Nationalgeographic.co.id—Achilles merupakan seorang pahlawan dalam mitologi Yunani. Kisah hidup Achilles juga menggambarkan pertarungan konsep antara takdir dan kehendak bebas.
Terkenal karena kehebatannya yang tak tertandingi dalam pertempuran dan nasibnya yang berakhir tragis, Achilles menjadi simbol kepahlawanan sekaligus kelemahan manusia.
Petualangannya yang legendaris selama Perang Troya dan kematiannya yang tragis telah memikat banyak orang selama berabad-abad.
Lantas bagaimana kekuatan takdir dan kehendak bebas membentuk hidup dan nasib akhir Achilles?
Ramalan Achilles
Ramalan terhadap Achilles menjadi aspek sentral dalam keseluruhan mitologinya. Ramalan tersebut membentuk karakter dan memengaruhi peristiwa dalam hidupnya.
Semua ini berasal dari serangkaian ramalan dan pertanda sejak kelahiran dan masa kanak-kanaknya, yang diinterpretasikan oleh ibunya, Thetis, serta tokoh-tokoh lain dalam mitologi Yunani.
Thetis, ibu Achilles adalah seorang nimfa laut, ia menerima beberapa ramalan tentang nasib putranya. Salah satu ramalan yang paling terkenal datang dari peramal Calchas, yang mengatakan bahwa Achilles akan menjadi prajurit Yunani terbesar dalam Perang Troya, tetapi juga akan mati muda.
Ramalan ini memicu konflik dalam batin Achilles tentang jalan mana yang akan ditempuhnya, antara mengejar kemuliaan tapi ketakutan akan kematian.
Ramalan lain tentang Achilles disampaikan oleh Thetis sendiri, yang meramalkan bahwa putranya memiliki dua pilihan takdir: ia bisa hidup lama dengan kehidupan damai, namun tanpa kemuliaan, atau ia dapat meraih ketenaran abadi dari medan perang Troya meski hidupnya akan berakhir lebih cepat.
Aditi Chaudhary dan Dr. Anshu Raj Purohit dalam Achilles: Navigating the Interplay of Fate and Free Will sebagaimana dimuat International Journal of Research Publication and Reviews mengungkap bahwa ramalan ini menyoroti konsep takdir versus kehendak bebas dalam hidup Achilles, di mana ia harus memutuskan nasibnya sendiri.
Baca Juga: Misteri Buah di Balik Kisah Suku Pemakan Lotus dalam Mitologi Yunani
Selain itu, ada pertanda lain yang menggambarkan nasib Achilles selama masa kecilnya. Misalnya, Thetis berusaha membuat Achilles bisa hidup abadi dengan mencelupkannya ke Sungai Styx, dengan memegangi bagian tumit Achille.
Namun, karena tumitnya tidak terkena air keabadian, itu menjadi titik lemahnya— kemudian dikenal sebagai "tumit Achilles"—yang melambangkan kejatuhannya.
"Ramalan-ramalan tentang Achilles menekankan kepastian takdir, sembari memunculkan peluang pilihan dan kemauan dalam membentuk takdirnya," ungkap Aditi dkk.
Meskipun ada ramalan tentang kematiannya yang tragis da cepat, Achilles dengan sadar melibatkan kehendak bebasnya secara aktif dalam Perang Troya dan memilih jalur kepahlawanan serta kemuliaan, meskipun menyadari risikonya.
"Secara keseluruhan, ramalan tentang Achilles mencerminkan kompleksitas antara takdir dan kehendak bebas dalam mitologi Yunani, serta tema abadi tentang kefanaan, kepahlawanan, dan pencarian keabadian."
Pilihan Achilles untuk Turun dalam Perang Troya
Keputusan Achilles untuk bergabung dalam Perang Troya adalah momen penting dalam hidupnya, ditandai dengan perpaduan yang kompleks antara motivasi pribadi, harapan masyarakat, dan pengaruh ilahi.
"Beberapa faktor berkontribusi pada pilihan Achilles untuk ikut serta dalam perang melawan Troya, meskipun ia sadar akan risikonya," ungkap Natalie Mary Gould dalam Character as fate in ancient literature | Achilles, Aeneas, Rostam, and Cyrus the Great.
"Achilles didorong oleh keinginan mendalam untuk meraih kemuliaan dan ketenaran pribadi. Sebagai putra nimfa laut Thetis dan raja Peleus, Achilles sudah ditakdirkan untuk menjadi besar," paparnya.
