Nationalgeographic.co.id—Selama lebih dari 600 tahun, Ottoman menjadi kekaisaran Islam yang paling kuat. Pada puncak ekspansinya di tahun 1500-an, wilayah kekaisaran Ottoman mencakup Hongaria, Balkan, Anatolia, Suriah, Mesopotamia, Mesir, sebagian besar Afrika Utara, dan wilayah di sekitar kota-kota suci Madinah dan Mekah. Ottoman juga menghubungkan tiga benua—Eropa, Asia, dan Afrika.
Lantas, apa yang menyebabkan kesuksesan dan langgengnya kekuasaan Kekaisaran Ottoman? Ottoman jelas sangat berhasil dalam bidang militer. Mungkin yang lebih penting, mereka mampu membangun aparatur administratif di bawah komando sultan dan istana punya kontrol efektif atas wilayah yang luas dengan berbagai macam masyarakat.
Dalam Islam and the Arts of the Ottoman Empire yang diterbitkan oleh Asian Art Museum Education Department mencatat bahwa kekuasaan Ottoman terpusat di sultan dan keluarganya. Sultan, pada kenyataannya, adalah penguasa absolut. Penulis politik Italia, Machiavelli, mengamati bahwa "Kekaisaran Ottoman diperintah oleh satu orang. Selain itu semua hanya pelayannya."
Sultan melakukan perjanjian, mencetak uang, mengangkat pejabat, menjatuhkan hukuman mati, hingga memimpin pasukan ke medan perang. Sultan juga mengeluarkan dekrit peraturan (ferman) yang kemudian dihimpun menjadi hukum (kanuns). Ia adalah pelaksana hukum Tuhan (syariah).
Secara resmi, sultan memegang hak atas semua tanah di bawah kekuasaannya. Para sultan Ottoman mulai memandang diri mereka sebagai pewaris dua tradisi besar.
Pertama, mereka berperan sebagai khalifah, pembela iman Islam. Mereka menguasai kota suci Mekah dan Madinah serta melindungi dunia Islam dari musuh-musuh 'kafir.'
Kedua, mereka percaya bahwa mereka adalah pewaris budaya Kekaisaran Romawi dan Persia. Jika dilihat dari istana mereka di Istanbul, tampaknya mereka berdiri di pusat budaya dunia.
Seniman dari tradisi timur dan barat didorong untuk bergabung menjadi bagian dari istana sultan. Prestise para sultan semakin ditingkatkan oleh upacara-upacara publik besar yang mengesankan pengunjung asing, seperti perjamuan untuk merayakan peristiwa penting dalam kehidupan keluarga kekaisaran.
Secara teori, keanggotaan dalam kelas tertinggi masyarakat Ottoman mengharuskan seseorang menjadi muslim, setia kepada sultan, dan mengikuti kode perilaku Ottoman.
Etiket istana Ottoman mengharuskan seseorang berbicara dalam bahasa Turki yang sangat formal dengan campuran kata-kata Persia dan Arab.
Oleh karena itu, sebagian besar rakyat sultan tidak masuk kasta sosial tinggi, tidak hanya karena perbedaan kelas dan budaya, tetapi juga karena banyak rakyatnya adalah non-muslim.
Baca Juga: Muslihat 'Dwifungsi ABRI' ala Pasukan Militer Kekaisaran Ottoman
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR