Nationalgeographic.co.id – Saat ini banyak orang yang mungkin mengira bahwa filsuf Socrates mendukung demokrasi. Bukan tanpa sebab, bagaimanapun, Athena–kota Socrates tinggal–adalah tempat kelahiran demokrasi.
Namun faktanya, filsuf Athena ini justru menentang demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Bahkan menurut Philip Chryspoulos, dilansir dari laman Greek Reporter, Socrate justru “lebih condong pada monarki Sparta.”
Semasa Socrates hidup, Pericles adalah sosok negarawan yang terpilih. Ia dipuji oleh warga Athena karena dianggap telah memberikan kebebasan kepada mereka melalui sistem demokrasi yang Pericles dukung dan promosikan.
Menurut Pericles, demokrasi Athena setara dengan kebebasan. Tidak seperti di negara kota lainnya, demokrasi Athena tidak melarang seseorang untuk memulai karier politik.
Bahkan, Philip menjelaskan “orang-orang dengan status sosial yang lebih rendah pun memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan publik.”
Bagi seorang filsuf Athena yang berpikiran luas seperti Socrates, demokrasi boleh jadi adalah sesuatu yang ideal. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Gagasan Socrates tentang Penguasa
The Republic karya Plato–yang berisi pandangan Socrates tentang demokrasi–menjabarkan perspektif sang filsuf tentang bagaimana seharusnya seorang penguasa dan bagaimana ia bisa berkuasa.
Bagi Socrates, seorang penguasa haruslah orang yang dipilih bukan hanya karena dia populer. Sebaliknya, keahlian, kebajikan, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam tentang tugas-tugas pemerintahan adalah hal-hal yang esensial dalam memilih seorang penguasa yang tepat.
Socrates percaya bahwa tidak masuk akal jika sembarang warga negara diberi kesempatan untuk memerintah sebuah negara. Hal ini, menurut Socrates, berarti bahwa orang yang tidak kompeten pun dapat berpotensi untuk memerintah jika dipilih oleh warga negara.
Karena alasan tersebutlah, Socrates mengagumi monarki Sparta. Dia percaya bahwa Sparta adalah negara kota yang paling baik.
“Filsuf besar ini percaya bahwa demokrasi memberikan kesempatan kepada para demagog untuk menyesatkan orang dengan menarik emosi mereka daripada logika mereka dan naik ke tampuk kekuasaan tanpa pantas melakukannya,” kata Philip.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR