Nationalgeographic.co.id—Dalam mitologi Yunani, aksi Prometheus mencuri api Zeus dan memberikannya kepada manusia dapat dipandang sebagai pisau bermata dua.
Tindakan yang heroik ini bisa juga diartikan sebagai awal mula penderitaan umat manusia yang tiada putus-putusnya.
Marius Cucu dan Oana Lenta dalam The Human Existential Regression and the Myth of Prometheus yang dimuat jurnal Postmodern Openings mengungkap bahwa kisah prometheus memiliki beberapa kesamaan yang menarik dengan teks dalam Alkitab.
"Keduanya memiliki irisan kisah yang membahas tema yang sama tentang kemerosotan manusia dalam dimensi ruang dan waktu, menjelma makhluk fana dalam dunia yang 'sementara,'" ugkap mereka.
Mitos Prometheus menceritakan bahwa kejadian mencuri api ilahi dilakukan bukan oleh manusia, melainkan seorang titan bernama Prometheus.
Prometheus merupakan makhluk mitologis dari kelompok yang melawan para dewa Olimpus. Konfrontasi antara mereka adalah momen peembukaann tatanan kosmis atas kehendak Zeus.
Dalam kisah di Alkitab, disebutkan juga sesosok ular jahat yang memicu kejatuhan makhluk Adam dan Hawa dari surga melalui tawaran yang terlihat menggiurkan namun dilarang oleh Tuhan.
Pada saat yang sama, terusirnya manusia dari surga membuat mereka harus bertemu dengan kekuatan-kekuatan gelap dan hukum alam.
Adam dan Hawa hidup dengan mengolah materi berupa sumber daya alam, begitu juga umat manusia yang terkena kutukan para dewa melalui Kotak Pandora, harus menghadapi kegelapan alam yang penuh kekerasan.
Detak jantung liar dan kekuatan primitifnya harus dikuasai demi manfaat dan kemajuan takdir kolektif maupun individu manusia.
Dengan munculnya Pandora, manusia seolah menjadi seperti pohon yang tumbuh tegak dan terus berkembang, mereka tidak lagi makhluk yang polos.
Baca Juga: Nietzsche, Prometheus, dan Kejatuhan Manusia dari Kehidupan Surgawi
"Mitos ini juga menekankan gagasan penemuan seksualitas sebagai sumber kenikmatan, tetapi juga sebagai sumber penderitaan tanpa akhir," ungkap Marius dan Oana.
Hal itu diinterpretasikan oleh Hesiod sebagai kemerosotan dari kehidupan surgawi yang naif ke dalam dunia inkarnasi dimana manusia tidak hanya harus mengolah materi dengan upaya yang melelahkan, tetapi juga menjadikan materi sebagai cerminan kesadaran mereka sendiri.
"Sekali lagi, kita dapat melihat kemunculan ide yang sama, yang juga muncul dalam teks Alkitab, bahwa kelahiran adalah kutukan bagi umat manusia, kutukan ilahi yang menimpa Hawa, memproyeksikan penderitaan dalam proses melahirkan, mengingatkan akan fakta ini sepenuhnya," papar mereka.
Elemen lain yang diangkat oleh mitos Prometheus menurut Hesiod adalah konsep kerja. Hidup di bumi yang terikat dalam ruang dan waktu juga menjadikan manusia harus bekerja terus-menerus.
Jika sebelumnya anugerah ilahi tampak tersedia bagi manusia di surga, ketika terusir ke bumi, semua yang menjadi kebutuhan utama untuk kehidupan manusia harus diperoleh dengan terus menerus mengeksplorasi, menaklukkan, dan mengolah materi, yaitu melalui usaha baik bekerja secara individu ataupun kelompok.
"Sekali lagi, kita bisa merasakan kedekatan gagasan dalam dua kisah tersebut, dalam kutukan ilahi terhadap manusia, seakan ditegaskan bahwa hanya dengan bekerja yang melelahkan manusia dapat memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk hidupnya," jelasnya.
Seiring dengan konsep bertahan hidup melalui kerja, ada juga evokasi realitas baru lainnya, yang tidak pernah dialami oleh manusia di surga, yakni tragedi dan kekejaman perang.
Setelah sebelumnya hidup berdampingan dengan para dewa, hidup di bumi ternyata berhadapan dengan konflik, penghancuran, dan penaklukan terhadap pihak lain.
Spektrum beracun perang muncul sebagai komponen alami dari dunia di mana manusia dihadapkan pada kesulitan untuk menemukan sumber daya utama, serta keterbatasan sumber daya tersebut pada wilayah geografis tertentu yang harus dikuasai sepenuhnya.
Dengan demikian, mulailah kultus terhadap pejuang pendiri benteng dan peradaban yang, dalam pencarian dan eksploitasi sumber daya baru, terlibat dalam konflik dengan pihak lain, dan kemenangannya menjadi awal terbentuk dan berkembangnya sebuah bangsa dan budaya.
