Plato Ubah Mitos Prometheus hingga Jadi Alat Gerakan Intelektual Revolusioner

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 24 September 2024 | 14:00 WIB
Plato membuat mitos Prometheus secara panjang lebar (wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Mitologi Yunani Kuno menyimpan berbagai mitos yang memainkan peran penting dalam suatu budaya dari waktu ke waktu. Termasuk mitos Prometheus yang mampu membantu budaya mengakomodasi dan menegosiasikan perubahan dengan cara yang produktif. 

Misalnya Protagoras karya Plato yang kemungkinan ditulis pada tahun 390-an SM, latar ceritanya berada di Athena pada akhir tahun 430-an SM. Sebagai pembuka, diceritakan ada Protagoras, Socrates, dan yang lainnya sedang berdiskusi tentang sifat kebijaksanaan – apakah kebijaksanaan itu bawaan dalam diri manusia atau sesuatu yang harus dipelajari dari orang lain?

Setelah adegan pendahuluan dialog ini, Protagoras, seorang sofis, menggunakan mitos Yunani kuno Prometheus untuk berargumen bahwa meskipun kebijaksanaan bisa diperoleh dan dikembangkan dari orang lain, setiap manusia pada dasarnya sudah memiliki kebijaksanaan di dalam dirinya.

Untuk itu, dalam Protagoras karya Plato, diceritakan sebuah evolusi manusia dari keadaan ‘telanjang, tanpa sepatu, tempat tidur, atau senjata’ hingga akhirnya diberi kebijaksanaan oleh Prometheus.

Prometheus muncul di tempat lain dalam dialog-dialog platonis. Dalam Gorgias, Socrates menggambarkan Prometheus sebagai pihak yang mencegah manusia mengetahui waktu kematian dirinya sendiri.

Dalam Philebus, Socrates menjelaskan bahwa melalui ‘seorang Prometheus’, para dewa memberi manusia tidak hanya api, tetapi juga cara di mana ‘semua penemuan seni terungkap’.

Namun, dalam Protagoras, Plato membuat mitos Prometheus secara panjang lebar. Meskipun Protagoras mengumpulkan berbagai tokoh intelektual terkenal Athena untuk mendiskusikan para sofis dan klaim mereka mengajarkan kebijaksanaan, percakapan antara Socrates dan Protagoras menjadi inti dialog ini.

Ketika Protagoras mengklaim bahwa ia bisa menjadikan manusia sebagai warga negara yang baik, Socrates meminta sofis agung tersebut menunjukkan apakah, sebenarnya, kebijaksanaan dapat diajarkan atau tidak.

Bagaimanapun, ia menjelaskan, bahkan Pericles yang hebat pun tidak mampu mewariskan keahliannya kepada anak-anaknya. Dalam persetujuannya, Protagoras memilih bentuk cerita fabel (mitos) yang menyenangkan sebagai format presentasinya. 

Mitos Penciptaan Manusia dalam 'Protagoras'

Pada awal dunia, Protagoras menjelaskan, para dewa membentuk makhluk hidup dari campuran tanah dan api, kemudian ketika mereka akan membawa makhluk-makhluk tersebut ke dalam cahaya, mereka menugaskan Prometheus dan saudaranya, Epimetheus, untuk memberikan makhluk-makhluk tersebut sifat dan keterampilan yang diperlukan untuk bertahan hidup.

Baca Juga: Politik Identitas Athena Abad ke-5 'Dicampuri' Mitos Prometheus

Epimetheus memohon kepada saudaranya agar ia diizinkan membagikan keterampilan ini kepada semua makhluk, dan Prometheus setuju untuk mengawasi tugas saudaranya setelah selesai.

Epimetheus mulai membagikan kekuatan kepada para binatang dengan hati-hati agar tidak ada spesies yang punah. Namun, ketika Prometheus datang untuk memeriksa, ternyata ada yang salah: “Epimetheus, tidak sadarkah engkau menghabiskan sifat ini untuk para hewan, sementara manusia tidak mendapat bagian? Manusia masih telanjang, tanpa sepatu, tempat tidur, dan senjata." 

Dengan sangat kecewa dan terburu-buru karena jadwal kemunculan manusia di bumi semakin dekat, Prometheus mengambil langkah-langkah untuk memastikan kelangsungan hidup umat manusia:

Kemudian Prometheus dengan gundah dan tidak yakin ingin memberi keterampilan apa, mencuri dari Hephaestus dan Athena keterampilan berkesenian dan api – karena tanpa api, keterampilan ini tidak dapat diperoleh atau digunakan – lalu memberikannya kepada manusia.”

Protagoras lalu menjelaskan, manusia sudah diberi kebijaksanaan pribadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mereka belum punya kebijaksanaan berkewarganegaraan, karena itu wewenang Zeus.

Protagoras lanjut menjelaskan peningkatan kondisi manusia berkat pemberian Prometheus. Dia menjelaskan karena manusia memiliki bagian dari sifat ilahi, hanya manusia yang menyembah para dewa dan membangun altar serta gambar suci untuk mereka.

