Kontradiksi Hukum Syariah Ottoman dalam Merekrut Pasukan Janissari

By Muflika Nur Fuaddah, Minggu, 13 Oktober 2024 | 16:00 WIB
Pasukan Jannisari (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman merupakan salah satu pemerintahan terkuat yang ada pada abad ke-15 dan ke-16. Wilayah kekuasaannya yang luas memberi kekuatan militer untuk pulih dari kekalahan dalam waktu yang sangat singkat, seperti yang terjadi di Lepanto.

Pasukan militer yang mumpuni juga memungkinkan kampanye secara serentak di berbagai medan, baik di Asia maupun Eropa. Namun, pada saat yang sama, perluasan wilayah yang luas ini membuat Ottoman dihuni beragam etnis yang kemudian bisa saja kesetiaannya diragukan.

Untuk mengatasi kemungkinan buruk yang terjadi, Ottoman menciptakan korps dengan kesetiaan mutlak, yaitu Janissari. Proses perekrutan Janissari melalui sistem Devshirme ini juga tidak main-main, karena anggotanya diambil sebagaian bagian dari upeti yang harus dipenuhi.

Tentara Ottoman dibagi menjadi dua unit dasar, kavaleri dan infanteri (kemudian korps artileri dan korps pencari ranjau yang jumlahnya tidak terlalu banyak).

Korps kavaleri disebut kapıkulu suvari (kavaleri pelayan gerbang agung), merupakan pasukan elit yang terstruktur dalam enam divisi dan terdiri dari sipahi (setara dengan para ksatria Eropa). Mereka adalah pemegang kekuasaan sebagai imbalan yang diberikan oleh sultan atas dinas militer. Namun, terkadang mereka tidak memenuhi tugas ini, dikarenakan posisi kotanya yang jauh.

Infanteri dibagi menjadi empat korps: Yeni Ceri atau Janissari yang dibentuk oleh Orhan I pada tahun 1330, mungkin terinspirasi oleh Mamluk dan memiliki kekuatan yang stabil; basıbozuk (tentara bayaran), bertugas mengendalikan daerah perbatasan; yerlica yang ditugaskan di garnisun perkotaan; dan kapikulu elitnya para elit.

Awalnya, target perekrutan untuk Janissari adalah tawanan perang dan budak. Namun, cara ini tidak mudah karena posisi ideologis tawanan yang tidak sepihak dan sulit dipengaruhi.

Akhirnya pada kuartal terakhir abad ke-14 diputuskan untuk memperkenalkan sistem devshirme. Jorge Alvarez dalam Devshirme, the Recruitment of Christian Children by the Ottoman Empire to Become Soldiers and Officials sebagaimana dilansir pada Labrujulaverde.com menyebut bahwa devshirme sendiri artinya 'mengumpulkan.

"Memang begitu cara bekerjanya, mengumpulkan anak-anak di wilayah Kristen yang sudah ditaklukan untuk kemudian didik pendidikan Islam dan pelatihan keterampilan perang," tulis Alvarez.

"Usia yang diperbolehkan antara delapan hingga empat belas tahun atau lebih, tergantung pada ketersediaan dan kebutuhan kekaisaran," lanjutnya.

Meskipun ada larangan merekrut anak-anak di bawah umur, seperti yang disebutkan dengan istilah becce dan sirhor (yang merujuk pada anak-anak atau bayi), larangan ini seharusnya berlaku total menurut hukum syariah, karena syariah melindungi dhimmi (orang non-Muslim, terutama Yahudi dan Kristen, yang dilindungi dalam wilayah Muslim). Orang dhimmi seharusnya mendapatkan kebebasan sebagai imbalan membayar yizia (pajak per kepala) atau jarach (pajak tanah).

Baca Juga: Kunci Sukses 'Sosok Tunggal' di Balik 600 Tahun Kekuasaan Ottoman

"Jadi, ada kontradiksi antara larangan hukum syariah dan praktik devshirme, tetapi hal ini dianggap sah dengan argumen bahwa devshirme tidak dianggap sebagai perbudakan langsung, meskipun jelas ada kaitannya," jelasnya.

Secara umum, asal-usul anak-anak yang direkrut berasal dari daerah Anatolia di mana masih terdapat masyarakat Kristen, Eropa Timur, dan Balkan, yakni daerah yang berada di bawah kekuasaan Ottoman.

Tentu saja, sistem devshirme tidak dibuka setiap tahun karena secara demografis hal itu tidak memungkinkan, melainkan tiap empat atau lima tahun sejak 1568.

Namun, devshirme juga mencakup anak-anak yang ditangkap dalam penyerbuan oleh suku Berber, yang meluas hingga ke wilayah-wilayah seperti Prancis selatan, semenanjung Italia, semenanjung Iberia, Afrika Utara, Kepulauan Canary, bahkan hingga ke pulau Lundy di Irlandia. Di pulau ini, para tawanan dari penyerbuan yang dilakukan di Islandia dan Inggris dibawa dan ditempatkan di pabrik-pabrik perakitan budak.

Anak-anak tersebut dikumpulkan sekitar 100 orang dan memakai pakaian merah agar mudah dicari jika melarikan diri dalam perjalanan ke Istanbul. Meski begitu, banyak kasus di wilayah pedesaan yang miskin, orang tua mereka sukarela menyerahkan anaknya hingga menyuap perekrut untuk membawa anaknya karena dianggap akan punya masa depan yang lebih baik.

