Nationalgeographic.co.id—Apa yang berada dalam benak orang-orang abad ke-19 ketika mereka mendengar kata "Amazon"?
Mereka umumnya merujuk Sungai Amazon, sungai terbesar di dunia yang mengalir berkelok-kelok di Amerika Selatan. Kawasan lembah dan sungai ini membangkitkan rasa penasaran dan perhatian besar bagi para penjelajah dan ilmuwan pada masa itu.
Bagaimana tidak? Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang saat itu belum tersingkap, kerumitan aliran sungai dan tantangan geografi, serta mistisitas Amazon dari legenda-legenda setempat.
Alfred Russel Wallace (1823-1913), bersama naturalis Henry Walter Bates (1825-1892), memulai ekspedisi ke Amazon pada 1848. Kedua naturalis dan penjelajah asal Inggris itu dipersatukan oleh hobi memburu spesimen langka. Mereka tergelitik untuk menyelidiki asal-usul spesies, sekaligus mengumpulkan spesimen untuk mendanai penelitian.
Petualangan Wallace terbilang nekat, demikian menurut Dhurorudin Mashad dalam bukunya berjudul Alfred Russel Wallace, Kiprah dan Karyanya sebagai Ilmuwan Sosial. Ia mengungkapkan dua alasan: Pertama, modal petualangannya ditanggung sendiri dengan alokasi anggaran yang pas-pasan. Kedua, Amazon dari segi apa pun kala itu jelas merupakan wilayah yang menyeramkan, apalagi bagi petualang pemula dan amatir.
Selama berada di Amazon, Wallace fokus mengumpulkan berbagai macam serangga, burung, dan hewan lainnya. Ia begitu tekun dan cermat dalam mendokumentasikan temuan-temuan biodiversitas kawasan hutan ini.
"Ada satu ciri khas negeri ini, yang keajaiban dan keindahannya dapat benar-benar dipahami hanya dengan berjalan kaki: yaitu 'hutan yang belum terjamah'," tulis Wallace dalam sepucuk surat untuk Mechanics' Institution di Neath, Wales pada 1849. Lembaga ini didirikan untuk memberikan pendidikan dan bahan bacaan bagi masyarakat setempat, dan menawarkan kelas malam tentang berbagai mata pelajaran, termasuk sains dan seni.
"Di sini, tak seorang pun yang mengapresiasi hal-hal besar dan inspiratif akan merasa kecewa," lanjut Wallace. Ia mendeskripsikan situasi di dalam hutan lembah Amazon yang belum terjamah itu laksana berada dalam bayang-bayang karena matahari yang sulit menembus tajuk-tajuk pepohonannya.
"Ukuran dan tinggi pepohonan yang sangat besar, yang sebagian besar berdiri seperti pilar raksasa setinggi seratus kaki atau lebih tanpa bercabang," tulisnya. Dia menyaksikan beragam tanaman yang "batangnya berduri atau berkerut, tanaman merambat yang meliuk-liuk dan bergelantungan dari dahan ke dahan, kadang-kadang melingkar dan berputar di tanah seperti ular besar, lalu menjulang hingga ke bagian paling atas."
Selain ragam bentuk tumbuhan yang menakjubkan, ia juga mengungkapkan bahwa banyak aspek unik lainnya yang ia jumpai selama di hutan Amazon seperti tanaman yang tumbuh di batang dan dahan, keragaman daun, buah-buahan dan biji-bijian aneh yang membusuk di tanah.
Baca Juga: Apa Penyebab Flora dan Fauna di Barat dan Timur Indonesia Berbeda?
"Semuanya melampaui apa yang dapat digambarkan, membangkitkan perasaan takjub dan hormat pada orang yang mengamatinya," tulis Wallace. "Di sini juga terdapat burung-burung paling langka, serangga-serangga terindah, serta mamalia dan reptil paling menarik. Di sini tersembunyi jaguar dan ular boa, dan di sini, di antara keteduhan paling lebat, burung lonceng membunyikan seruannya."
Singkat kata, Amazon memiliki pesona dunia lain nan langka bagi Wallace dan Bates, yang baru menjelajahi belantara hutan tropis sesungguhnya. Selama di Amazon, mereka mengirimkan spesimen-spesimen hasil buruannya ke seorang perantara di Bloomsburry, Inggris. Dari penjualan koleksi itulah mereka mendapatkan dana untuk penelitian dan perjalanannya. Peminatnya, orang-orang kaya dan museum.
