Perjalanan Sutomo yang 'Buang Muka' Terhadap Ottoman, Pilih Hiraukan Ataturk

By Muflika Nur Fuaddah, Jumat, 20 September 2024 | 18:00 WIB
Sutomo menyebut Mustafa Kemal Ataturk telah membuat banyak kemajuan dan perbaikan pada Turki modern dan 'mengecam' Ottoman . (wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman memiliki hubungan dengan Hindia Belanda dalam bidang pendidikan. Meski begitu setelah keruntuhannya pada 3 Maret 1924, banyak madrasah dan sekolah agama ditutup karena Mustafa Kemal Ataturk menerapkan sekulerisme di negara Turki.

Ketika Sutomo menjejakkan kaki di Turki pada Maret 1937, Turki sedang mengalami transformasi besar. Lantas seperti apa kesan Sutomo, yang kelak mendirikan organisasi Budi Utomo bersemangat nasionalisme di Hindia Belanda itu?

Mengacu pada memoar Sutomo selama kunjungannya ke Turki, dapat dipahami bahwa Sutomo tidak begitu terkesan dengan kemegahan dan kejayaan Kekaisaran Ottoman. Sebaliknya, ia menganggap Ottoman sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan kemunduran bangsa Turki.

Dia lebih memuji Ataturk sebagai pemimpin Turki modern yang membuat banyak kemajuan dan perbaikan. Dalam memoarnya mengenai aspek pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya di Turki, dia bersimpati pada Turki modern dan mengecam Ottoman karena menyebabkan kemunduran bangsa Turki.

"Dalam memoarnya, Sutomo selalu membandingkan Turki modern dengan Kekaisaran Ottoman; maklum karena pada awal abad ke-20 karena Turki modern sangat kontras dengan Kekaisaran Ottoman," ungkap Yon Machmudi dan Frial Ramadhan Supratman dalam Islam, Modern Turkey, and a Javanese Intellectual: The Sutomo’s Visit to Turkey in 1937 yang terbit pada jurnal Studia Islamika.

"Setiap orang yang mengunjungi Turki pada masa itu biasanya akan mencatat dan mengomentari jatuhnya Kekaisaran Ottoman dan berdirinya Turki modern," lanjutnya.

Kritik Sutomo terhadap Ottoman mewakili pandangan kaum elite Indonesia modern tentang Ottoman sebelum perselisihan antara Muhammad Natsir dan Sukarno muncul. 

Salah satu kritik Sutomo terhadap Kesultanan Ottoman berkaitan dengan ekonomi pertanian negara tersebut. Menurut Sutomo, ekonomi pertanian Ottoman adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan kemunduran bangsa Turki.

Ia kemudian membandingkannya dengan kemajuan ekonomi Turki ketika Turki berubah menjadi republik modern. Selain itu, ia membandingkan kemunduran Ottoman dengan China, India, dan negara-negara lain yang terjajah.

"Pandangan Sutomo tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa Ottoman mendasarkan ekonominya pada sektor pertanian, tetapi sejak abad ke-19, mereka telah menyesuaikan diri dengan proses industrialisasi," jelas Yon dan Frial.

Hal itu terbukti bahwa Sutomo tidak mengetahui tentang pabrik-pabrik yang didirikan di Istanbul, terutama yang menyediakan kebutuhan untuk para tentara. Selain itu, Ottoman juga melakukan kegiatan eksplorasi tambang.

Baca Juga: Nama Sultan dalam Doa: Cerminan Hubungan Ottoman-Hindia Belanda

Oleh karena itu, fakta-fakta ini menunjukkan bahwa ekonomi Ottoman sudah terbuka untuk kerja sama internasional pada waktu itu. Namun, ekonomi Ottoman tidak berkembang dengan baik karena Kesultanan Ottoman terlibat dalam beberapa perang sejak abad ke-19.

Bukan karena ekonomi pertanian yang coba mereka pertahankan. Perang yang terjadi antara Ottoman dan tetangganya sejak abad ke-19 telah memperburuk situasi ekonomi mereka.

Selain ekonomi, Sutomo juga berpikir bahwa Ottoman menyebabkan kemunduran bangsa Turki karena mereka menggunakan kata-kata Arab dan Persia dalam bahasa mereka.

Baik bahasa Arab maupun Persia memainkan peran penting dalam mempromosikan kemajuan ilmiah di Kekaisaran Ottoman pada Zaman Klasik. Namun, bahasa-bahasa tersebut mulai bersaing dengan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, dan buku-buku ilmiah ditulis dalam bahasa Barat seperti Inggris, Prancis, dan Jerman.

