Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman memiliki hubungan dan peranan khusus dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara yang membangun relasi politik untuk meminta perlindungan militer.
Bahkan Aceh menjadi yang terdepan dalam proses diplomasi dengan Ottoman, yang dikenal dalam sastra klasik Melayu sebagai Raja Rum. Kerajaan tersebut sejak pertengahan abad ke-16 sudah berinisiatif melakukan korespondensi, dan karenanya mengawali kontak politik dan militer kerajaan di Asia Tenggara dengan Ottoman.
Setelah absen selama sekitar dua abad, diplomasi dengan Ottoman kembali ditempuh pada abad ke-19. Lagi, Aceh sangat aktif meminta Usmani terlibat di tengah kolonisasi Barat yang semakin mengancam, disusul kerajaan-kerajaan lain— Kedah, Riau, Jambi, dan Brunei—yang mengalami masalah relatif sama.
Oleh karena itu, kerajaan-kerajaan ini mengarahkan diplomasi untuk tujuan yang tak pula berbeda. Secara historis, inisisatif kerajaan-kerajaan Asia Tenggara dalam membangun relasi politik dengan Usmani sangat berarti.
Meski demikian, Ottoman pada dasarnya tidak memiliki agenda politik yang khusus ke kawasan timur, khususnya Asia Tenggara, kecuali sebatas hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat yang memiliki koloni di kawasan tersebut.
Ismail Hakki Kadi dan A.C.S. Peacock dalam buku Ottoman-Southeast Asia Relations mengungkap bahwa surat Sultan Alauddin Ria’ayat Syah al-Kahhar (berkuasa 1537-1566) adalah bukti dari mulainya hubungan resmi yang dijalin Aceh dengan Ottoman.
Salah satu surat dari kerajaan Aceh dikirim oleh Sultan Mansur Syah (berkuasa 1873-1870) dan bertanggal tahun 1849. Setelah pembuka, surat ini mengutarakan hubungan yang terus terjalin antara Aceh dengan Ottoman, seraya menegaskan perlunya bantuan Ottoman mengingat kolonisasi Belanda yang semakin ekstensif di Nusantara.
"Memang tidak ditemukan dalam koleksi arsip Istanbul, tapi info ini menunjukkan inisiatif Aceh menjalin hubungan diplomasi dengan Ottoman dalam rangka merespons situasi kerajaan yang semakin terancam kekuatan kolonial Belanda," ungkap Ismail dkk.
Pada abad ke-19, banyak surat dari beberapa kerajaan di Asia Tenggara meminta bantuan dari Kekaisaran Ottoman untuk menghadapi cengkraman kekuatan kolonial yang semakin intensif.
"Aceh menjadi yang terdepan dalam proses diplomasi ini, artinya kerajaan Aceh memang memiliki hubungan dekat dan sudah berlangsung lama dengan Ottoman," lanjutnya. Dari enam belas surat yang tersimpan dalam koleksi arsip di Istanbul, enam berasal dari Aceh dan sisanya dari beberapa kerajaan di Asia Tenggara.
Selain inisiatif permohonan bantuan berikut petisi perlindungan, hubungan Asia Tenggara-Ottoman juga dilihat dalam kerangka hubungan diplomatik negara berdaulat di alam modern.
Baca Juga: Peran Ottoman 'Menyemai' Organisasi Islam Awal di Indonesia
Hal ini bisa dijelaskan dengan didirikannya konsulat Ottoman, khususnya di Singapura dan Batavia berikut peran sentralnya dalam perjalanan dan lalu-lintas isu-isu terkait berbagai aspek.
Hubungan Sosial-Politik dan Keagamaan
Sejak awal pendirian, Ottoman telah menjalin kontak intensif dengan London dan Den Haag terkait tidak hanya prosedur resmi pendirian tapi juga orang yang diangkat sebagai ketua kantor perwakilan tersebut. Beberapa isu lain yang berhubungan dengan adminstrasi perkantoran juga tampil dalam korespondensi Istanbul-London-Den Haag.
Begitu pula konsulat, khususnya di Batavia, berkontribusi penting menyediakan berbagai informasi terkait dinamika sosial-politik dan keagamaan yang berlangsung di wilayah di Hindia-Belanda saat itu untuk kementerian luar negeri di Istanbul.
Informasi tersebut meliputi antara lain perang Aceh, aktivitas Snouck Hurgronje yang (dikabarkan) memanipulasi Islam, administrasi Islam dalam pemerintahan Belanda, tindakan tentara Belanda terhadap Teuku Umar, dan gerakan Sarekat Islam.
Juga termasuk dalam catatan konsulat adalah peristiwa gempa bumi di Jawa Tengah pada 1891 dan berita dari kedutaan Ottoman di Den Haag terkait permintaan izin oleh Amerika untuk mencari sumber minyak di Indonesia.
