Nationalgeographic.co.id—Tersembunyi di balik sejarah megahnya, Roma menyimpan sebuah legenda yang begitu menarik namun seringkali luput dari perhatian.
Pallantium, demikian nama kota legendaris itu, dikisahkan berdiri megah di atas Bukit Palatine, bukit yang kelak menjadi jantung kota Romawi yang kita kenal sekarang.
Kisah Pallantium terukir indah dalam beberapa karya sastra klasik, salah satunya adalah Aeneid karya Virgil yang terkenal. Menurut legenda, kota ini didirikan oleh seorang raja bernama Evander yang berasal dari Arcadia, sebuah wilayah di jantung Peloponnese, Yunani.
Evander diyakini tiba di tepi Sungai Tiber jauh sebelum terjadinya Perang Troya yang masyhur. Di sana, ia memilih Bukit Palatine sebagai tempat tinggalnya dan mendirikan sebuah kota kecil yang ia beri nama Pallantium, sebagai penghormatan kepada leluhurnya yang bernama Pallas.
Permukiman kecil di dekat bukit
Dionysius of Halicarnassus, seorang sejarawan Yunani yang hidup di masa Romawi, memberikan kita gambaran yang lebih rinci tentang pendirian kota legendaris Pallantium.
Menurut Dionysius, orang-orang Arcadia, yang dipimpin oleh Evander, tidak hanya sekadar mendarat di Italia, tetapi juga membangun sebuah permukiman permanen di dekat salah satu bukit Roma yang kemudian terkenal, yakni Bukit Palatine.
Mereka menamai permukiman kecil ini Pallantium, sebagai penghormatan kepada kota asal mereka di Arcadia. Dionysius memperkirakan bahwa peristiwa ini terjadi sekitar enam puluh tahun sebelum Perang Troya, yang berarti Pallantium adalah salah satu pemukiman tertua di wilayah yang kelak menjadi pusat kekuasaan Romawi.
Dalam tulisannya, Dionysius menggambarkan Pallantium sebagai sebuah desa kecil yang awalnya hanya cukup menampung penduduk dari dua kapal yang membawa para pendatang dari Yunani.
Namun, takdir telah merancang jalan yang berbeda bagi desa kecil ini. Dionysius dengan tegas menyatakan bahwa Pallantium kelak akan tumbuh menjadi sebuah kota yang jauh lebih besar dan berpengaruh dibandingkan kota-kota lain, baik di Yunani maupun di luarnya.
"Dan orang-orang Arcadia, sebagaimana Themis menasihati mereka melalui inspirasi, memilih sebuah bukit, tidak jauh dari Tiber, yang sekarang berada di dekat pusat kota Roma, dan di samping bukit ini, mereka membangun sebuah desa kecil yang cukup untuk jumlah dua kapal yang mereka bawa dari Yunani. Namun, takdir menentukan bahwa desa kecil ini akan melampaui semua kota lainnya, Yunani atau barbar, tidak hanya dalam ukuran tetapi juga dalam keagungan kerajaannya dan dalam semua bentuk kemakmuran lainnya, dan akan dirayakan di atas segalanya selama mortalitas berlangsung. Mereka menyebut kota ini Pallantium setelah ibu kota mereka di Arcadia; namun, sekarang, orang Roma menyebutnya Palatium, waktu telah mengaburkan bentuk yang benar, dan nama ini telah menimbulkan banyak etimologi yang tidak masuk akal." (Dionysius of Halicarnassus, Roman Antiquities 1.32)
Baca Juga: Benarkah Orang-orang Romawi Kuno Menyukai Tradisi Kekerasan?
Ditempatkan dalam posisi penting
Strabo, seorang ahli geografi Yunani Kuno, juga menyuarakan gagasan bahwa Roma memiliki akar Yunani.
Mengutip sejarawan Coelius, Strabo menceritakan kisah tentang Evander dari Arcadia yang mendirikan koloni di Roma. Menurut kisah ini, Evander bahkan pernah menjamu pahlawan Yunani Hercules. Tradisi persembahan kepada Hercules dalam gaya Yunani, yang terus dilestarikan di Roma, dianggap sebagai bukti kuat akan asal-usul Yunani kota tersebut.
Strabo juga menyebutkan bahwa ibu Evander, Nicostrata, seorang peramal, telah meramalkan bahwa Hercules akan menjadi dewa. Untuk menghormati ramalan ini, Evander mengkhususkan sebuah hutan untuk Hercules dan melakukan persembahan menurut tata cara Yunani.