Amazon selalu menarik, baik ditinjau dari masa silam maupun masa sekarang. Pun ketika berbincang perihal keanekaragaman hayati, kita kerap mengikutsertakan Brasil, si empunya Amazon.
Negara yang letaknya dengan kita terpaut hampir separuh keliling Bumi itu memiliki hutan yang jauh lebih luas dibandingkan hutan kepulauan kita. Andai Brasil memindahkan hamparan hutan hujan Amazon ke Indonesia, seluruh kawasan hutan kita tak mampu menampungnya.
Brasil dan Indonesia merupakan dua dari tujuh belas negara yang ditetapkan oleh UNEP atau Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai negara megadiversitas.
Negara megadiversitas merupakan negara yang ditakdirkan memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Masing-masing memiliki jumlah spesies yang beragam, sekaligus rumah bagi sebagian besar puspa dan satwa dunia.
Bahkan, mereka memiliki banyak spesies yang tidak ditemukan di belahan dunia lainnya. Indonesia menyandang peringkat kedua dalam negara megadiversitas. Peringkat pertamanya tentu si empunya Amazon, Brasil.
Nyaris tewas dalam dua bencana: kebakaran kapal dan badai Atlantik
Wallace pulang lebih awal daripada sahabatnya, Bates. Setelah empat tahun di rimba Amazon, ia pulang ke Inggris menggunakan kapal Helen pada 1852. Apesnya, ketika melayari Samudra Atlantik, kapal itu dirundung bencana kebakaran.
Ketika api mulai membesar, ia sedang membaca usai sarapan di kabin. Kisah malang dan menegangkan itu ditulisnya dalam buku yang terbit pada 1853. Judulnya, A Narrative of Travels on The Amazon And Rio Negro: With An Account of the Native Tribes, And Observations on The Climate, Geology and Natural History of The Amazon Valley.
Baca Juga: Lebah Terbesar Sedunia Temuan Wallace di Maluku, Terancam Punah
"Saya turun ke kabin, yang sekarang sangat panas dan penuh asap, untuk melihat apa yang layak diselamatkan," tulisnya. "Saya mengambil jam tangan saya dan sebuah kotak kecil berisi beberapa kemeja dan beberapa buku catatan lama, dengan beberapa gambar tumbuhan dan hewan, dan berlari ke dek dengan barang-barang tersebut."
Ia juga mengisahkan beberapa satwa hidup yang dibawanya turut terpanggangdi atas kapal. "Banyak burung beo, monyet, dan hewan lainnya di atas kapal sudah terbakar atau tercekik," tulisnya. Satwa-satwa Amazon itu tampak "bingung dengan apa yang terjadi, dan tidak sadar dengan nasib yang menanti mereka."
Wallace mengungkapkan bahwa hampir semua satwa yang dibawanya tidak selamat dalam kebakaran ini. "Hanya satu burung beo yang selamat: dia duduk di atas tali yang tergantung di tiang haluan, dan tali itu terbakar yang membuatnya jatuh ke air, sehingga setelah mengapung sebentar, kami menangkapnya..."
Kebakaran kapal Helen telah melenyapkan banyak koleksi spesimen burung-burung dan serangga-serangga langka yang dihimpun Wallace. Betapa malang nasibnya.
"Api segera menyambar tali-temali dan layar, menciptakan kebakaran besar sampai ke puncak," tulis Wallace. "Geladak sekarang menjadi lautan api, dan dinding kapal sebagian terbakar." Ia dan semua penumpang menyelamatkan diri menggunakan sekoci, sementara sang kapten kapal menjadi orang yang terakhir. Setelah beberapa hari terombang-ambing di perahu sekoci, datanglah pertolongan dari kapal Jordeson.
Kapal Jordeson, yang menyelamatkan ia dan penumpang lainnya, memasuki lautan badai. Bahkan, ganasnya Atlantik nyaris menelan mereka. Situasi ini semakin menyurutkan nyali Wallace.
Peristiwa lepas dari maut Samudra Atlantik itu tampaknya membuat Wallace kapok bepergian jauh. "Lima puluh kali saya bersumpah sejak tragedi itu, jika saya mencapai Inggris, saya tidak pernah mengarungi lautan," tulis Wallace dalam sepucuk surat untuk sahabatnya, Richard Spruce tertanggal 5 Oktober 1852, yang kini koleksi Natural History Museum di London.
