Nationalgeographic.co.id—Pernahkah Anda merasakan waktu seolah-olah memiliki kecepatan yang berbeda-beda dalam situasi yang berbeda?
Mungkin Anda pernah mengalami bagaimana seminggu di tempat baru terasa jauh lebih lama daripada seminggu yang dihabiskan di rumah sendiri. Atau, ketika sedang merasa bosan atau sakit, waktu seakan berjalan sangat lambat.
Sebaliknya, saat kita sedang asyik bermain musik, bermain catur, atau melakukan aktivitas yang sangat kita nikmati, waktu terasa berlalu dengan sangat cepat.
Fenomena ini, di mana persepsi kita terhadap waktu dapat berubah-ubah, telah menjadi subjek penelitian yang menarik selama bertahun-tahun.
Secara umum, kebanyakan orang merasakan bahwa waktu berjalan semakin cepat seiring bertambahnya usia. Namun, variasi dalam persepsi waktu ini tidak hanya terbatas pada pengalaman sehari-hari.
Dalam buku terbaru Steve Taylor, Dosen Senior Psikologi, Universitas Leeds Beckett, dibahas fenomena yang disebut sebagai time expansion experiences (pengalaman ekspansi waktu). Isitilah yang sama dengan judul buku Taylor itu, dijelaskan sebagai detik-detik dapat terasa seolah-olah terulur menjadi menit.
Mengapa waktu dapat terasa begitu subjektif dan mengapa kita mengalami variasi yang begitu besar dalam persepsi waktu? Pertanyaan ini masih menjadi misteri yang menarik bagi para ilmuwan.
Beberapa penelitian, termasuk penelitian yang dilakukan Taylor, menunjukkan bahwa variasi ringan dalam persepsi waktu mungkin terkait dengan cara otak kita memproses informasi.
Semakin banyak informasi yang harus diproses oleh otak kita, seperti persepsi, sensasi, dan pikiran, maka semakin lambat waktu terasa berlalu. Demikian seperti dijelaskan Taylor di laman Live Science.
Inilah alasan mengapa anak-anak sering merasa bahwa waktu berjalan sangat lambat. Dunia mereka penuh dengan hal-hal baru yang terus-menerus merangsang otak mereka.
Begitu pula dengan pengalaman mengunjungi tempat asing. Ketidakakraban lingkungan baru memaksa otak kita untuk bekerja lebih keras dalam memproses informasi visual, auditori, dan sensorik lainnya, sehingga waktu terasa berjalan lebih lambat.
Baca Juga: Menjawab secara Ilmiah: Mengapa Ada Gunung Berapi dan Tidak Berapi?
Sebaliknya, ketika kita terlibat sepenuhnya dalam suatu aktivitas yang kita nikmati, seperti bermain musik atau catur, perhatian kita menjadi sangat fokus dan pikiran kita menjadi tenang.
Dengan sedikit gangguan atau pikiran yang melintas, otak kita tidak perlu memproses banyak informasi tambahan, sehingga waktu terasa berjalan lebih cepat.
Di sisi lain, kebosanan justru memperpanjang waktu karena pikiran kita menjadi tidak terfokus dan cenderung mengembara ke berbagai hal yang tidak relevan, sehingga otak kita harus terus-menerus memproses informasi yang tidak berguna.
Pengalaman ekspansi waktu
Pengalaman ekspansi waktu, yang sering disebut 'Tees', merupakan fenomena psikologis yang cukup umum di mana persepsi waktu seseorang seolah-olah melambat secara drastis dalam situasi kritis atau intens.
Studi menunjukkan bahwa sekitar 85% populasi pernah mengalami setidaknya satu episode Tees dalam hidup mereka.
Kecelakaan dan situasi darurat merupakan pemicu paling umum dari Tees, dengan sekitar setengah dari semua pengalaman dilaporkan terjadi dalam konteks tersebut.
Dalam momen-momen yang penuh tekanan ini, individu seringkali melaporkan memiliki waktu yang seolah-olah 'terhenti' untuk memproses informasi, membuat keputusan, dan mengambil tindakan.
Banyak yang meyakini bahwa ekspansi waktu ini telah berperan penting dalam menyelamatkan mereka dari cedera serius, bahkan kematian, karena memungkinkan mereka untuk melakukan manuver atau tindakan pencegahan yang mungkin tidak terpikirkan dalam kondisi normal.
Sebuah contoh yang menarik adalah kisah seorang wanita yang berhasil menghindari sebuah benda logam yang jatuh dari atas mobilnya.
Ia menjelaskan bahwa "perlambatan waktu" yang dialaminya memungkinkan dirinya untuk secara cermat menganalisis situasi dan memilih tindakan penyelamatan yang paling tepat.
Baca Juga: Perubahan Iklim Jadi Faktor Burung Tertabrak Pesawat Lebih Sering Terjadi
Tees juga sering terjadi dalam konteks olahraga, di mana kecepatan dan reaksi cepat menjadi kunci. Beberapa atlet melaporkan mengalami ekspansi waktu dalam momen-momen krusial, seperti saat menghindari benturan atau mengambil keputusan split-second.
Fenomena ini juga dapat terjadi dalam kondisi yang lebih tenang, seperti selama meditasi atau saat berada di alam bebas.
