Nama Sultan dalam Doa: Cerminan Hubungan Ottoman-Hindia Belanda

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 17 September 2024 | 19:00 WIB
Sultan Ottoman Mehmed VI berdoa bersama Shaykh al-Islām Nuri Efendi dan Wazir Agung Ahmed Tevfik Pasha sebelum meninggalkan Istanbul, 17 November 1922. (wikimedia commons)

Ismail dkk sebagaimana dikutip oleh Jajat Burhanudin dalam Hubungan Asia Tenggara–Usmani dalam Arsip Turki menyebut data terkait aktivitas do’a di atas nampak menonjol dalam catatan arsip Ottoman terkait isu keagamaan.

Hal ini sangat mungkin menjadi bagian dari sikap penguasa Ottoman yang melihat do’a sebagai sesuatu yang efektif untuk menjamin kebesaran kekuasaannya, sebagaimana yang bisa ditemukan dalam kerajaan Melayu pra-modern.

"Data ini sekaligus menegaskan bahwa untuk konteks Asia Tenggara gerakan pan-Islamisme tidak menjadi perhatian Ottoman, sebagaimana umum diasumsikan, bahkan tidak ada yang membahas masalah keagamaan, apalagi pan-Islamisme," ungkap Ismail dkk.

Data yang ada lebih fokus pada managemen transportasi dan beberapa keluhan muslim terhadap Belanda di Hijaz dan masalah karantina. Begitu pula hal yang sama bisa dilihat pada koleksi arsip terkait komunitas Jawi di wilayah kekuasaan imperium Ottoman, di mana persoalan pelajar di Mekkah, Kairo (al-Azhar) dan juga Istanbul menjadi perhatian.

Khusus untuk kasus Istanbul, isu yang berkembang terkait banyaknya pelajar Nusantara dari komunitas Hadrami, dan Arab secara umum, yang belajar di kota tersebut.

Dalam kaitan ini, status Hadrami di Nusantara memang menjadi satu pembahasan antara Ottoman dan Belanda sebagaimana terekam dan koleksi arsip.

Argumen historis bahwa Hadrami kerap bertindak sebagai duta kerajaan Nusantara ke Ottoman memang mengemuka. Meski, kehadiran pelajar Hadrami di Istanbul pada awal abad ke-20, di mana mereka sudah bersentuhan dengan modernitas, menjadi alasan utama.

Mereka mengklaim sebagai warga Ottoman, dan pihak Ottoman menerimanya. Namun, tidak demikian halnya dengan Belanda yang membedakan Hadrami yang lahir di negara Eropa dan mereka yang lahir di Nusantara; yang pertama diakui sejajar dengan orang Eropa, sementara yang kedua dikategorikan sebagai warga timur jauh (Vreemde Oosterlingen).

Dalam konteks ini, Ottoman meminta Belanda untuk mengakui orang Hadrami sebagai warga Ottoman, terlepas di mana mereka lahir, dan diberi status yang sama dengan orang Eropa.