Semua yang Lahir dari Rahim Manusia adalah 'Budak' Dewi Takdir Yunani

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 26 November 2024 | 18:00 WIB
Tiga Dewi Takdir dalam Mitologi Yunani (wikipedia)

Nationalgeographic.co.idPara Dewi Takdir, yang dalam mitologi Yunani dikenal sebagai Moirai, adalah dewi yang mengatur nasib setiap manusia.

Mereka memiliki peran yang luar biasa dalam menentukan takdir, meskipun sejauh mana pengaruh mereka terhadap para dewa Olimpus masih menjadi perdebatan.

Kehidupan manusia, bagaimanapun, sepenuhnya berada dalam kendali mereka, meski manusia diberi ilusi bahwa mereka seakan-akan bebas membuat keputusan.

Ketiga Dewi Takdir ini, Clotho, Lachesis, dan Atropos, adalah perempuan tiga bersaudara. Mereka disebut "Moirai" yang berarti "bagian" atau "jatah." Suatu cerminan dari peran mereka dalam menentukan jalan hidup seseorang.

Dalam Theogony karya Hesiod, mereka disebut sebagai putri Nyx, dewi malam purba. Beberapa sumber lain menambahkan bahwa mereka juga lahir dari penyatuan Nyx dengan Erebus, sehingga menjadi saudara dari Thanatos (kematian) dan Hypnos (tidur), bersama dengan entitas lainnya yang tidak kalah menyeramkan.

Di sisi lain, teks-teks belakangan mengaitkan para Moirai dengan Zeus dan Themis, dewi keadilan dan tatanan ilahi. Jika demikian, mereka juga akan menjadi saudara dari Horae, dewi musim.

Hubungan ini memperkuat gagasan bahwa kelahiran mereka mencerminkan harmoni hukum alam dan tatanan dunia. Baik Hesiod maupun Pseudo-Apollodorus menyebutkan peran fundamental mereka dalam menenun jalannya kehidupan, meskipun kedua penulis ini tampaknya memiliki pendapat yang sedikit berbeda tentang silsilah para Moirai.

Penampilan ketiga dewi ini juga sering digambarkan berbeda-beda dalam berbagai teks dan karya seni. Mereka biasanya digambarkan sebagai wanita tua, tetapi dalam beberapa representasi, usia mereka mencerminkan tugas yang mereka emban dalam siklus kehidupan manusia.

Meski demikian, mereka hampir selalu digambarkan sedang menenun benang nasib, mengenakan jubah putih sederhana, simbol peran mereka sebagai penenun kehidupan.

Benarkah 3 Dewi Takdir hanya punya satu mata?

Dalam film animasi Hercules (1997), para Moirai ditampilkan sebagai tiga makhluk kurus yang menyeramkan, berbagi satu mata yang mereka gunakan secara bergiliran. Namun, penggambaran ini adalah salah kaprah.

Baca Juga: Nietzsche, Prometheus, dan Kejatuhan Manusia dari Kehidupan Surgawi

"Dalam mitologi Yunani, para Moirai tidak pernah digambarkan hanya bermata satu utuk semua," ungkap Cierra Tolentino dalam The Fates: Greek Goddesses of Destiny yang dimuat laman History Cooperative.

"Sebaliknya, karakter seperti itu sebenarnya adalah Graeae, atau Grey Sisters, putri dewa laut purba Phorcys dan Ceto."

Graeae, yang bernama Deino, Enyo, dan Pemphredo, memang terkenal berbagi satu mata dan satu gigi di antara mereka. Mereka sering digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kebijaksanaan luar biasa, meskipun fisik mereka sangat menyeramkan.

Dalam mitos Perseus, Graeae memainkan peran penting dengan memberi tahu pahlawan tersebut mengenai lokasi Medusa setelah ia mencuri mata mereka.

Kisah ini mencerminkan keyakinan Yunani kuno bahwa kebijaksanaan sering kali diasosiasikan dengan kebutaan fisik.

Moirai yang menentukan nasib manusia. Dan khususnya jangka waktu hidup seseorang serta pembagian kesengsaraan dan penderitaannya (Flemish workshop/Victoria and Albert Museum)

"Meski demikian, mitos Graeae dan Moirai adalah dua hal yang berbeda. Para Moirai tetap menjadi simbol takdir yang tidak bisa dihindari, sedangkan Graeae melambangkan peran pengetahuan dalam menghadapi tantangan kehidupan," papar Tolentino.

"Ketiga Dewi Takdir Yunani, atau Moirai, memiliki peran unik sebagai pengatur nasib dalam kehidupan manusia. Mereka bertanggung jawab atas setiap garis kelahiran, kehidupan, dan kematian."

Kekuatan mereka begitu besar sehingga pengaruhnya tercermin dalam karya sastra seperti Dionysiaca karya Nonnus dari Panopolis, yang menggambarkan bagaimana Moirai memintal "semua hal pahit" menjadi benang kehidupan manusia. Dalam kata-kata Nonnus yang penuh makna: “Semua yang lahir dari rahim manusia pada hakikatnya adalah budak Moira.”

Berbeda dari dewa-dewi Yunani lainnya, nama-nama para Dewi Takdir dengan jelas mencerminkan peran mereka. Clotho, Lachesis, dan Atropos menjalankan tugas mereka dengan tatanan yang sempurna, menjaga keseimbangan alam semesta melalui benang kehidupan yang mereka ciptakan, ukur, dan potong.

Takdir manusia, baik yang manis maupun pahit, sepenuhnya berada di tangan mereka. Saat seorang anak lahir, para Moirai segera menentukan nasib hidupnya dalam tiga hari pertama. Pada saat yang sama, dewi kelahiran Eileithyia hadir untuk memastikan kelahiran berjalan dengan baik.