Namun, Tees yang paling ekstrem seringkali dikaitkan dengan penggunaan zat psikedelik seperti LSD atau ayahuasca. Sekitar 10% dari semua pengalaman Tees dalam penelitian ini dilaporkan terjadi di bawah pengaruh zat-zat tersebut.
Seorang partisipan menggambarkan pengalamannya dengan LSD, di mana ia mengamati sebuah stopwatch dan merasakan "waktu seolah-olah berjalan dalam slow-motion yang ekstrem, dengan setiap seperatus detik terasa seperti satu detik penuh."
Teori-teori yang beredar
Lalu apa alasannya? Salah satu teori yang paling umum diajukan untuk menjelaskan TEE adalah peran hormon noradrenalin. Hormon ini dilepaskan dalam tubuh sebagai respons terhadap stres atau situasi darurat, memicu respons "lawan atau lari".
Teori ini berargumen bahwa peningkatan kewaspadaan dan fokus yang diakibatkan oleh pelepasan noradrenalin membuat waktu terasa berjalan lebih lambat. Namun, teori ini menghadapi beberapa tantangan.
Pertama, banyak orang yang melaporkan mengalami TEE dalam kondisi yang tenang dan damai, seperti saat meditasi atau berada di alam. Dalam situasi-situasi ini, tingkat stres dan pelepasan noradrenalin seharusnya rendah.
Kedua, laporan subjektif dari individu yang mengalami TEE seringkali menyebutkan perasaan tenang dan bahkan euforia, bertentangan dengan tingkat kewaspadaan tinggi yang biasanya dikaitkan dengan respons "lawan atau lari".
Misalnya, seorang wanita yang jatuh dari kuda menceritakan pengalamannya di mana waktu terasa melambat secara signifikan. Meskipun dalam bahaya, ia merasa sangat tenang dan mampu mengamati kejadian di sekitarnya dengan detail yang luar biasa. Hal ini sulit dijelaskan hanya dengan mekanisme pelepasan noradrenalin.
Teori evolusioner juga telah diajukan, yaitu bahwa kemampuan untuk memperlambat waktu dalam situasi darurat mungkin merupakan adaptasi yang memungkinkan nenek moyang kita untuk meningkatkan peluang bertahan hidup dalam menghadapi ancaman.
Baca Juga: Ilmuwan: Bukan Salah Anda Jika Resolusi Tahun Baru Selalu Gagal!
Namun, teori ini juga menghadapi kendala yang sama dengan teori noradrenalin, yaitu tidak dapat menjelaskan TEE yang terjadi dalam kondisi non-darurat.
Kemungkinan lain adalah bahwa TEE merupakan ilusi ingatan. Dalam situasi yang sangat intens, otak kita mungkin merekam lebih banyak detail daripada biasanya, sehingga ketika kita mengingat kembali peristiwa tersebut, ingatan-ingatan tambahan ini menciptakan kesan bahwa waktu berjalan lebih lambat.
Namun, survei terbaru yang melibatkan 280 peserta TEE menunjukkan bahwa kurang dari 3% percaya bahwa pengalaman mereka hanyalah ilusi. Sebagian besar peserta (sekitar 87%) yakin bahwa mereka mengalami perluasan waktu secara nyata.
Peran perubahan keadaan kesadaran
Dalam pemahaman Taylor, inti dari fenomena Tees terletak pada dinamika perubahan keadaan kesadaran.
Peristiwa tak terduga seperti kecelakaan, misalnya, dapat memicu gangguan mendadak pada proses psikologis kita yang normal, sehingga memunculkan pergeseran kesadaran yang signifikan. Fenomena serupa juga terjadi dalam dunia olahraga, di mana dia menyebutnya sebagai "super-absorpsi".
Kita semua familiar dengan konsep "absorpsi" – keadaan di mana waktu seolah-olah berjalan lebih cepat karena kita begitu fokus pada suatu aktivitas.
Namun, ketika tingkat absorpsi ini mencapai tingkat yang sangat tinggi dan berlangsung dalam durasi yang cukup lama, terjadi fenomena yang berlawanan: waktu seakan melambat secara drastis. Ini adalah kondisi yang sangat menarik dan patut diteliti lebih lanjut.
Perubahan mendasar dalam keadaan kesadaran tidak hanya memengaruhi persepsi waktu kita, tetapi juga identitas kita dan cara kita memandang hubungan antara diri kita dengan dunia di sekitar kita.
Psikolog Marc Wittmann telah melakukan penelitian yang menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara persepsi waktu dan kesadaran diri.
Secara umum, kita cenderung merasa hidup dalam sebuah ruang mental yang terpisah dari dunia fisik di sekitar kita.
Namun, dalam keadaan kesadaran yang sangat intens, batas antara diri dan dunia ini menjadi kabur. Kita tidak lagi merasa terkurung dalam pikiran kita sendiri, melainkan merasa menyatu dengan lingkungan sekitar.
"Hal ini berarti batas antara kita dengan dunia menjadi lebih lunak. Dan dalam prosesnya, persepsi waktu kita meluas. Kita terlepas dari kesadaran normal kita dan memasuki dunia waktu yang berbeda," tutup Taylor.