Nationalgeographic.co.id—Perayaan Tahun Baru Imlek tahun ini diwarnai oleh perdebatan sengit mengenai penggunaan istilah yang tepat untuk merujuk pada hari raya tersebut.
Pada 2023, Danielle Marsh, seorang penyanyi K-Pop harus meminta maaf karena menggunakan istilah "Chinese New Year", menjadi salah satu contoh dari sensitivitas isu ini.
Marsh mengakui kesalahannya setelah menyadari bahwa perayaan Tahun Baru Imlek memiliki akar budaya yang beragam di berbagai negara Asia Timur.
Penggunaan istilah "Chinese New Year" dianggap terlalu menyederhanakan keragaman tersebut dan mengabaikan kontribusi budaya dari negara-negara lain seperti Korea, Vietnam, dan Singapura.
Pendukung penggunaan istilah "Lunar New Year" berargumen bahwa istilah ini lebih inklusif dan mencerminkan karakteristik umum perayaan tersebut yang didasarkan pada kalender lunar.
Namun, penggunaan istilah ini juga memicu kontroversi di kalangan masyarakat Tiongkok yang berpendapat bahwa perayaan tersebut memiliki akar budaya yang kuat dan tak terpisahkan dari sejarah Tiongkok.
Organisasi seperti Associated Press Stylebook telah merekomendasikan penggunaan "Lunar New Year" untuk menghindari kesalahpahaman dan menjaga keragaman budaya.
Namun, hal ini tidak serta-merta menyelesaikan perdebatan, karena masih banyak pihak yang berpegang pada penggunaan istilah tradisional.
Dilema ini membuat banyak merek dan tokoh publik berada dalam posisi sulit. Mereka berusaha untuk merayakan Tahun Baru Imlek dengan cara yang inklusif, namun seringkali menghadapi kritik dari kedua belah pihak.
Contohnya, Museum Inggris yang awalnya merayakan Tahun Baru Imlek Korea dengan menyebutnya sebagai "Korean Lunar New Year", kemudian menghapus cuitan tersebut setelah mendapat banyak protes yang berharap museum tersebut menulis "Korean Lunar New Year".
Museum Inggris kemudian memilih untuk membagikan postingan baru dengan gambar lukisan Tiongkok. "Selamat Tahun Baru!" tulis mereka, lalu mengulangi ucapan selamat dalam bahasa Tiongkok.
Baca Juga: Selisik Legenda, Tradisi, dan Hal-hal Tabu Seputar Tahun Baru Imlek
Dari Chinese New Year ke Lunar New Year
Perayaan Lunar New Year, yang menandai awal tahun dalam kalender lunisolar, telah lama menjadi tradisi penting di berbagai belahan Asia.
Perayaan yang kerap berlangsung selama 15 hari ini menyatukan keluarga dan komunitas dalam suasana penuh kegembiraan, serupa dengan Hari Thanksgiving di Amerika Serikat.
Meskipun akar perayaan ini dapat ditelusuri kembali ke Festival Musim Semi Tiongkok, perayaan serupa dengan nama dan tradisi yang berbeda telah berkembang di berbagai negara Asia.
Di Korea Selatan, perayaan ini dikenal sebagai Seollal; di Vietnam, disebut Tết; dan di negara-negara lain seperti Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, perayaan ini juga memiliki nama dan nuansa lokalnya masing-masing.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki asal-usul yang sama, perayaan Tahun Baru Imlek telah berevolusi seiring dengan budaya dan identitas masing-masing negara.
Hal inilah yang mendorong banyak pihak untuk mengadopsi istilah "Lunar New Year", yang dianggap lebih inklusif dan mewakili keragaman budaya yang merayakannya.
Pergeseran preferensi dalam penggunaan istilah ini tidak lepas dari konteks sejarah dan politik yang lebih luas.