Ia menjadi pahlawan legendaris yang meletakkan dasar bagi benteng, kerajaan, bahkan kekaisaran yang ditujukan untuk menandai evolusi sejarah umat manusia secara keseluruhan.
Baca Juga: Goethe, Prometheus, dan Pemberontakan Tertinggi Umat Manusia
Pilihan Prometheus untuk menantang keilahian, menurut mitos dan interpretasi Hesiod, menghasilkan berbagai efek yang mengubah takdir dan paradigma eksistensi manusia secara radikal.
Meskipun perspektif keseluruhan didominasi oleh penekanan bahwa hilangnya 'zaman keemasan' dan hidup berdampingan dengan para dewa merupakan tragedi terbesar bagi umat manusia, ada juga interpretasi yang menyoroti sisi positif dari kemunculan Pandora sebagai respons ilahi langsung terhadap tindakan ofensif Prometheus.
Dalam mitologi Yunani kuno, Pandora juga dikenal sebagai Anesidora, yang berarti "pembawa anugerah dari kedalaman," yang membawa energi konstruktif dari alam yang tak terkendali.
Pandora dapat dianggap sebagai makhluk perantara antara kekuatan alam liar dan kemampuan konstruktif manusia, antara lingkungan yang berbahaya dan berubah-ubah serta rasionalitas manusia.
Orang Yunani mengenalinya sebagai pelindung kesuburan, buah yang muncul dari kerja keras dan ketekunan dalam mengolah bumi.
Sebagai simbol penjinakan dan penaklukan alam yang liar oleh kehendak manusia, Pandora pun memiliki peran sebagai karakter mitos dengan fungsi-fungsi dasar yang positif.
Fakta bahwa ia dikaitkan dengan seni kerajinan merupakan kelanjutan dari klaim mitos bahwa ia diciptakan oleh dewa kerajinan, Hephaestus, yang memberinya kecantikan alam yang belum tereksplorasi, menanti untuk ditemukan.
Hesiod menggambarkan Pandora dengan mahkota emas yang diukir oleh Hephaestus dengan gambar kehidupan lautan dan daratan.
Dari perspektif hermeneutis, terdapat tiga simbol yang dapat diamati di sini. Mahkota merupakan simbol lingkaran dan penguasaan.
Keberadaan simbolis hewan dari berbagai lingkungan alam, air dan darat, menunjukkan penerapan penguasaan atas seluruh alam.
Dengan demikian, Pandora atau Anesidora membawa tanda-tanda kemajuan manusia melalui penguasaan eksploratif terhadap keseluruhan lingkungan.
Baca Juga: Berada di Antara Dua Dunia, Prometheus 'Ajarkan' Makna Menjadi Manusia
Sekali lagi, terlihat kesamaan dengan mitos Kejadian dalam Alkitab, di mana disebutkan bahwa, setelah terusir dari surga, manusia diberi takdir untuk bekerja dan mengeksploitasi alam.
Menariknya, dalam mitos Hesiod juga disebutkan bahwa dewi Athena memberikan Pandora selubung dan pakaian, yang menunjukkan awal dari seni menenun dan kerajinan ringan, khusus untuk perempuan.
Pada dasarnya, melalui Pandora, para dewa memberikan kepada manusia pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, dengan kegiatan sosial-produktif yang secara tegas sudah dibedakan dan diatur.
Para dewa Olimpus memberkati pekerjaan dan pekerjanya, sehingga muncul pertanyaan apakah mitos Hesiod menyajikan kemunculan Pandora hanya sebagai hukuman atau kebangkitan manusia atas tindakan Prometheus?
Mengenai pentingnya kemunculan Pandora, Hesiod memberi nilai positif dan negatif. Namun, dalam sifat yang dikaitkan dengan Prometheus, perspektifnya lebih negatif. Bagi Hesiod, Prometheus menunjukkan kecerdasan pragmatis dan materialistik.
Ia tidak memikirkan pandangan yang luas atau masa depan umat manusia; fokusnya adalah pada manfaat instan yang harus segera diperoleh sekarang, pada keuntungan sesaat.
Perhatian dan ketajamannya terpusat pada hasil saat ini, pada kemenangan kecil yang tak berarti dibandingkan dengan keabadian atau sejarah panjang.
Pada saat yang sama, Prometheus menunjukkan kurangnya kehati-hatian dan kebijaksanaan, yang menunjukkan ketidakmampuannya untuk berhubungan dengan transendensi atau cara manusia mendekati para dewa.
Kegagalan memahami kemampuan ilahi untuk bertindak dan berpikir menjadi dasar dari upayanya menipu Zeus, hingga turunlah kutukan bagi seluruh umat manusia.