Selain itu, manusia segera memperoleh keterampilan untuk dapat berbicara dan mengerti kata-kata, menemukan tempat tinggal, pakaian, sandal, tempat tidur, dan barang-barang yang berasal dari bumi. Namun, Protagoras melanjutkan, meskipun manusia memiliki keterampilan ini, mereka tidak mampu hidup bersama secara damai dalam kelompok dan akan binasa.

Pada titik ini dalam mitos Protagoras, Zeus turun tangan untuk menyelamatkan umat manusia. Dia mengirim Hermes turun untuk memberikan rasa malu dan keadilan kepada manusia – bukan hanya kepada beberapa orang, tetapi kepada semua orang, karena kota-kota tidak dapat terbentuk jika hanya sebagian kecil yang memiliki kriteria ini. Oleh karena itu, Protagoras menjelaskan bahwa kebijaksanaan berkewargaegaraan adalah urusan semua orang – ini adalah inti dari kemanusiaan.

Sejarawan filsafat kuno W.K.C. Guthrie menunjukkan bahwa: "Apa yang dilakukan oleh Protagoras dalam cerita ini adalah membangun sebagian dari filsafat Ionia abad kelima yang sudah ada Ia memberi penjelasan rasional tentang asal usul kehidupan hewan dan manusia, peradaban manusia, dan menyatukan kisah Prometheus dan Epimetheus, yang telah digubah."

Perubahan Mitos Prometheus Versi Plato

Carol Dougherty dalam bukunya Prometheus menjelaskan Protagoras karya Plato mengaitkan Prometheus dengan perkembangan keterampilan intelektual dan budaya yang membedakan manusia dari binatang. Namun, Plato mengubah versi klasiknya dalam beberapa hal.

Baca Juga: Harapan Hidup Manusia Bermula dari Kisah Prometheus dan Pandora

"Pengantar Prometheus oleh Plato melampaui diskusi internal tentang apakah kebijaksanaan dapat diajarkan atau tidak, hingga ke kerangka penyelidikan filosofis tentang hakikat pengetahuan dan kebijaksanaan. Plato sepenuhnya mengubah peran Zeus, alih-alih bermusuhan dengan Prometheus dan manusia, Zeus bersama Prometheus menjadi dermawan bagi umat manusia," ungkap Carol.

"Plato menghilangkan adegan pengorbanan dalam mitos Prometheus  yang menjadi cikal bakal permusuhan di antara keduanya. Dengan meredakan permusuhan antara Prometheus dan Zeus, Plato sepenuhnya meghapus ketegangan politik sebagaimana dibuat versi Aeschylus."

"Bukan menjadi sosok penipu seperti yang ditulis Hesiod atau pemberontak politik sebagaimana cerita Aeschylus, Prometheus versi Plato muncul sebagai simbol pentingnya keterampilan politik dan kebijaksanaan berkewarganegaraan dalam hidup manusia," jelasnya.

Kisah Prometheus ala Protagoras lebih sedikit berfokus pada teknologi dan cara-cara lain di mana umat manusia belajar menguasai alam. Kisah ini lebih menyoroti kebutuhan dan kemampuan manusia untuk membentuk kelompok sosial sebagai karakteristik khas manusia.

Manusia berbeda dari binatang karena kebutuhan mereka untuk hidup bersama dalam komunitas – baik untuk alasan praktis seperti pertahanan diri maupun untuk mendapatkan manfaat dari kontak sosial dan komunikasi dengan menonjolkan keadilan atau kebijaksanaan sipil sebagai warisan Prometheus kepada umat manusia.

Akhirnya, meskipun mitos Prometheus karya Plato menghapus semua jejak konflik politik seperti yang dikisahkan Aeschylus, mitos ini tetap menyuarakan revolusi intelektual. Telah dikemukakan bahwa pengisahan ulang mitos Prometheus oleh Protagoras merupakan tindakan ‘promethean’ atau subversif itu sendiri.

Bagaimanapun, tujuan dari pendidikan sofis yang diasosiasikan dengan Protagoras pada dasarnya bersifat revolusioner. Mereka menolak model pendidikan tradisional dan struktur kekuasaan politik serta sosial yang terkait dengan agama Olympian, dan lebih memilih cara berpikir yang lebih rasional – jenis pemikiran cerdik yang diasosiasikan dengan Prometheus.

Dengan menghilangkan permusuhan antara Zeus dan Prometheus, mitos Prometheus versi Protagoras dengan demikian menggabungkan tugas sofis dengan tradisi dan konvensi yang sedang digantikan oleh gerakan sofistik yang lebih besar.

Ketika Protagoras mengklaim bahwa ajarannya akan menciptakan warga negara yang baik dan berpengaruh di negara-kota, sebenarnya dia sedang mengadvokasi semacam pelatihan yang merongrong cara-cara kekuasaan konvensional di Athena.

Dengan menjadikan Zeus bersama dengan Prometheus sebagai pemberi kebijaksanaan sipil kepada umat manusia, Protagoras mengakui otoritas konvensional Zeus, sambil tetap menantang kekuasaannya dengan aspek-aspek Promethean yang cerdas.