Salah satu representasi modernnya dapat ditemukan dalam relief pada tiang lampu di luar Mahkamah Agung Amerika Serikat, di mana ia digambarkan sedang bekerja di mesin tenun, mengisyaratkan peran pentingnya dalam siklus kehidupan manusia.
Dewi-dewi Takdir ini, meskipun tidak sering mendapatkan perhatian sebesar para dewa Olimpus, tetap menjadi simbol kekuatan alam semesta yang tak tergoyahkan—pengingat bahwa hidup manusia hanyalah seutas benang dalam tenunan besar kosmos.
* Lachesis
Lachesis adalah Dewi Takdir yang bertugas membagikan jatah usia kehidupan manusia. Dengan mengukur benang kehidupan, Lachesis menentukan rentang waktu yang dimiliki seseorang di dunia.
Tak hanya itu, ia juga mengatur arah takdir, memastikan bahwa setiap individu menjalani kehidupan yang telah ditetapkan. Namun, dalam kisah-kisah tertentu, Lachesis memberikan kesempatan unik kepada arwah yang akan dilahirkan kembali.
Ia berbincang dengan mereka, menawarkan pilihan apakah mereka ingin kembali sebagai manusia atau memilih bentuk kehidupan lain, seperti hewan.
Sebagai "ibu" dari trio Dewi Takdir, Lachesis digambarkan sebagai sosok yang berada di antara usia muda Clotho dan kebijaksanaan tua Atropos.
Wujudnya dalam seni sering kali memperlihatkan seorang wanita yang memegang tongkat pengukur yang diletakkan di atas benang, simbol perannya sebagai pemberi jatah hidup.
* Atropos
Sementara itu, Atropos, saudari tertua yang juga dikenal sebagai "Si Keras Kepala," memegang peran paling suram di antara mereka. Ia bertanggung jawab atas akhir kehidupan manusia, menentukan cara seseorang meninggal, dan menjadi sosok yang memotong benang kehidupan, mengakhiri perjalanan hidup seseorang.
Setelah tugasnya selesai, jiwa manusia dibawa ke Dunia Bawah oleh psychopomp, di mana takdir akhir mereka ditentukan. Di sana, jiwa itu akan dikirim ke Elysium yang damai, Padang Rumput Asphodel yang netral, atau Padang Hukuman yang penuh penderitaan, tergantung pada perbuatan mereka selama hidup.
Sebagai perwujudan dari akhir, Atropos sering digambarkan sebagai seorang wanita tua yang getir dan penuh pengalaman. Ia juga kerap dilihat sebagai sosok yang buta, baik secara fisik maupun dalam penghakimannya.
Hal ini seperti yang diungkapkan John Milton dalam puisinya tahun 1637, Lycidas, ketika ia menyebut Atropos sebagai sosok yang "membelah kehidupan yang tipis dengan gunting yang dibenci." Dalam seni, Atropos digambarkan membawa gunting besar, siap untuk menyelesaikan tugas terakhirnya.
Kisah Lachesis dan Atropos menggambarkan bagaimana takdir bekerja dengan cara yang halus namun tak terhindarkan. Ketiganya, bersama Clotho, tidak hanya menenun jalannya kehidupan tetapi juga memetakan setiap keputusan dan peristiwa yang mengarahkan manusia menuju nasib akhirnya.
Dalam mitologi Yunani, takdir bukan sekadar hasil dari kebetulan, melainkan rancangan para Dewi Takdir yang memastikan bahwa setiap jalan kehidupan berjalan sesuai benang yang telah dipintal dan diukur.