Jiwa Bersayap dan Alegori Kereta Perang Filsuf Yunani Kuno Socrates

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 14 Desember 2024 | 10:00 WIB
Jiwa, menurut filsuf Yunani kuno Socrates, tetap hidup setelah tubuh mati dan berada di alam ideal karena jiwa bersifat kekal dan tidak berubah. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.idBagi filsuf Yunani kuno, Socrates, jiwa berada di alam ideal karena sifatnya kekal, tidak berubah, dan tetap hidup setelah tubuh mati.

Plato, murid Socrates pernah mengungkapkan pemikiran gurunya tersebut tentang hakikat jiwa. Karyanya, Dialogues, menjadi catatan penting yang menjelaskan filosofi Socrates.

Dalam Dialogues, Plato menyampaikan gagasan Socrates melalui percakapan dengan tokoh lain.

Dalam dialog Phaedrus, Socrates bertemu Phaedrus yang baru saja mendengar pidato dari orator terkenal, Lysias. Mereka berjalan di sepanjang tepi Sungai Ilisos di luar kota Athena hingga menemukan tempat teduh di bawah pohon.

Di sana, Socrates mengajak Phaedrus membahas pidato Lysias. Dalam diskusi itu, Socrates menjelaskan tentang jiwa manusia melalui mitos "jiwa bersayap".

Socrates dan Jiwa Manusia

Socrates meyakini bahwa realitas bersifat dualistik, terdiri dari dua alam yang berbeda. Satu alam bersifat berubah-ubah, sementara yang lain tidak berubah, kekal, dan sempurna.

Dunia fisik tempat kita hidup termasuk dalam alam pertama. Dunia ini adalah tempat di mana kita melihat, mendengar, mencicipi, mencium, dan merasakan.

Alam tersebut, menurutnya, adalah alam manusia yang terus berubah. Menurut Socrates, jiwa manusia berada di alam ini.

Sebaliknya, alam lainnya adalah alam gaib yang tidak berubah, kekal, sempurna, dan mencakup esensi intelektual seperti kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Menurutnya, jiwa adalah hal yang gaib. Meski jiwa manusia memiliki hubungan erat dengan tubuh, keduanya adalah entitas yang sangat berbeda.

Baca Juga: Kehidupan Socrates Kecil dan Kisahnya di Medan Pertempuran Yunani Kuno