Pilihan Prometheus untuk menantang keilahian, menurut mitos dan interpretasi Hesiod, menghasilkan berbagai efek yang mengubah takdir dan paradigma eksistensi manusia secara radikal.
Meskipun perspektif keseluruhan didominasi oleh penekanan bahwa hilangnya 'zaman keemasan' dan hidup berdampingan dengan para dewa merupakan tragedi terbesar bagi umat manusia, ada juga interpretasi yang menyoroti sisi positif dari kemunculan Pandora sebagai respons ilahi langsung terhadap tindakan ofensif Prometheus.
Dalam mitologi Yunani kuno, Pandora juga dikenal sebagai Anesidora, yang berarti "pembawa anugerah dari kedalaman," yang membawa energi konstruktif dari alam yang tak terkendali.
Pandora dapat dianggap sebagai makhluk perantara antara kekuatan alam liar dan kemampuan konstruktif manusia, antara lingkungan yang berbahaya dan berubah-ubah serta rasionalitas manusia.
Orang Yunani mengenalinya sebagai pelindung kesuburan, buah yang muncul dari kerja keras dan ketekunan dalam mengolah bumi.
Sebagai simbol penjinakan dan penaklukan alam yang liar oleh kehendak manusia, Pandora pun memiliki peran sebagai karakter mitos dengan fungsi-fungsi dasar yang positif.
Fakta bahwa ia dikaitkan dengan seni kerajinan merupakan kelanjutan dari klaim mitos bahwa ia diciptakan oleh dewa kerajinan, Hephaestus, yang memberinya kecantikan alam yang belum tereksplorasi, menanti untuk ditemukan.
Hesiod menggambarkan Pandora dengan mahkota emas yang diukir oleh Hephaestus dengan gambar kehidupan lautan dan daratan.
Dari perspektif hermeneutis, terdapat tiga simbol yang dapat diamati di sini. Mahkota merupakan simbol lingkaran dan penguasaan.
Keberadaan simbolis hewan dari berbagai lingkungan alam, air dan darat, menunjukkan penerapan penguasaan atas seluruh alam.
Dengan demikian, Pandora atau Anesidora membawa tanda-tanda kemajuan manusia melalui penguasaan eksploratif terhadap keseluruhan lingkungan.
Baca Juga: Berada di Antara Dua Dunia, Prometheus 'Ajarkan' Makna Menjadi Manusia