Nationalgeographic.co.id—Mitos Prometheus memiliki beberapa interpretasi dalam spiritualitas Yunani kuno. Seorang penulis drama tragedi Yunani kuno, Aeschylus, misalnya, mengulas kembali mitos ini dengan menekankan kemampuan Prometheus berorganisasi.
Bagi Aeschylus, mitos ini menggambarkan kejatuhan manusia dari surgawi yang penuh kedamaian menuju bumi yang terikat dalam dimensi ruang-waktu. Kejadian tersebut dianggap sebagai permulaan berkembangnya peradaban manusia.
Prometheus dipandang sebagai tokoh yang menciptakan inisiatif pertama dalam pengaturan sosial dan pembagian kerja. Dalam perspektif ini, kejatuhan manusia sekaligus menjadi awal permulaan bagi manusia untuk 'ditempatkan' dalam budaya yang mengharuskan untuk bekerja dan hidup dalam tatanan sosial-politik yang mampu menjamin keamanan dinamika evolusi umat manusia.
Sementara itu bagi Plato, makna simbolis Prometheus dan mitos yang mengelilinginya sepenuhnya berbeda dari pandangan Aeschylus sebagaimana diungkap Marius Cucu dan Oana Lenta dalam The Human Existential Regression and the Myth of Prometheus yang dimuat jurnal Postmodern Openings.
"Plato, saat merujuk pada mitos Prometheus, mempertimbangkan versi yang diterimanya melalui Protagoras dari kisah Socrates," tulis mereka.
Dalam versi ini, Epimeteus, saudara Prometheus, saat menciptakan manusia lupa memercikkan resep keahlian atau kemampuan khusus. Oleh karena itu, Prometheus mencuri api dari bengkel dewa api sekaligus pengrajin pandai besi, Hephaestus, dan bermaksud mencuri hadiah lain untuk umat manusia.
Hanya berhasil membawa percikan keterampilan, Prometheus membuka gerbang era evolusi teknologi manusia hingga zaman dapat ditaklukkan dengan teknologi.
"Jadi, bagi Plato, mitos Prometheus menunjukkan transisi penting manusia menuju era 'ketaatan berlebihan' di mana manusia begitu tergantung terhadap teknologi dan mengeksploitasi alam demi kepentingan mereka sendiri."
"Satu hal yang unik dari interpretasi Plato adalah asumsi akan detail naratif-mitologis yang dianggap sebagai sumber pendekatan filosofisnya terhadap perbedaan kelas sosial dan fungsinya," papar mereka.
Plato menyoroti fakta bahwa seni politik, negosiasi, dan disiplin militer adalah hadiah yang tidak sempat dicuri Prometheus, tetapi kemudian diberikan oleh Hermes, dewa perantara antara duia dewa dan manusia.
Baca Juga: Nietzsche, Prometheus, dan Kejatuhan Manusia dari Kehidupan Surgawi
Menurut mitologinya, Hermes mengajarkan manusia seni politik, rahasia diplomasi antarnegara, dan seni militer.
Berdasarkan fakta ini, Plato menganggap bahwa seni keterampilan yang diberikan oleh Prometheus serta kemunculan Pandora dianggap lebih rendah dibanding seni politik dan militer yang dipelajari dari Hermes.
Dengan demikian, kelas sosial pekerja menempati hierarki yang lebih rendah dibandingkan politisi dan militer, yang langsung mengurusi kesejahteraan dan perlindungan kelas sosial lainnya.
Dalam pandangan Plato, ada gagasan tentang perlunya pemisahan antara semangat kolektif, yang khas bagi politisi dan militer, dan semangat kepemilikan pribadi, yang khas bagi pengrajin dan petani.
Perbedaan ini sejalan dengan Teori Dua Dunia yang diajukan oleh Plato dalam seluruh karya filsafatnya, yang menggambarkan Dunia Atas yang terdiri dari ide-ide atau bentuk-bentuk sempurna yang tidak berubah dan Dunia Bawah, dunia fisik yang kita tinggali, terdiri dari salinan atau bayangan dari ide-ide sempurna di dunia atas.
Politisi dan militer sebagai murid Hermes harus dipandu oleh visi ideal yang berada dalam dunia ide yang dekat dengan transendensi ilahi.
Sementara, petani dan pengrajin menerima status sebagai manusia di dunia imanen, yang harus bertahan hidup dan memperbaiki standar kehidupan sehari-hari.