Namun, ia ingin dikenang sebagai prajurit dengan keterampilan dan keberanian yang tiada tara. Bergabung dalam Perang Troya memberi Achilles kesempatan untuk memperlihatkan kemampuannya di medan perang dan mendapatkan ketenaran abadi melalui tindakan heroik.
Baca Juga: Bagaimana Orang Yunani Kuno Mendesain Kota dan Permukiman Mereka?
Sebagai pahlawan Yunani dan anggota Myrmidon, Achilles merasa memiliki tanggung jawab dan kehormatan untuk mempertahankan tanah airnya dan menjaga kehormatan bangsanya.
Penculikan Helen, istri Raja Menelaus dari Sparta, oleh Paris dari Troya memicu konflik yang dikenal sebagai Perang Troya.
Achilles, seperti banyak prajurit Yunani lainnya, menganggap perang ini sebagai perjuangan yang benar dan merasa berkewajiban untuk berpartisipasi dalam membela Yunani dan mengembalikan Helen.
Ramalan tentang nasib Achilles juga berperan penting dalam keputusannya untuk bergabung dalam Perang Troya. Meskipun beberapa ramalan meramalkan kebesarannya sebagai prajurit, ramalan lainnya menunjukkan kematiannya di medan perang.
Achilles menyadari ramalan-ramalan ini, termasuk peringatan ibunya, Thetis, tentang pilihan antara berumur panjang tapi hidup biasa-biasa saja atau kehidupan singkat tetapi penuh kemuliaan.
Meskipun berisiko, Achilles memilih jalan kepahlawanan, terpengaruh oleh panggilan ilahi dan keinginannya menjadi mahsyur selamanya.
Keputusan Achilles untuk bergabung dalam Perang Troya juga dipengaruhi oleh tekanan dari rekan-rekan dan harapan masyarakat terhadap kepahlawanan.
Sebagai tokoh terkemuka di antara prajurit Yunani, Achilles merasa tekanan untuk menunjukkan keberanian dan kemampuannya di medan perang.
Selain itu, pahlawan dalam mitologi Yunani sering dinilai dari tindakan mereka di medan perang, dan Achilles ingin mempertahankan reputasinya sebagai prajurit terbesar pada masanya.
Kemarahan Achilles
Sepanjang Perang Troya, Achilles bergulat dengan kemarahannya sendiri. Konfliknya dengan Raja Agamemnon terkait pembagian rampasan perang menjadi pemicu kemarahan ini, yang membuat Achilles mundur dari medan perang.
Baca Juga: Selidik Theorychia, Tambang Belerang yang Terbengkalai di Pulau Milos
Namun, kemarahannya tidak hanya disebabkan oleh keadaan eksternal, tetapi juga mencerminkan pergulatan batin yang lebih dalam.
Kemarahan Achilles dipicu oleh rasa ketidakadilan dan pengkhianatan, serta ketakutannya akan dilupakan dan direndahkan.
Pergolakan batin ini menunjukkan kompleksitas karakter Achilles dan negosiasi berkelanjutannya antara takdir dan kehendak bebas.
Kematian Patroclus
Patroclus bukan hanya teman terkasih Achilles, melainkan juga sahabat yang paling dipercayainya. Saat Achilles absen dari medan perang karena perselisihannya dengan Agamemnon, Patroclus mengenakan baju zirah Achilles dan memimpin pasukan Myrmidon ke medan perang untuk membantu pasukan Yunani yang sedang terdesak.
Keputusan ini menunjukkan kesetiaan dan komitmen Patroclus kepada sahabatnya. Patroclus, dengan memakai baju zirah Achilles, bertarung satu lawan satu dengan Hector di luar tembok Troya.
Meskipun awalnya ia berhasil mengusir pasukan Troya, akhirnya Patroclus dikalahkan oleh Hector dan tewas.
Para dewa memainkan peran penting dalam menentukan hasil duel antara Patroclus dan Hector. Apollo, dewa ramalan dan panahan, turun tangan untuk membantu Hector, melemahkan Patroclus dan memungkinkan Hector untuk memberikan pukulan mematikan.
Intervensi ilahi ini menambah elemen kepastian pada kematian Patroclus, karena para dewa mengatur urusan manusia sesuai keinginan mereka sendiri.