"Namun, ada juga kisah yang lebih tua dan lebih mistis, menurutnya Roma adalah koloni Arcadia yang didirikan oleh Evander. Dia menjamu Hercules ketika dia mengendarai ternak Geryon, dan, diinformasikan oleh ibunya Nicostrata (yang terampil dalam seni nubuat) bahwa ketika Hercules telah menyelesaikan pekerjaannya, dia ditakdirkan untuk didaftarkan di antara para dewa, dia menginformasikan dia tentang masalah ini, menguduskan sebuah hutan baginya, dan mempersembahkan kurban dalam gaya Yunani; sebuah pengorbanan yang terus berlanjut untuk menghormati Hercules hingga hari ini. Sejarawan Roma Coelius percaya ini adalah bukti bahwa Roma adalah koloni Yunani, karena pengorbanan kepada Hercules dalam gaya Yunani dibawa dari tanah airnya. Orang Roma juga menghormati ibu Evander dengan nama Carmentis, menganggapnya sebagai salah satu nimfa." (Strabo, Geografi 5.3.3)
Sementara itu, dalam karya epiknya, Aeneid, Virgil juga menempatkan Pallantium dalam posisi yang sangat penting. Virgil menggambarkan Pallantium sebagai cikal bakal kota Roma yang megah. Ketika pahlawan Trojan Aeneas mencari bantuan untuk melawan suku Latium, ia disambut hangat oleh Evander dan putranya, Pallas, di kota kecil ini.
Terkait asal-usul festival Lupercalia
Kematian tragis Pallas di tangan Turnus menjadi titik balik yang sangat penting dalam kisah Aeneid. Kesedihan atas kematian putra angkatnya mendorong Aeneas untuk membalas dendam dan mengalahkan Turnus. Peristiwa ini tidak hanya memicu konflik pribadi antara kedua pahlawan, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas bagi nasib Roma.
Aliansi antara Aeneas dan Evander menyoroti hubungan erat antara Roma dan dunia Yunani. Dengan demikian, Virgil ingin menunjukkan bahwa orang-orang Roma memiliki akar yang sama dengan para pahlawan legendaris Yunani.
Livy, seorang sejarawan Romawi, juga menyinggung keberadaan Pallantium dalam catatan sejarahnya. Ia menghubungkan Pallantium dengan asal-usul festival Lupercalia, sebuah upacara tradisional Romawi yang melibatkan para pemuda berlari telanjang mengelilingi Bukit Palatine. Menurut Livy, festival ini sebenarnya berasal dari tradisi Arcadia yang dibawa oleh Evander.
Nama Pallantium sendiri berasal dari kota di Arcadia yang didirikan oleh Pallas, putra Lycaon. Dalam mitologi Yunani, Lycaon diubah menjadi serigala oleh Zeus sebagai hukuman atas kesombongannya. Oleh karena itu, ada hubungan yang menarik antara festival Lupercalia, yang melibatkan ritual berlari seperti serigala, dengan mitos pendiri Pallantium, Arcadia.
Baca Juga: Selidik Bank di Yunani Kuno dan Romawi, Samakah dengan Era Modern?
"Dikatakan bahwa festival Lupercalia, yang masih dirayakan, sudah dirayakan pada masa itu di Bukit Palatine. Bukit ini awalnya disebut Pallantium, setelah sebuah kota dengan nama yang sama di Arcadia; namanya kemudian diubah menjadi Palatium. Evander, seorang Arcadia, telah memiliki wilayah itu bertahun-tahun sebelumnya dan telah memperkenalkan sebuah festival tahunan Arcadia di mana pemuda-pemuda berlari telanjang untuk olahraga dan pesta pora, untuk menghormati Pan Lycaeus, yang kemudian disebut oleh orang Roma sebagai Inuus." (Livy, History of Rome 1.5)
Asal-usul nama
Asal-usul nama Pallantium, kota legendaris yang menjadi cikal bakal Roma, telah menjadi subyek perdebatan dan spekulasi selama berabad-abad. Berbagai sumber kuno menawarkan penjelasan yang berbeda-beda, seringkali saling bertentangan.
Virgil, sang penyair epik Romawi, mengaitkan nama Pallantium dengan Pallas, seorang leluhur Evander. Namun, penulis lain seperti Pausanias dan Dio Cassius lebih condong pada pendapat bahwa nama tersebut berasal dari kota asal Evander di Arcadia.