Di Hindia Belanda, kaum elite terpelajar modern lebih memilih menggunakan bahasa Belanda untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi. Terbukti bahwa Sutomo terlalu menggeneralisasi penggunaan bahasa.

Tampaknya Sutomo tidak terlalu memperhatikan dinamika intelektual yang terjadi di Kekaisaran Ottoman sejak abad ke-19. Misalnya, pada tahun 1839, Ottoman mengumumkan Gulhane Hatti Sherif (Dekrit Agung Gulhane), yang menginginkan kesetaraan antara Muslim dan Non-Muslim.

Deklarasi ini, yang juga dikenal sebagai Tanzimat Fermanı (Dekrit Reorganisasi), menandai kekaguman Ottoman terhadap peradaban Barat. Sejak saat itu, intelektual Turki yang mengagumi peradaban Barat mulai bermunculan.

Mereka adalah intelektual yang fasih berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman. Bahkan, militer Ottoman adalah salah satu yang pertama menerima pelajaran dalam bahasa asing seperti Prancis dan Jerman.

Kekaisaran Ottoman mengundang seorang ahli militer Jerman bernama Colmar van Der Goltz. Dia adalah seorang dosen yang mengajar para perwira militer Ottoman yang kemudian akan memainkan peran penting dalam Perang Dunia Pertama.

Selain itu, beberapa intelektual Ottoman seperti Dr. Abdullah Cevdet mengagumi filsafat Prancis dan bisa membaca buku-buku Prancis. Terbukti bahwa fakta-fakta ini tidak diperhatikan oleh Sutomo ketika ia berbicara tentang Kesultanan Ottoman.

Sutomo kemudian membahas situasi perempuan yang terpinggirkan pada masa Kesultanan Ottoman. Ia bahkan menulis bahwa "era Kekaisaran Ottoman adalah masa yang sangat kejam dan biadab terhadap perempuan, terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar dan dari kelas yang lebih kaya."

Baca Juga: Diplomasi Aceh-Ottoman Libatkan Tentara Turki Bernama Lutfi

Dalam memoarnya, Sutomo ingin menunjukkan bahwa perempuan pada masa itu tertindas secara sosial, politik, dan ekonomi. Ia menulis bahwa perempuan "dibuang, tidak diizinkan bertemu dengan laki-laki di rumah mereka kecuali suami, ayah, dan saudara laki-laki mereka, tidak diizinkan keluar sendirian tanpa mengenakan burqa (kerudung) dan menutupi wajah mereka."

Pandangan negatif Sutomo tentang perempuan pada masa Kesultanan Ottoman sangat kontras dengan pandangannya tentang perempuan pada Zaman Hittite. Sutomo mengatakan bahwa "pada zaman Hittite, perempuan diperlakukan setara dengan laki-laki."

Pada masa itu, perempuan memainkan peran penting, seperti menjadi prajurit. Berdasarkan memoar-memoar tersebut, jelas bahwa Sutomo tidak menganggap masa Kesultanan Ottoman, yang didasarkan pada legitimasi Islam, sebagai masa keemasan bagi perempuan Turki.

Sutomo beranggapan bahwa Kesultanan Ottoman tidak menghargai posisi dan peran perempuan. Pandangan Sutomo tentang perempuan pada masa Kesultanan Ottoman tidak didasarkan pada penelitian sejarah yang memadai. Sebaliknya, pandangan tersebut tampaknya didasarkan pada prasangka yang berlaku saat itu.

Secara historis, banyak perempuan kaya dan taat pada masa Ottoman di Turki yang memainkan peran penting dalam kehidupan publik. Mereka berkontribusi besar dalam pembangunan institusi yang mengelola wakaf, seperti membangun masjid dan madrasah (sekolah Islam).

Jelas bahwa Sutomo mengabaikan fakta-fakta ini. Tampaknya keyakinannya yang kuat terhadap modernisme telah memengaruhi pandangannya tentang Turki pra-modern, khususnya pada masa Kekaisaran Ottoman yang memerintah negara tersebut selama lebih dari 600 tahun.

Selain itu, Sutomo mengkritik sistem kekaisaran yang diadopsi oleh Kekaisaran Ottoman. Zaman Kekaisaran adalah masa di mana rakyat Turki harus tunduk sepenuhnya dan mengorbankan jiwa serta harta mereka untuk kepentingan Sultan.

Sutomo melanjutkan pembahasannya tentang status kepemilikan properti di Turki pada masa Ottoman. Dia menulis, "Pada masa pemerintahan sebelumnya, kepemilikan pribadi tidak jelas karena segalanya milik raja."