"Sekarang semuanya telah hilang, dan aku tidak punya satu pun contoh untuk menggambarkan negeri tak dikenal yang pernah aku lalui, atau aku datangi, dan ingat kembali kenangan akan pemandangan liar yang pernah saya lihat!" demikian Wallace meratap dalam bukunya yang terbit setelah ekspedisinya di Amazon.
"Namun," imbuhnya, "penyesalan seperti itu yang kuketahui akan sia-sia, dan aku berusaha sesedikit mungkin memikirkan apa yang mungkin terjadi, dan menyibukkan diriku dengan keadaan yang sebenarnya ada."
Selain menulis tentang cerita perjalanan, pengalaman meneliti, dan sejarah alam Amazon, dalam buku itu Wallace memberikan kepada kita pengetahuan berharga tentang pusparagam kehidupan Amazon. Di sinilah bermulanya pemikiran Wallace tentang seleksi alam.
Wallace melanggar sumpahnya sendiri
Setelah menerbitkan buku tentang perjalanan dan tragedinya pada perjalanan di Amazon, ia berlayar menuju Hindia Belanda pada 1854. Di negeri kepulauan itu Wallace meneliti dan menghimpun pusparagam kehidupan selama delapan tahun. Temuannya, ia menjumpai perbedaan mencolok antara pusparagam kehidupan di Amazon dan kepulauan kita.
Selama di Amazon, ia mengamati banyak spesies serangga, burung, dan hewan lainnya yang unik dan beragam. Pengamatan ini membantu dalam mengembangkan gagasan awalnya tentang seleksi alam dan biogeografi. Namun, di kepulauan kita, ia justru menemukan pola distribusi spesies yang lebih jelas dan mencolok.
Ia mencatat adanya kawasan yang membagi fauna Asia dan Australasia dalam ilustrasi peta A Paper of the Physical Geography of the Malay Archipelago, yang diterbitkan oleh Royal Geographic Society pada 1863.
Pada peta itu terdapat garis yang membagi kepulauan kita menjadi dua bagian: Indo-Malayan Region dan Austro-Malayan Region. Kelak, Thomas Henry Huxley (1825-1895) merupakan peneliti pertama yang menjuluki temuan Wallace itu sebagai "Wallace Line" atau Garis Wallace, yang kita kenal sampai hari ini.
Temuan di kepulauan Nusantara itu memperkuat teorinya tentang evolusi dan distribusi spesies. Wallace menyaksikan bagaimana spesies di kedua sisi garis tersebut sangat berbeda meskipun jaraknya relatif dekat. Pada 1869, terbit adikaryanya di New York yang berjudul The Malay Archipelago: The land of the orang-utan, and the bird of paradise. A narrative of travel, with sketches of man and nature.
Perintis kajian pusparagam kehidupan Amazon dan Nusantara
Hutan Amazon dan hutan kepulauan Nusantara dipertautkan oleh Alfred Russel Wallace. Boleh dikata, ia termasuk peneliti perintis dalam subjek biodiversitas di Amazon, juga di Nusantara. Pengalaman Wallace di kedua wilayah ini sangat penting dalam membentuk pemahamannya tentang bagaimana spesies berkembang dan menyebar di berbagai lingkungan.
Apabila Wallace kapok menjelajah setelah peristiwa kebakaran kapal atau badai Samudra Atlantik pada 1852, barangkali pemikiran tentang Garis Wallace tak pernah menjadi kajian penting.
Wallace menerbitkan buku autobiografinya berjudul My Life: A Record of Events and Opinion dalam dua volume pada 1905. Ia berkisah tentang pengalaman sepanjang perjalanan penjelajahan di Amazon dan kepulauan Nusantara, serta pandangan-pandangannya tentang berbagai isu sosial dan ilmiah.
"Pada saat-saat seperti itu saya merasakan kegembiraan yang diberikan setiap penemuan bentuk kehidupan baru kepada pencinta alam," tulis Wallace dalam buku tadi. "Hampir sama dengan kegembiraan yang saya rasakan setiap kali menangkap kupu-kupu baru di Amazon, atau terus-menerus menemukan spesies baru seperti burung, kumbang, dan kupu-kupu di Borneo, Maluku, dan Kepulauan Aru..."