Perjalanan Sutomo yang 'Buang Muka' Terhadap Ottoman, Pilih Hiraukan Ataturk

By Muflika Nur Fuaddah, Jumat, 20 September 2024 | 18:00 WIB
Sutomo menyebut Mustafa Kemal Ataturk telah membuat banyak kemajuan dan perbaikan pada Turki modern dan 'mengecam' Ottoman . (wikipedia)

Oleh karena itu, fakta-fakta ini menunjukkan bahwa ekonomi Ottoman sudah terbuka untuk kerja sama internasional pada waktu itu. Namun, ekonomi Ottoman tidak berkembang dengan baik karena Kesultanan Ottoman terlibat dalam beberapa perang sejak abad ke-19.

Bukan karena ekonomi pertanian yang coba mereka pertahankan. Perang yang terjadi antara Ottoman dan tetangganya sejak abad ke-19 telah memperburuk situasi ekonomi mereka.

Selain ekonomi, Sutomo juga berpikir bahwa Ottoman menyebabkan kemunduran bangsa Turki karena mereka menggunakan kata-kata Arab dan Persia dalam bahasa mereka.

Baik bahasa Arab maupun Persia memainkan peran penting dalam mempromosikan kemajuan ilmiah di Kekaisaran Ottoman pada Zaman Klasik. Namun, bahasa-bahasa tersebut mulai bersaing dengan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, dan buku-buku ilmiah ditulis dalam bahasa Barat seperti Inggris, Prancis, dan Jerman.

Di Hindia Belanda, kaum elite terpelajar modern lebih memilih menggunakan bahasa Belanda untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi. Terbukti bahwa Sutomo terlalu menggeneralisasi penggunaan bahasa.

Tampaknya Sutomo tidak terlalu memperhatikan dinamika intelektual yang terjadi di Kekaisaran Ottoman sejak abad ke-19. Misalnya, pada tahun 1839, Ottoman mengumumkan Gulhane Hatti Sherif (Dekrit Agung Gulhane), yang menginginkan kesetaraan antara Muslim dan Non-Muslim.

Deklarasi ini, yang juga dikenal sebagai Tanzimat Fermanı (Dekrit Reorganisasi), menandai kekaguman Ottoman terhadap peradaban Barat. Sejak saat itu, intelektual Turki yang mengagumi peradaban Barat mulai bermunculan.

Mereka adalah intelektual yang fasih berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman. Bahkan, militer Ottoman adalah salah satu yang pertama menerima pelajaran dalam bahasa asing seperti Prancis dan Jerman.

Kekaisaran Ottoman mengundang seorang ahli militer Jerman bernama Colmar van Der Goltz. Dia adalah seorang dosen yang mengajar para perwira militer Ottoman yang kemudian akan memainkan peran penting dalam Perang Dunia Pertama.

Selain itu, beberapa intelektual Ottoman seperti Dr. Abdullah Cevdet mengagumi filsafat Prancis dan bisa membaca buku-buku Prancis. Terbukti bahwa fakta-fakta ini tidak diperhatikan oleh Sutomo ketika ia berbicara tentang Kesultanan Ottoman.

Sutomo kemudian membahas situasi perempuan yang terpinggirkan pada masa Kesultanan Ottoman. Ia bahkan menulis bahwa "era Kekaisaran Ottoman adalah masa yang sangat kejam dan biadab terhadap perempuan, terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar dan dari kelas yang lebih kaya."

Baca Juga: Diplomasi Aceh-Ottoman Libatkan Tentara Turki Bernama Lutfi