Propaganda Ottoman terkait hubungan keagamaan dengan Asia Tenggara menjadi satu topik dalam koleksi arsip di Istanbul. Selain ajakan bersatu di Hijaz saat haji dan donasi al-Qur’an untuk muslim di Jawa, juga berita kedatangan kapal Fregat Ertugrul di Asia Tenggara, topik di atas juga bisa dilihat dari do’a untuk sultan Ottoman.
Salah satu bukti dari hal ini adalah surat dari muslim Singapura yang menyatakan telah memanjatkan do’a untuk Sultan pada salat idul fitri tahun 1902. Hal ini terungkap melalui sepucuk surat dari istana Ottoman kepada Perdana Menteri, bertanggal 12 Maret 1902, yang menyatakan tingkat apresasi Sultan yang sangat tinggi—suatu kebahagiaan besar—mengetahui aktivitas muslim Singapura tersebut.
Dua tahun kemudian, 8 Oktober 1904, ketua umum konsulat Batavia mengirim surat ke Kementerian Luar Negeri di Istanbul, yang menyatakan bahwa, atas upaya dan nasehat mereka, nama Khalifah yang Agung telah disebut dengan penuh pujian pada salat Jum’at di Masjid Melayu di Pintu Pasar dan Krukut.
Atas dasar itu, ketua konsulat juga berusaha mendorong hal yang sama di kota-kota lain di Hindia Belanda. Seperti halnya kasus di Singapura, Sultan Ottoman sangat senang dengan berita yang dikirim konsulat tersebut, yang tertuang dalam surat dari istana Ottoman (sekretaris utama) kepada Perdana Menteri tanggal 24 Januari 1908.
Begitu pula sikap yang sama diberikan kepada komunitas Arab di Singapura dan muslim Burma. Mereka memanjatkan do’a untuk Sultan yang disampaikan masing-masing oleh pemimpin mereka, Ali Mas’ud, pada 2 November 1908 dan melalui telegraf ke kantor Perdana Menteri pada 12 Mei 1908.
Baca Juga: Lika-liku Siswa Hindia Belanda saat Bersekolah di Kekaisaran Ottoman
Ismail dkk sebagaimana dikutip oleh Jajat Burhanudin dalam Hubungan Asia Tenggara–Usmani dalam Arsip Turki menyebut data terkait aktivitas do’a di atas nampak menonjol dalam catatan arsip Ottoman terkait isu keagamaan.
Hal ini sangat mungkin menjadi bagian dari sikap penguasa Ottoman yang melihat do’a sebagai sesuatu yang efektif untuk menjamin kebesaran kekuasaannya, sebagaimana yang bisa ditemukan dalam kerajaan Melayu pra-modern.
"Data ini sekaligus menegaskan bahwa untuk konteks Asia Tenggara gerakan pan-Islamisme tidak menjadi perhatian Ottoman, sebagaimana umum diasumsikan, bahkan tidak ada yang membahas masalah keagamaan, apalagi pan-Islamisme," ungkap Ismail dkk.
Data yang ada lebih fokus pada managemen transportasi dan beberapa keluhan muslim terhadap Belanda di Hijaz dan masalah karantina. Begitu pula hal yang sama bisa dilihat pada koleksi arsip terkait komunitas Jawi di wilayah kekuasaan imperium Ottoman, di mana persoalan pelajar di Mekkah, Kairo (al-Azhar) dan juga Istanbul menjadi perhatian.
Khusus untuk kasus Istanbul, isu yang berkembang terkait banyaknya pelajar Nusantara dari komunitas Hadrami, dan Arab secara umum, yang belajar di kota tersebut.
Dalam kaitan ini, status Hadrami di Nusantara memang menjadi satu pembahasan antara Ottoman dan Belanda sebagaimana terekam dan koleksi arsip.
Argumen historis bahwa Hadrami kerap bertindak sebagai duta kerajaan Nusantara ke Ottoman memang mengemuka. Meski, kehadiran pelajar Hadrami di Istanbul pada awal abad ke-20, di mana mereka sudah bersentuhan dengan modernitas, menjadi alasan utama.
Mereka mengklaim sebagai warga Ottoman, dan pihak Ottoman menerimanya. Namun, tidak demikian halnya dengan Belanda yang membedakan Hadrami yang lahir di negara Eropa dan mereka yang lahir di Nusantara; yang pertama diakui sejajar dengan orang Eropa, sementara yang kedua dikategorikan sebagai warga timur jauh (Vreemde Oosterlingen).
Dalam konteks ini, Ottoman meminta Belanda untuk mengakui orang Hadrami sebagai warga Ottoman, terlepas di mana mereka lahir, dan diberi status yang sama dengan orang Eropa.