadi ajang yang tak kalah bergengsi dibandingkan Olimpiade. Meski usianya relatif muda, Paralimpiade telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir.

Baca Juga: Sejarah Dunia yang Terlupakan: Ketika Puisi Berlaga di Olimpiade

Setiap empat tahun, Komite Paralimpiade Internasional (IPC) terus memperluas cakupan ajang ini, melibatkan lebih banyak atlet dari berbagai negara dengan beragam jenis disabilitas, serta menghadirkan cabang olahraga yang semakin beragam.

Meskipun Paralimpiade secara resmi dimulai pada tahun 1948, semangat berkompetisi bagi individu dengan keterbatasan fisik telah ada jauh sebelumnya.

Pada akhir abad ke-19, komunitas tuli di Berlin telah membentuk klub olahraga mereka sendiri. Namun, gerakan olahraga untuk penyandang disabilitas baru benar-benar meluas setelah Perang Dunia II.

Salah satu tokoh kunci di balik lahirnya Paralimpiade adalah Ludwig Guttmann, seorang dokter yang bertugas di pusat cedera tulang belakang di Inggris.

Guttmann melihat olahraga sebagai sarana rehabilitasi yang efektif, baik secara fisik maupun mental, bagi para veteran dan warga sipil yang mengalami cedera akibat perang. Ia yakin bahwa partisipasi dalam olahraga akan membantu mereka kembali berintegrasi ke dalam masyarakat.

"Saya menemukan bahwa olahraga untuk penyandang disabilitas memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap pandangan sosial," kata Guttmann dalam sebuah wawancara di situs web IPC. "Ketika saya melihat bagaimana olahraga diterima oleh penyandang cacat, masuk akal untuk memulai gerakan olahraga."

Pada tahun 1948, bertepatan dengan penyelenggaraan Olimpiade London, Guttmann menggelar kompetisi perdana bagi para atlet kursi roda yang diberi nama International Wheelchair Games. Sederhana namun bermakna, kompetisi ini menjadi titik awal dari sebuah perjalanan panjang menuju inklusivitas dalam dunia olahraga.

Awalnya, hanya 16 mantan prajurit dan wanita yang menggunakan kursi roda yang berpartisipasi dalam lomba memanah. Namun, semangat dan antusiasme mereka menginspirasi banyak orang.

Tahun demi tahun, jumlah peserta terus bertambah dan cabang olahraga pun semakin beragam. Lempar lembing pun segera menjadi bagian dari kompetisi ini.

Seiring dengan berkembangnya acara ini, namanya pun diubah menjadi Stoke Mandeville Games, diambil dari nama rumah sakit tempat Guttmann bekerja. Pada tahun 1952, Belanda mengirimkan timnya, menjadikan kompetisi ini ajang internasional pertama kali.

Puncak dari perjalanan ini adalah pada tahun 1960, ketika Stoke Mandeville Games resmi bertransformasi menjadi Paralimpiade.

Baca Juga: Angkat Besi: Dari Palestina Hingga Jadi Cabang Olahraga Olimpiade

Lebih dari 400 atlet dari 23 negara berkumpul di Roma, Italia, untuk berkompetisi dalam berbagai cabang olahraga, mulai dari memanah, renang, hingga olahraga yang tak biasa seperti snooker. Mereka mengikuti jejak para atlet Olimpiade, berlaga di Stadion Olimpiade Roma.

Sejak saat itu, Paralimpiade menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia olahraga. Konsep penyelenggaraan Paralimpiade setelah Olimpiade di kota tuan rumah yang sama pun dimulai.

Nama "Paralimpiade" sendiri diambil dari bahasa Yunani, "para" yang berarti "di samping". Hal ini menggarisbawahi bahwa Olimpiade dan Paralimpiade berjalan beriringan, saling melengkapi, dan sama-sama merayakan semangat olahraga.

Perjalanan menuju puncak kejayaan dan inklusivitas

Paralimpiade, yang awalnya dimulai sebagai kompetisi kecil-kecilan untuk para veteran perang, telah berkembang menjadi ajang olahraga dunia yang bergengsi dan menginspirasi.

Perjalanan panjang Paralimpiade ini ditandai dengan pertumbuhan pesat baik dari segi jumlah peserta, cabang olahraga, maupun tingkat eksposur media.

Pada tahun 1976, Paralimpiade Toronto berhasil menyatukan lebih dari 1.500 atlet dari 40 negara dalam 13 cabang olahraga berbeda. Tahun yang sama juga menandai debut Paralimpiade Musim Dingin di Swedia, semakin memperkaya variasi kompetisi.

Puncaknya, Paralimpiade Seoul 1988 menggunakan fasilitas yang sama dengan Olimpiade, menandai tonggak penting dalam pengakuan internasional terhadap Paralimpiade.

Paralimpiade Atlanta 1996 bahkan dijuluki sebagai "Acara Olahraga Terbesar Kedua di Dunia" dan disiarkan secara luas di televisi. Peningkatan visibilitas ini mendorong inklusivitas yang lebih besar.

Jika awalnya Paralimpiade hanya diperuntukkan bagi veteran perang dengan cedera tulang belakang, seiring waktu, ajang ini terbuka bagi berbagai jenis disabilitas, seperti amputasi dan tunanetra.

Namun, perluasan peserta ini juga memunculkan tantangan baru. Bagaimana memastikan kompetisi berjalan adil ketika para atlet memiliki tingkat disabilitas yang berbeda-beda?

Untuk menjawab pertanyaan ini, sistem klasifikasi atlet pun diperkenalkan. Sistem ini membagi atlet ke dalam tiga kategori besar berdasarkan jenis dan tingkat disabilitas, yaitu fisik, visual, dan intelektual.

Klasifikasi ini tidak hanya menentukan apakah seorang atlet memenuhi syarat untuk berkompetisi, tetapi juga bagaimana mereka dikelompokkan dalam suatu cabang olahraga.

Bagi atlet seperti Long, Paralimpiade adalah lebih dari sekadar ajang olahraga. Ini adalah hadiah yang mengubah hidup. Dengan koleksi medali yang melampaui perenang legendaris Michael Phelps, Jessica membuktikan bahwa disabilitas bukanlah penghalang untuk mencapai prestasi tertinggi.

"Saya tidak tahu ke mana hidup akan membawa saya," katanya, "tetapi gerakan Paralimpiade telah memberi saya perjalanan yang luar biasa ini."