Baca Juga: Monster Bertangan 100: Simbol Kekuatan Liar dalam Mitologi Yunani

Sebaliknya, ketika seseorang menyimpang dari jalur moral, para Moirai bekerja sama dengan Erinyes atau Furies untuk menegakkan keadilan, menghukum mereka yang telah melakukan kejahatan.

Gara-gara asosiasi ini, tak jarang mereka dipandang sebagai dewi yang kejam dan penuh dendam dalam berbagai tulisan kuno, termasuk oleh Hesiod.

Peran Masing-Masing Dewi Takdir

Setiap dewi memiliki tugas yang berbeda, tetapi saling melengkapi untuk mengatur kehidupan manusia. Clotho, sang pemintal benang, adalah dewi yang bertanggung jawab atas awal kehidupan.

Lachesis, sang pengukur benang, menentukan panjang hidup seseorang, sementara Atropos, dengan guntingnya, memotong benang tersebut, mengakhiri kehidupan ketika waktunya tiba. Bersama-sama, mereka mencerminkan perjalanan hidup manusia yang tak terhindarkan: awal, perkembangan, dan akhir.

* Clotho

Sebagai dewi termuda, Clotho sering digambarkan sebagai seorang gadis muda. Tugasnya memintal benang kehidupan menunjukkan simbol kelahiran dan awal eksistensi. Dalam beberapa mitos, kekuatannya bahkan melampaui batas-batas alam.

Dalam kisah keluarga terkutuk Wangsa Atreus, Clotho, atas perintah para dewa, menghidupkan kembali Pelops, seorang pemuda yang dimasak dan disajikan oleh ayahnya, Tantalus, kepada para dewa dalam tindakan kanibalisme.

Meskipun tindakan itu melanggar hukum alam, Clotho menuruti perintah ilahi dan mengembalikan Pelops ke kehidupan, memungkinkannya untuk mendirikan Dinasti Pelopid Mycenaean.

Patung para Moirai. (Creative Commons)

Dalam seni, Clotho sering digambarkan sebagai wanita muda dengan alat pemintal di tangannya, simbol dari perannya sebagai pemula kehidupan.

Baca Juga: Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi

Salah satu representasi modernnya dapat ditemukan dalam relief pada tiang lampu di luar Mahkamah Agung Amerika Serikat, di mana ia digambarkan sedang bekerja di mesin tenun, mengisyaratkan peran pentingnya dalam siklus kehidupan manusia.

Dewi-dewi Takdir ini, meskipun tidak sering mendapatkan perhatian sebesar para dewa Olimpus, tetap menjadi simbol kekuatan alam semesta yang tak tergoyahkan—pengingat bahwa hidup manusia hanyalah seutas benang dalam tenunan besar kosmos.

* Lachesis

Lachesis adalah Dewi Takdir yang bertugas membagikan jatah usia kehidupan manusia. Dengan mengukur benang kehidupan, Lachesis menentukan rentang waktu yang dimiliki seseorang di dunia.

Tak hanya itu, ia juga mengatur arah takdir, memastikan bahwa setiap individu menjalani kehidupan yang telah ditetapkan. Namun, dalam kisah-kisah tertentu, Lachesis memberikan kesempatan unik kepada arwah yang akan dilahirkan kembali.

Ia berbincang dengan mereka, menawarkan pilihan apakah mereka ingin kembali sebagai manusia atau memilih bentuk kehidupan lain, seperti hewan.

Sebagai "ibu" dari trio Dewi Takdir, Lachesis digambarkan sebagai sosok yang berada di antara usia muda Clotho dan kebijaksanaan tua Atropos.

Wujudnya dalam seni sering kali memperlihatkan seorang wanita yang memegang tongkat pengukur yang diletakkan di atas benang, simbol perannya sebagai pemberi jatah hidup.

* Atropos

Sementara itu, Atropos, saudari tertua yang juga dikenal sebagai "Si Keras Kepala," memegang peran paling suram di antara mereka. Ia bertanggung jawab atas akhir kehidupan manusia, menentukan cara seseorang meninggal, dan menjadi sosok yang memotong benang kehidupan, mengakhiri perjalanan hidup seseorang.

Setelah tugasnya selesai, jiwa manusia dibawa ke Dunia Bawah oleh psychopomp, di mana takdir akhir mereka ditentukan. Di sana, jiwa itu akan dikirim ke Elysium yang damai, Padang Rumput Asphodel yang netral, atau Padang Hukuman yang penuh penderitaan, tergantung pada perbuatan mereka selama hidup.

Sebagai perwujudan dari akhir, Atropos sering digambarkan sebagai seorang wanita tua yang getir dan penuh pengalaman. Ia juga kerap dilihat sebagai sosok yang buta, baik secara fisik maupun dalam penghakimannya.

Hal ini seperti yang diungkapkan John Milton dalam puisinya tahun 1637, Lycidas, ketika ia menyebut Atropos sebagai sosok yang "membelah kehidupan yang tipis dengan gunting yang dibenci." Dalam seni, Atropos digambarkan membawa gunting besar, siap untuk menyelesaikan tugas terakhirnya.

Kisah Lachesis dan Atropos menggambarkan bagaimana takdir bekerja dengan cara yang halus namun tak terhindarkan. Ketiganya, bersama Clotho, tidak hanya menenun jalannya kehidupan tetapi juga memetakan setiap keputusan dan peristiwa yang mengarahkan manusia menuju nasib akhirnya.

Dalam mitologi Yunani, takdir bukan sekadar hasil dari kebetulan, melainkan rancangan para Dewi Takdir yang memastikan bahwa setiap jalan kehidupan berjalan sesuai benang yang telah dipintal dan diukur.