Nama Sultan dalam Doa: Cerminan Hubungan Ottoman-Hindia Belanda

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 17 September 2024 | 19:00 WIB
Sultan Ottoman Mehmed VI berdoa bersama Shaykh al-Islām Nuri Efendi dan Wazir Agung Ahmed Tevfik Pasha sebelum meninggalkan Istanbul, 17 November 1922. (wikimedia commons)

Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman memiliki hubungan dan peranan khusus dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara yang membangun relasi politik untuk meminta perlindungan militer.

Bahkan Aceh menjadi yang terdepan dalam proses diplomasi dengan Ottoman, yang dikenal dalam sastra klasik Melayu sebagai Raja Rum. Kerajaan tersebut sejak pertengahan abad ke-16 sudah berinisiatif melakukan korespondensi, dan karenanya mengawali kontak politik dan militer kerajaan di Asia Tenggara dengan Ottoman.

Setelah absen selama sekitar dua abad, diplomasi dengan Ottoman kembali ditempuh pada abad ke-19. Lagi, Aceh sangat aktif meminta Usmani terlibat di tengah kolonisasi Barat yang semakin mengancam, disusul kerajaan-kerajaan lain— Kedah, Riau, Jambi, dan Brunei—yang mengalami masalah relatif sama.

Oleh karena itu, kerajaan-kerajaan ini mengarahkan diplomasi untuk tujuan yang tak pula berbeda. Secara historis, inisisatif kerajaan-kerajaan Asia Tenggara dalam membangun relasi politik dengan Usmani sangat berarti.

Meski demikian, Ottoman pada dasarnya tidak memiliki agenda politik yang khusus ke kawasan timur, khususnya Asia Tenggara, kecuali sebatas hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat yang memiliki koloni di kawasan tersebut.

Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock dalam buku Ottoman-Southeast Asia Relations mengungkap bahwa surat Sultan Alauddin Ria’ayat Syah al-Kahhar (berkuasa 1537-1566) adalah bukti dari mulainya hubungan resmi yang dijalin Aceh dengan Ottoman.

Salah satu surat dari kerajaan Aceh dikirim oleh Sultan Mansur Syah (berkuasa 1873-1870) dan bertanggal tahun 1849. Setelah pembuka, surat ini mengutarakan hubungan yang terus terjalin antara Aceh dengan Ottoman, seraya menegaskan perlunya bantuan Ottoman mengingat kolonisasi Belanda yang semakin ekstensif di Nusantara.

"Memang tidak ditemukan dalam koleksi arsip Istanbul, tapi info ini menunjukkan inisiatif Aceh menjalin hubungan diplomasi dengan Ottoman dalam rangka merespons situasi kerajaan yang semakin terancam kekuatan kolonial Belanda," ungkap Ismail dkk.

Pada abad ke-19, banyak surat dari beberapa kerajaan di Asia Tenggara meminta bantuan dari Kekaisaran Ottoman untuk menghadapi cengkraman kekuatan kolonial yang semakin intensif.

"Aceh menjadi yang terdepan dalam proses diplomasi ini, artinya kerajaan Aceh memang memiliki hubungan dekat dan sudah berlangsung lama dengan Ottoman," lanjutnya. Dari enam belas surat yang tersimpan dalam koleksi arsip di Istanbul, enam berasal dari Aceh dan sisanya dari beberapa kerajaan di Asia Tenggara.

Selain inisiatif permohonan bantuan berikut petisi perlindungan, hubungan Asia Tenggara-Ottoman juga dilihat dalam kerangka hubungan diplomatik negara berdaulat di alam modern.

Baca Juga: Peran Ottoman 'Menyemai' Organisasi Islam Awal di Indonesia