Setelah mengetahui kematian Patroclus di tangan Hector, Achilles diliputi oleh duka dan kemarahan. Kehilangan sahabat terdekatnya memicu luapan emosi dalam diri Achilles, yang membuatnya ingin membalas dendam pada Hector dan pasukan Troya.
Peristiwa ini menjadi titik balik dalam Perang Troya, memotivasi Achilles untuk kembali bertempur dan balas dendam pada Hector.
Baca Juga: 6 Konsep Cinta dalam Mitologi Yunani: Philia Hingga Philautia
Kesedihan dan kemarahan Achilles mendorongnya kembali ke medan perang, yang kemudian mengarah pada konfrontasinya dengan Hector dan pemenuhan takdirnya.
Kematian Patroclus juga menjadi pertanda kematian Achilles sendiri, sebagai pertanda nasib tragis yang menanti pahlawan terbesar dalam pasukan Yunani.
Meskipun kematian Patroclus adalah takdir, respons Achilles terhadap kehilangan ini menunjukkan agensinya dan kekuatan kehendak bebasnya.
Achilles Memilih Kematiannya
Pilihan Achilles untuk kematiannya, yang juga dikenal sebagai "Pilihan Achilles," ini adalah momen penting dalam mitologi Yunani yang menyoroti agensi sang pahlawan dan konfrontasinya dengan kepastian takdir.
Menurut berbagai versi mitos, Achilles diberikan dua pilihan takdir oleh ibunya, nimfa laut Thetis, sebelum Perang Troya. Pilihan ini, yang mencakup tema kefanaan, kemuliaan, dan kehendak bebas, menjadi momen penentu dalam hidup Achilles.
Ramalan tentang Achilles mengungkap keahliannya yang tiada tara dalam pertempuran dan kematiannya dalam Perang Troya. Keputusan Achilles mencerminkan konflik internal antara keinginannya untuk kemuliaan pribadi dan ketakutan akan kematian.
Pada satu sisi, ia ingin meraih kemahsyuran abadi agar dikenang sebagai pahlawan terbesar pada masanya. Di sisi lain, ia bergulat dengan kenyataan bahwa pengejaran ini pada akhirnya akan menuntunnya pada maut.
Pilihan yang diberikan kepada Achilles mencerminkan tema kepahlawanan dan kefanaan yang lebih luas dalam mitologi Yunani, di mana para pahlawan harus mempertimbangkan meraih kemuliaan dengan kepastian ajal.
Pada akhirnya, Achilles memilih jalan kepahlawanan dan kemuliaan, menerima risiko dan pengorbanan yang menyertainya.
Keputusannya menunjukkan agensi dan otonominya dalam membentuk takdirnya sendiri, meskipun ada batasan dari takdir.
Baca Juga: 5 Novel Klasik Tak Lekang Waktu yang Terinspirasi dari Mitologi Yunani
"Dengan merangkul takdir dan dengan rela mengorbankan hidupnya demi kemuliaan, Achilles mewujudkan karakter ideal kepahlawanan dalam mitologi Yunani," ungkap Robert C. Solomon sebagaimana ditulisnya dalam On Fate and Fatalism: Philosophy East and West.
Pilihan kematian Achilles mencerminkan kondisi manusia secara mendalam, mengeksplorasi ketegangan antara kehendak bebas dan predestinasi.
Keputusan Achilles untuk menerima takdirnya menyoroti kompleksitas kefanaan dan pencarian abadi akan keabadian melalui tindakan kepahlawanan dan keberanian.
Pada akhirnya, pilihan Achilles menentukan sejarahnya sebagai pahlawan legendaris yang namanya akan dikenang sepanjang masa.
Achilles, pahlawan ikonik mitologi Yunani, mewakili pergulatan abadi antara konsep takdir dan kehendak bebas. Hidupnya ditandai oleh ramalan, tragedi, dan momen-momen agensi yang mendalam.
Meskipun takdir mungkin membentuk jalan hidupnya hingga batas tertentu, Achilles menunjukkan kekuatan kehendak bebas dalam menentukan takdirnya sendiri.
Melalui tindakan dan pilihannya, Achilles menavigasi kompleksitas eksistensi manusia, meninggalkan warisan yang terus bergema di berbagai budaya dan generasi.
Sebagai kesimpulan, perjalanan Achilles menjadi pengingat yang menyentuh tentang ketegangan abadi antara takdir dan kehendak bebas, serta pencarian makna dan tujuan dalam hidup manusia.