Setelah 100 Tahun, Potongan Tubuh Andrew Irvine Ditemukan di Everest

By Ade S, Sabtu, 12 Oktober 2024 | 18:03 WIB
Fotografer dan pembuat film Jimmy Chin memimpin tim National Geographic di bawah sisi utara Gunung Everest pada bulan September ketika mereka menemukan sepatu boot dan kaus kaki yang disulam dengan (National Geographic/Erich Roepke)

Ekspedisi ini bukanlah upaya pertama. Sebelumnya, pada tahun 1921 dan 1922, pendaki Inggris telah berusaha menaklukkan puncak tertinggi dunia. Namun, pada masa itu, mendaki Everest bukan sekadar perjalanan singkat. Butuh waktu satu bulan atau lebih untuk mencapai base camp.

Peralatan mereka pun sangat berbeda dengan yang kita kenal sekarang. Tali mereka terbuat dari serat alami, pakaian luarnya dari wol dan gabardine, dan sepatu bot kulit mereka dibeli dengan harga 5 pound 3 shilling dari seorang pengrajin sepatu di London, James J. Carter.

Irvine sendiri berasal dari keluarga berada di Cheshire, Inggris. Pemuda tampan dan atletis ini dikenal sebagai pendayung ulung semasa kuliah di Oxford. Namun, kurangnya pengalaman mendaki teknis sempat menjadi sorotan sebelum ia bergabung dalam ekspedisi Everest 1924.

Ada dugaan bahwa Irvine mungkin memiliki disleksia atau gangguan belajar serupa yang membuatnya kesulitan membaca, tapi ia memiliki bakat mekanik yang luar biasa dan sangat mahir dalam matematika serta teknik.

Ketika dia bergabung dengan ekspedisi, dia segera ditunjuk untuk menjabat sebagai petugas oksigen, dan dia membantu meningkatkan desain silinder oksigen tim. Berkat kekuatan fisik dan semangat juangnya, Irvine berhasil mendapatkan tempat dalam tim pendaki puncak.

Dalam bukunya, The Fight For Everest, pemimpin ekspedisi E.F. Norton menggambarkan Irvine sebagai sosok yang "besar dan kuat, dengan bahu lebar dan kaki yang ringan". Julie Summers, keponakan buyut Irvine, meyakini bahwa Mallory sangat menghargai sikap hormat Irvine terhadap pendaki senior. Kesetiaan Irvine pada Mallory pun tak perlu diragukan.

Satu pertanyaan telah terjawab

Pagi buta tanggal 8 Juni 1924, Mallory dan Irvine memulai pendakian terakhir mereka menuju puncak Everest. Cuaca saat itu sangat mendukung, seperti yang diungkapkan Mallory, "cuaca sempurna untuk pekerjaan ini."

Sore harinya, Noel Odell, rekan mereka, sempat melihat sekilas dua sosok kecil di dekat Second Step saat awan sedikit terbuka. Sejak saat itu, mereka berdua menghilang tanpa jejak.

Berbagai teori muncul mencoba menjelaskan mengapa Irvine tak pernah ditemukan. Mark Synnott, seorang penulis, pendaki, dan kontributor National Geographic, dalam bukunya The Third Pole mengajukan dugaan menarik: mungkin saja pendaki Tiongkok telah menemukan tubuh dan kamera Irvine jauh hari sebelumnya, namun merahasiakannya.

Namun, Julie Summers, keponakan buyut Irvine, meyakini penemuan sepatu bot oleh tim Chin telah membantah teori tersebut. "Saya pikir penemuan Jimmy telah menjawab pertanyaan itu sepenuhnya," ujarnya.

Sebelumnya, ada sebuah teori yang menarik perhatian banyak orang. Disebutkan bahwa pada tahun 1975, seorang pendaki asal Tiongkok menemukan mayat seorang pendaki yang mengenakan pakaian lawas di bawah Northeast Ridge. Penemuan ini menjadi titik fokus utama Ekspedisi Penelitian Mallory Irvine tahun 1999.

Anker, salah satu anggota tim ekspedisi, berharap jika mereka menemukan mayat, itu adalah jenazah Irvine. Dengan begitu, mereka bisa mencari Mallory, pemimpin ekspedisi mereka. Untuk memastikan identitas jenazah, tim bahkan mengumpulkan sampel DNA dari kerabat Irvine.

Setelah Anker berhasil menemukan sisa-sisa Mallory dan menguburkannya di gunung, ia menghubungi Julie Summers. "Conrad Anker bilang ke saya, dia seperti sedang mencari harta karun dan akhirnya menemukannya," kenang Summers.

Burung gagak yang memicu kekhawatiran

Beberapa hari setelah penemuan sepatu bot itu, Chin dan timnya melihat burung gagak berkumpul di sekitar benda temuan mereka. Khawatir akan kerusakan yang mungkin terjadi, Chin kemudian meminta izin kepada Asosiasi Pendakian Tiongkok-Tibet (CTMA) untuk memindahkan sisa-sisa tersebut.

Dengan hati-hati, Chin membawa sepatu bot dan kaki keluar dari Everest menggunakan pendingin dan menyerahkannya kepada CTMA. Timnya juga mengambil sampel DNA untuk diidentifikasi lebih lanjut dengan bantuan Konsulat Inggris. "Yang paling menarik," kata Chin, "adalah label yang kami temukan pada sepatu bot."

Chin enggan mengungkapkan lokasi pasti penemuan tersebut. Alasannya sederhana: ia ingin mencegah terjadinya "perburuan harta karun" di Everest. Namun, ia yakin masih ada banyak artefak, bahkan mungkin kamera Irvine, yang tersembunyi di sekitar lokasi penemuan.

"Penemuan ini jelas mempersempit area pencarian kami," ujarnya.