Nationalgeographic.co.id—Para Dewi Takdir, yang dalam mitologi Yunani dikenal sebagai Moirai, adalah dewi yang mengatur nasib setiap manusia.
Mereka memiliki peran yang luar biasa dalam menentukan takdir, meskipun sejauh mana pengaruh mereka terhadap para dewa Olimpus masih menjadi perdebatan.
Kehidupan manusia, bagaimanapun, sepenuhnya berada dalam kendali mereka, meski manusia diberi ilusi bahwa mereka seakan-akan bebas membuat keputusan.
Ketiga Dewi Takdir ini, Clotho, Lachesis, dan Atropos, adalah perempuan tiga bersaudara. Mereka disebut "Moirai" yang berarti "bagian" atau "jatah." Suatu cerminan dari peran mereka dalam menentukan jalan hidup seseorang.
Dalam Theogony karya Hesiod, mereka disebut sebagai putri Nyx, dewi malam purba. Beberapa sumber lain menambahkan bahwa mereka juga lahir dari penyatuan Nyx dengan Erebus, sehingga menjadi saudara dari Thanatos (kematian) dan Hypnos (tidur), bersama dengan entitas lainnya yang tidak kalah menyeramkan.
Di sisi lain, teks-teks belakangan mengaitkan para Moirai dengan Zeus dan Themis, dewi keadilan dan tatanan ilahi. Jika demikian, mereka juga akan menjadi saudara dari Horae, dewi musim.
Hubungan ini memperkuat gagasan bahwa kelahiran mereka mencerminkan harmoni hukum alam dan tatanan dunia. Baik Hesiod maupun Pseudo-Apollodorus menyebutkan peran fundamental mereka dalam menenun jalannya kehidupan, meskipun kedua penulis ini tampaknya memiliki pendapat yang sedikit berbeda tentang silsilah para Moirai.
Penampilan ketiga dewi ini juga sering digambarkan berbeda-beda dalam berbagai teks dan karya seni. Mereka biasanya digambarkan sebagai wanita tua, tetapi dalam beberapa representasi, usia mereka mencerminkan tugas yang mereka emban dalam siklus kehidupan manusia.
Meski demikian, mereka hampir selalu digambarkan sedang menenun benang nasib, mengenakan jubah putih sederhana, simbol peran mereka sebagai penenun kehidupan.
Benarkah 3 Dewi Takdir hanya punya satu mata?
Dalam film animasi Hercules (1997), para Moirai ditampilkan sebagai tiga makhluk kurus yang menyeramkan, berbagi satu mata yang mereka gunakan secara bergiliran. Namun, penggambaran ini adalah salah kaprah.
Baca Juga: Nietzsche, Prometheus, dan Kejatuhan Manusia dari Kehidupan Surgawi