Dari Chinese New Year ke Lunar New Year
Perayaan Lunar New Year, yang menandai awal tahun dalam kalender lunisolar, telah lama menjadi tradisi penting di berbagai belahan Asia.
Perayaan yang kerap berlangsung selama 15 hari ini menyatukan keluarga dan komunitas dalam suasana penuh kegembiraan, serupa dengan Hari Thanksgiving di Amerika Serikat.
Meskipun akar perayaan ini dapat ditelusuri kembali ke Festival Musim Semi Tiongkok, perayaan serupa dengan nama dan tradisi yang berbeda telah berkembang di berbagai negara Asia.
Di Korea Selatan, perayaan ini dikenal sebagai Seollal; di Vietnam, disebut Tết; dan di negara-negara lain seperti Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, perayaan ini juga memiliki nama dan nuansa lokalnya masing-masing.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki asal-usul yang sama, perayaan Tahun Baru Imlek telah berevolusi seiring dengan budaya dan identitas masing-masing negara.
Hal inilah yang mendorong banyak pihak untuk mengadopsi istilah "Lunar New Year", yang dianggap lebih inklusif dan mewakili keragaman budaya yang merayakannya.
Pergeseran preferensi dalam penggunaan istilah ini tidak lepas dari konteks sejarah dan politik yang lebih luas.
"Ini mencerminkan dua isu: konflik identitas budaya antarnegara Asia, khususnya antara Tiongkok dan Korea dalam hal ini, (dan) lingkungan geopolitik saat ini," ujar Profesor Maggie Ying Jiang dari University of Western Australia, seperti dilansir CNN.
Jiang melihat cuitan Museum Inggris yang memicu perdebatan sengit di media sosial Tiongkok pada 2023 menjadi contoh nyata dari konflik identitas budaya tersebut
Tagar terkait cuitan ini menarik ratusan juta penayangan, menunjukkan betapa sensitifnya isu ini bagi masyarakat.
Baca Juga: Singkap Beragam Tradisi Meriah untuk Menyambut Tahun Baru Lunar