"Bahkan, Sultan dan para ulama (pendeta) mengambil keuntungan dari karya-karya yang seharusnya didedikasikan untuk kepentingan rakyat, kemajuan negara, dan agama yang mereka anut. Mereka menyalahgunakannya dan membuat rakyatnya bodoh dan rendah."

Sutomo melanjutkan bahwa penindasan yang dilakukan oleh para sultan Ottoman telah membuat rakyat bangkit melawan. Misalnya, pada awal abad ke-20, rakyat memberontak karena para siswa diberikan buku teks bergambar.

Faktanya, sejak abad ke-18, sekolah-sekolah yang berorientasi Barat mendidik para perwira militer dan bahkan sekolah-sekolah kedokteran telah didirikan. Namun, Sutomo tidak dapat menjelaskan dengan tepat dan rinci di mana pemberontakan itu terjadi.

Baca Juga: Peran Ottoman 'Menyemai' Organisasi Islam Awal di Indonesia

Selain itu, Sutomo juga mengklaim bahwa Kekaisaran Ottoman mengabaikan kesejahteraan para pegawai negeri dan perwira militernya. Dia menulis bahwa, pada masa itu, sulit bagi para pegawai negeri untuk menerima gaji mereka.

Dia menulis: "Gaji tidak dibayarkan. Dalam banyak kesempatan, para tentara tidak diberi makanan dan pakaian layak, sehingga banyak yang mati kelaparan dan kedinginan. Namun, selama berabad-abad, orang-orang selalu memuji keberanian dan kesetiaan tentara Ottoman meskipun dalam kondisi yang menyedihkan."

Komentar Sutomo tentang kondisi tentara Ottoman tampaknya tidak spesifik. Dia hanya menggambarkan situasi tentara tanpa mengetahui dari masa mana tentara Ottoman tersebut. Jelas bahwa kondisi tentara akan berbeda dari waktu ke waktu.

Sulit untuk menggeneralisasi kondisi tentara Ottoman. Sebaliknya, tentara Ottoman pada Zaman Klasik (1300-1600) terlihat lebih makmur dan sejahtera dibandingkan dengan tentara kerajaan-kerajaan Eropa.

Pada masa itu, pasukan Janissary adalah korps militer yang terlatih di Eropa. Jelas bahwa fakta-fakta ini luput dari perhatian Sutomo.

Sutomo hanya menganggap segala sesuatu yang berasal dari Kesultanan Ottoman sebagai hal yang buruk. Janissary adalah tentara terbaik di benua Eropa.

Richard I. Lawless dalam The Middle East in the Twentieth Century mengatakan bahwa militer Ottoman terorganisir dengan baik, dilengkapi dengan teknologi modern, dan diberi kesejahteraan terbaik, bahkan lebih baik daripada militer Barat pada masa itu.

Jelas bahwa Sutomo tidak mendasarkan pendapatnya tentang Kesultanan Ottoman pada penelitian ilmiah tentang sejarah dan budaya Ottoman.

Dia tidak mendasarkan pandangannya pada buku-buku tertentu atau hasil penelitian spesifik karena kendala bahasa; dia hanya menguasai bahasa Eropa, terutama Belanda, sehingga sulit baginya untuk menilai Kesultanan Ottoman secara objektif.

Faktanya, dia cenderung membandingkan zaman Kekaisaran Ottoman dengan zaman sebelum Ottoman, seperti Zaman Hittite. Tampaknya, tidak bisa sembarangan membandingkan zaman Ottoman dengan Zaman Hittite, mengingat peradaban Hittite telah ada jauh sebelum Islam datang ke Turki. Oleh karena itu, kehidupan politik, sosial, dan budaya mereka juga berbeda.

Sutomo, yang mengunjungi Turki pada tahun 1937, secara alami dipengaruhi oleh apa yang terjadi di Turki pada masa itu. Turki sedang menjalani pembangunan karakter melalui berbagai program yang dipimpin oleh Ataturk.

Ataturk mencoba mengembangkan karakter bangsa Turki dan berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang kejayaan Kekaisaran Ottoman. Oleh karena itu, Turki merevisi kajian sejarah dan budayanya.

Pada saat itu, banyak orang Turki yang masih mengingat kejayaan Kekaisaran Ottoman, tetapi mereka mulai terpengaruh untuk melupakannya.

"Wajar jika Sutomo terpengaruh oleh apa yang terjadi di Turki pada masa itu. Sehingga pandangannya terhadap Kesultanan Ottoman bersifat negatif," pungkas Yon dan Frial.