Setibanya di Istanbul, mereka disunat dan harus melanjutkan perjalanan ke Anatolia untuk menjalani proses akulturasi, di mana mereka bekerja keras di ladang dan menerima pelatihan militer dasar. Mereka yang punya etos kerja paling bagus dikembalikan ke Istanbul mengikuti pelatihan untuk menjadi Janissari.

Sesampainya di Istanbul, mereka menjalani masa pelatihan yang cukup lengkap mencakup pembelajaran membaca dan menulis, pemahaman tentang teologi dan hukum, sains, puisi, tiga bahasa, latihan fisik, dan pertarungan jarak dekat. 

Pada masa remaja atau segera setelahnya, pembelajaran ini diakhiri dengan upacara yang disebut cıkma (keberangkatan) dan mereka dianggap siap untuk memulai pengabdian sesuai dengan aspek yang paling mereka kuasai.

Mereka tidak harus ditugaskan secara eksklusif pada angkatan bersenjata, sebab devshirme juga memasok lembaga-lembaga birokrasi (Kalemiyye) dan bahkan lembaga-lembaga keagamaan (İlmiyye) dengan personel-personel berkaliber tertinggi, meskipun yang paling cemerlang dicadangkan untuk masuk dalam pelayanan Sultan, baik di istana maupun di provinsi; beberapa bahkan melangkah lebih jauh dengan menduduki jabatan wazir agung, yang setara dengan perdana menteri.

Banyak yang ditugaskan dalam administrasi dengan tujuan mengurangi jumlah pejabat yang berasal dari bangsawan, sehingga menangkal kekuasaan yang ingin diraih golongan ini; ironisnya, mereka sendiri akhirnya membentuk golongan elit mereka sendiri.

Umat ​​Muslim dikecualikan dari devshirme, tetapi mereka tidak sendirian, karena pengecualian tersebut berlaku juga untuk anak yatim, anak tunggal, dan mereka yang cacat fisik. Keturunan pengrajin juga dikecualikan, karena mereka diharapkan melanjutkan bisnis orang tua. Demikian pula, orang Yahudi, gipsi, dan penduduk kota besar dikecualikan.

Baca Juga: Empedu hingga Kotoran Kuda dalam Seni Kaligrafi Ottoman, untuk Apa?

Menurut beberapa ahli sejarah, devshirme secara umum dan para Janissari secara khusus berperilaku hampir seperti ordo keagamaan, dengan tingkat korporatisme tinggi sehingga memberikan mereka hak-hak tertentu dan memperkuat ikatan di antara mereka.

Beberapa kesamaan aspek yang mereka punya di antaranya: hubungan bakti mereka dengan sultan, asal usul yang sama, menerima pendidikan yang sama, mempraktikkan adat istiadat tertentu secara suka rela (memelihara kumis), dan selibat.

Pada abad ke-15 dan ke-16, mereka menjadi pasukan tempur yang tangguh, ujung tombak kekaisaran yang mendominasi Mediterania dan maju melalui Eropa tengah hingga Wina, sehingga dapat dipahami betapa kuatnya mereka.

Sedemikian kuatnya sehingga, pada masa Selim I dan karena ketidakpuasan, mereka justru memberontak dan membakar Istanbul hingga membuat Sultan sendiri terkejut.

Paradoksnya, kemenangan mereka mendatangkan banyak kekayaan berupa gaji, penghargaan, dan harta rampasan, sehingga etoos disiplin mereka cenderung mengendur.

Saat itu mereka sudah berfungsi sebagai lobi yang mampu memeras sultan (yang memiliki Beylik atau pasukan Janissari sebagai pengawal pribadinya) , dan secara aktif berpartisipasi dalam segala jenis intrik politik.

Jumlah mereka cukup penting untuk memungkinkan hal itu. Tidak jelas berapa jumlahnya karena hal itu bergantung pada waktu, perang, dan klasifikasinya. Bahkan banyak orang yang bukan Janissari berpura-pura menjadi Janissari untuk mendapatkan keuntungan. 

Sejarawan Turki saat ini memperkirakan bahwa sekitar dua ratus ribu anak-anak direkrut dalam devshirme. Salah satunya adalah Skanderberg, pahlawan Albania yang terkenal dengan julukan Vlad the Impaler.

Ketika Ottoman kehilangan kendali atas banyak wilayah dan mengalami kemunduran, sistem devshirme pun terganggu hingga perlu merekrut sukarelawan, termasuk dari kaum muslim yang sejak lahir harus bergabung dengan pasukan Janissari.

Bagaimanapun, menjadi anggota Janissari waktu itu masih menjadi tujuan yang didambakan karena prestise dan standar hidupnya. Namun pada tahun 1632 mereka mengorganisir pemberontakan terhadap Murad IV, membuktikan bahwa mereka setara dengan praetorian Romawi di Ottoman.

Pemberlakuan sumpah kesetiaan tidak menjadi penghalang dan intrik terus berlanjut, sehingga pada tahun 1648 devshirme perlahan runtuh.

Baca Juga: Muslihat 'Dwifungsi ABRI' ala Pasukan Militer Kekaisaran Ottoman

Devshirme sebenarnya masih tetap ada selama beberapa tahun kemudian, tetapi hanya merekrutn beberapa ratus anak dan Ahmed III menghapusnya secara definitif pada kuartal pertama abad ke-18.

Para Janissari tidak menghilang karena penghapusan ini; mereka tetap eksis, memperbarui jajaran mereka melalui sistem pewarisan jabatan dari ayah ke anak.

Namun hal ini memengaruhi efektivitas militer mereka dalam unit yang sudah usang, jadi mereka hanya menjadi masalah dan Mahmoud II membubarkannya pada tahun 1826.