"Ini mencerminkan dua isu: konflik identitas budaya antarnegara Asia, khususnya antara Tiongkok dan Korea dalam hal ini, (dan) lingkungan geopolitik saat ini," ujar Profesor Maggie Ying Jiang dari University of Western Australia, seperti dilansir CNN.
Jiang melihat cuitan Museum Inggris yang memicu perdebatan sengit di media sosial Tiongkok pada 2023 menjadi contoh nyata dari konflik identitas budaya tersebut
Tagar terkait cuitan ini menarik ratusan juta penayangan, menunjukkan betapa sensitifnya isu ini bagi masyarakat.
Baca Juga: Singkap Beragam Tradisi Meriah untuk Menyambut Tahun Baru Lunar
Konflik identitas budaya ini semakin diperparah oleh persaingan antara Tiongkok dan Korea Selatan dalam mempromosikan warisan budaya mereka. Perselisihan terkait kimchi, hanbok, dan berbagai klaim budaya lainnya menjadi bukti nyata dari ketegangan yang ada.
Hubungan politik antara Tiongkok dan Korea Selatan yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir semakin memperumit situasi.
Ketidaksepakatan politik, pembalasan ekonomi, dan pembatasan perjalanan selama pandemi Covid-19 telah menciptakan atmosfer yang kurang kondusif bagi dialog dan kerja sama budaya.
Nasionalisme dan kontroversi "Chinese New Year"
Di tengah upaya untuk merangkul keragaman budaya, kampanye untuk menggunakan istilah alternatif seperti "Festival Musim Semi" justru memicu reaksi keras dari sebagian besar masyarakat Tiongkok, terutama di daratan.
Pemerintah Tiongkok sendiri secara konsisten menggunakan istilah "Chinese New Year" dalam segala komunikasi resmi, bahkan ketika merujuk pada perayaan yang berlangsung di negara lain.
Media pemerintah seperti Xinhua kerap memuji perayaan "Chinese Lunar New Year" di berbagai negara, dengan menekankan unsur-unsur budaya Tionghoa yang kental seperti warna merah yang dominan dalam dekorasi.
Sentimen nasionalis yang kuat di Tiongkok, yang semakin menguat di bawah kepemimpinan Xi Jinping, menjadi salah satu faktor utama di balik reaksi keras ini.
"Kita dapat melihat bahwa 'Lunar New Year', yang dipimpin oleh Korea, merupakan serangan ideologis terhadap budaya Tiongkok oleh negara-negara Barat," demikian bunyi salah satu postingan populer di Weibo, versi Tiongkok dari Twitter.
Posting lain mengejek bahwa dengan logika yang sama, Natal seharusnya diganti namanya untuk mencerminkan setiap negara yang merayakannya – seperti "Natal Amerika" atau "Natal Jerman."
Sentimen nasionalisme ini semakin berkobar selama pandemi Covid-19, di mana narasi tentang "abad penghinaan" Tiongkok akibat penjajahan asing kerap digaungkan.
Konsekuensinya, segala bentuk kritik atau upaya untuk mengubah tradisi yang dianggap sebagai bagian integral dari identitas nasional Tionghoa, seringkali dianggap sebagai serangan terhadap martabat negara.
Dampak dari sentimen nasionalisme yang kuat ini tidak hanya terasa di dalam negeri, tetapi juga memengaruhi hubungan internasional. Banyak merek, politisi, dan tokoh publik asing yang kesulitan untuk menavigasi lanskap budaya Tiongkok yang sensitif.
Contohnya, pada Juli 2022, merek fashion mewah Dior menghadapi protes di Paris setelah dituduh melakukan plagiarisme desain tradisional Tionghoa.
Di tengah situasi yang kompleks ini, banyak pihak berusaha untuk mencari jalan tengah. Beberapa pemimpin negara mencoba untuk mengakomodasi berbagai kelompok dengan mengucapkan "Happy New Year" dalam beberapa bahasa, termasuk Mandarin, Kanton, dan Vietnam. Namun, upaya seperti ini tidak selalu berhasil meredakan ketegangan.