Mereka memiliki kesadaran yang terikat kuat pada realitas materialistis dan pragmatis. Nilai-nilai mereka tidak terkait pada ide-ide tentang dunia spiritual atau makna yang lebih dalam dari eksistensi. Mereka lebih fokus pada apa yang langsung bermanfaat dan dapat diolah untuk kesejahteraan.
Mereka memiliki tujuan yang praktis, seperti mengeksplorasi, mengambil manfaat, atau mengelola sumber daya alam untuk mendukung kehidupan.
Jadi, dalam pandangan Plato, dari interpretasi mitos Prometheus seperti yang sampai melalui kisah Socrates dan Protagoras, dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan ideasional atau kecerdasan ide harus dimiliki oleh politisi dan militer profesional, sementara kecerdasan teknologi dimiliki oleh para pengrajin dan petani.
Dengan kata lain, Plato berpendapat bahwa penguasa harusnya mewakili kebijaksanaan, militer dengan keberanian, dan pengrajin dengan kerja keras.
Baca Juga: Goethe, Prometheus, dan Pemberontakan Tertinggi Umat Manusia
'Allegory of the Cave' dan Pencerahan Manusia
Dalam interpretasi Plato, mitos Prometheus menunjukkan bahwa terusirnya manusia dari kehidupan surgawi adalah ganjaran yang didapat lantaran ulah Prometheus yangn menipu dan meremehkan Zeus.
Menurut Plato, keterikatan yang berlebihan dalam dinamika dunia yang fana ini membuat manusia perlahan melupakan para dewa dan perintahnya. Manusia yang pelupa ini selalu memicu tragedi dan drama, baik secara individu maupun kolektif.
Dalam visi Platonis, bagaimanapun, terdapat kemungkinan adanya pembalikan fenomena kejatuhan manusia. Jadi, manusia yang terkutuk dan berada dalam dimensi ilusi ruang dan waktu dapat bangkit kesadarannya, membebaskan diri keduniawian yang mengalami kemerosotan spiritual.
Hal ini secara simbolis digambarkan Plato dalam Allegory of the Cave atau Alegori Gua, sebuah titik kesadaran melepaskan diri dari dunia fisik yang merupakan tiruan tidak sempurna dari dunia ide yang sempurna.
Mitos ini digambarkan melalui kisah sekelompok orang yang berada di dalam gua yang dalam. Mereka hanya bisa melihat bayangan-bayangan yang dipantulkan di dinding gua.
Bayangan ini dihasilkan oleh cahaya api samar, dan mereka menganggap bayangan-bayangan itu sebagai satu-satunya realitas yang ada.
Suatu hari, salah satu orang di gua berhasil membebaskan diri. Ia keluar dari gua dan melihat dunia nyata di luar, dunia yang penuh dengan "ide-ide sempurna" dan realitas yang sebenarnya, yang jauh lebih kaya daripada bayangan yang mereka lihat di dalam gua.
Ketika orang ini kembali ke dalam gua dan mencoba menjelaskan kepada yang lain tentang dunia nyata di luar, ia tidak dapat meyakinkan mereka.
Rekan-rekannya tidak dapat memahami atau percaya pada apa yang belum pernah mereka lihat atau alami sendiri.
Baca Juga: Berada di Antara Dua Dunia, Prometheus 'Ajarkan' Makna Menjadi Manusia
Mitos ini menjadi referensi yang kuat terhadap kondisi manusia pasca-Prometheus bahwa manusia dikutuk oleh dewa dan diasingkan dalam gua ketidaktahuan, dalam kefanaan kehidupan duniawi sehari-hari.
Manusia ini berkesempatan meraih pencerahan atau kesadaran lebih tingga-suatu keadaan di mana mereka dapat memahami nilai-nilai dasar yang dianggap luhur dan universal, yaitu kebaikan, keindahan, keadilan, dan kebenaran.
Jadi, manusia yang terusir dari surga digelimangi kehidupan duniawi dapat menemukan cahayanya kembali yang telah lama hilang.
Praktisnya, terlepas dari konsekuensi tindakan Prometheus yang menentang para dewa, ia dianggap sebagai perintis mengenai kesadaran dalam diri manusia.
Menurut mitos ini, sebelum Prometheus berulah, manusia tidak memiliki kesadaran diri, mereka tidak berpikir tentang makna esensial dan kemungkinan tujuan keberadaan mereka.
Hanya melalui kejadian yang mengejutkan dan dramatis hingga membuat manusia terpuruk akibat kutukan ilahi, mereka memperoleh kesadaran akan diri, tetapi juga penderitaan karena terikat dalam ruang dan waktu serta dalam kefanaan sejarah.