Dionysius of Halicarnassus menawarkan sebuah teori yang menarik. Ia berpendapat bahwa Pallantium adalah nama kuno untuk Bukit Palatine dan mungkin dinamai untuk menghormati Pallas, putra Hercules dan Lavinia (putri Evander). Namun, Dionysius sendiri mengakui bahwa ia tidak menemukan bukti yang kuat untuk mendukung teori ini.
Dalam tulisannya, Dionysius mengungkapkan keraguannya: "Tetapi saya belum pernah melihat makam Pallas di Roma atau mendengar tentang persembahan yang dibuat untuk menghormatinya, atau saya telah mampu menemukan hal lain dari sifat itu, meskipun keluarga ini tidak berhenti diingat atau menerima penghargaan yang dengannya makhluk ilahi disembah oleh manusia."
Dionysius mengamati bahwa orang Roma masih merayakan Evander dan Carmenta (ibu Evander) dengan upacara keagamaan. Ia bahkan menunjukkan lokasi altar-altar yang dipersembahkan untuk kedua tokoh tersebut. Namun, ia tidak menemukan bukti serupa untuk pemujaan terhadap Pallas.
Lebih dari sekadar dongeng masa lalu
Mitos Pallantium bukanlah sekadar dongeng masa lalu. Legenda ini memainkan peran krusial dalam membentuk identitas bangsa Romawi. Dengan menempatkan Evander, seorang raja dari Arcadia (Yunani), sebagai salah satu pendiri kota Roma, orang Roma membangun jembatan budaya yang menghubungkan mereka dengan peradaban Yunani yang begitu dihormati.
Melalui kisah ini, Roma seolah menyatakan bahwa sejak awal, mereka telah memiliki hubungan yang erat dengan tradisi dan pahlawan-pahlawan legendaris dunia kuno.
Keberadaan Pallantium dalam mitologi Roma juga memberikan penjelasan yang masuk akal atas kesamaan budaya antara Yunani dan Roma. Dengan demikian, Roma dapat mengklaim warisan yang beragam, mencakup pengaruh Yunani, Etruscan, Sabine, dan Latin. Melalui silsilah ini, Roma berhasil menyatukan berbagai elemen budaya menjadi sebuah identitas nasional yang kuat.
Lebih menarik lagi, mitos Romawi menempatkan gua Lupercal di Pallantium. Di gua inilah, menurut legenda, Romulus dan Remus, pendiri kota Roma, ditemukan sedang disusui oleh seekor serigala betina.
Dengan demikian, Pallantium menjadi tempat pertemuan antara mitologi Yunani (diwakili oleh Evander) dan mitologi Romawi (diwakili oleh Romulus dan Remus).
Tak ada bukti artefak
Selama berabad-abad, keberadaan kota Pallantium, yang didirikan oleh Evander dari Arcadia, telah diterima begitu saja sebagai fakta sejarah. Para penulis kuno, seperti Gaius Julius Solinus, bahkan mengaitkan asal-usul nama Roma dengan Evander.
Solinus berpendapat bahwa Evander, yang menemukan sebuah pemukiman yang disebut "Valentia", kemudian mengubah namanya menjadi "Roma".
"Ada yang mengklaim bahwa nama 'Roma' pertama kali muncul di benak Evander. Menemukan sebuah kota yang sudah dibangun di sana, yang oleh para pemuda disebut 'Valentia' dalam bahasa Latin, ia memperhatikan arti dari nama sebelumnya dan menyebutnya 'Roma' dalam bahasa Yunani. Dan karena dia dan orang-orang Arcadianya tinggal di bagian tertinggi bukit, asal usulnya adalah bagian-bagian kota yang paling aman kemudian disebut Arcadia." (Solinus, Polyhistor 1.1)
Tidak hanya Solinus, penulis modern seperti Robert Graves juga ikut serta dalam memperkaya kisah Pallantium. Dalam esainya, Graves membayangkan percakapan antara dua tokoh sejarah dan menyarankan bahwa Evander memiliki dua putri bernama Romë dan Dynë.
Hal ini semakin memperkuat anggapan bahwa Evander memiliki pengaruh yang sangat besar dalam penamaan dan perkembangan kota Roma.
Namun, seiring berkembangnya ilmu arkeologi, pandangan mengenai Pallantium mulai berubah. Meskipun para sejarawan dan penulis selama berabad-abad telah meyakini keberadaan kota ini, hingga kini belum ditemukan bukti arkeologis yang kuat untuk mendukung klaim tersebut.
Tidak ada artefak, struktur bangunan, atau petunjuk lain yang dapat menunjukkan adanya sebuah koloni Yunani kuno di Bukit Palatine sebelum berdirinya Roma.