Empedu hingga Kotoran Kuda dalam Seni Kaligrafi Ottoman, untuk Apa?

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 8 Oktober 2024 | 12:00 WIB
(Ilustrasi) Kaligrafi di istana Ottoman (Freepik)

Jelaga dari lampu minyak rami dikumpulkan dan dicampur dengan getah Arab. Ditambahkan juga bahan-bahan seperti empedu, daun pacar, dan nila.

Setelah disimpan selama lima hari, campuran tersebut disaring, diberi wewangian, dan diencerkan dengan air. Duri landak digunakan untuk mengaduknya hingga mencapai konsistensi yang tepat. Tinta yang sudah jadi dituangkan ke dalam tempat tinta yang berisi bola kecil sutra mentah (lika).

Bola sutra ini berungsi untuk menyerap tinta, sehingga tidak tumpahan serta mengatur jumlah tinta yang diambil oleh pena bambu.

Pengenalan kertas dari Tiongkok di Saramkand pada tahun 751 merevolusi penulisan Islam. Kertas merupakan alternatif yang lebih murah dibandingkan perkamen, bahan yang sebelumnya digunakan untuk menyalin teks.

Kertas mentah ini harus melalui proses pengolahan sebelum bisa digunakan untuk kaligrafi. Kertas pertama-tama direbus dalam pewarna sayuran yang terbuat dari kulit delima atau bawang.

Kertas juga bisa direndam dalam daun teh untuk menghasilkan warna cokelat muda. Kaligrafi biasanya tidak ditulis di atas kertas putih karena dianggap terlalu mencolok pandangan.

Setelah kertas dikeringkan, ia dilapisi dengan ahar (zat seperti gelatin yang digunakan untuk merawat kertas). Seminggu kemudian, kertas dipoles dengan batu api yang halus. Hanya setelah kertas tersebut berusia setahun, ia siap untuk digunakan sebagai media tulis.

Kaligrafer menyiapkan tata letak tulisan di atas kertas menggunakan mistar (penggaris). Medium ini adalah sepotong karton di mana seutas benang tipis diregangkan melalui lubang-lubang untuk membuat garis panduan yang menyeimbangkan garis dasar horizontal tulisan serta batas-batas pinggiran.

Penempatan garis ini dihitung dengan cermat oleh kaligrafer, yang memperkirakan ukuran naskah sesuai dengan permukaan yang ada. Terakhir, kertas yang telah disiapkan diletakkan di atas mistar, dan kaligrafer menggunakan jari telunjuknya untuk menekan kertas dengan lembut ke arah benang. Proses ini meninggalkan sedikit lekukan yang membimbing kaligrafer saat tinta siap untuk diaplikasikan.

Pada periode Ottoman, kaligrafer tidak duduk di meja. Sebaliknya, menulis kaligrafi dilakukan sambil duduk di atas divan atau bantal.

Kertas tulis ditempatkan di atas atlik (alas kertas kasar) yang kemudian diseimbangkan di lutut kanan seniman yang ditekuk. Permukaan yang fleksibel ini membuat mereka mampu membuat goresan lengkung. Pada tahap ini, dengan bahan dan alat yang tepat, barulah kaligrafer dapat memulai seni menulis.

Baca Juga: Rempah dan Karpet: Akar Hubungan Kekaisaran Ottoman dan Nusantara