Konflik identitas budaya ini semakin diperparah oleh persaingan antara Tiongkok dan Korea Selatan dalam mempromosikan warisan budaya mereka. Perselisihan terkait kimchi, hanbok, dan berbagai klaim budaya lainnya menjadi bukti nyata dari ketegangan yang ada.
Hubungan politik antara Tiongkok dan Korea Selatan yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir semakin memperumit situasi.
Ketidaksepakatan politik, pembalasan ekonomi, dan pembatasan perjalanan selama pandemi Covid-19 telah menciptakan atmosfer yang kurang kondusif bagi dialog dan kerja sama budaya.
Nasionalisme dan kontroversi "Chinese New Year"
Di tengah upaya untuk merangkul keragaman budaya, kampanye untuk menggunakan istilah alternatif seperti "Festival Musim Semi" justru memicu reaksi keras dari sebagian besar masyarakat Tiongkok, terutama di daratan.
Pemerintah Tiongkok sendiri secara konsisten menggunakan istilah "Chinese New Year" dalam segala komunikasi resmi, bahkan ketika merujuk pada perayaan yang berlangsung di negara lain.
Media pemerintah seperti Xinhua kerap memuji perayaan "Chinese Lunar New Year" di berbagai negara, dengan menekankan unsur-unsur budaya Tionghoa yang kental seperti warna merah yang dominan dalam dekorasi.
Sentimen nasionalis yang kuat di Tiongkok, yang semakin menguat di bawah kepemimpinan Xi Jinping, menjadi salah satu faktor utama di balik reaksi keras ini.
"Kita dapat melihat bahwa 'Lunar New Year', yang dipimpin oleh Korea, merupakan serangan ideologis terhadap budaya Tiongkok oleh negara-negara Barat," demikian bunyi salah satu postingan populer di Weibo, versi Tiongkok dari Twitter.
Posting lain mengejek bahwa dengan logika yang sama, Natal seharusnya diganti namanya untuk mencerminkan setiap negara yang merayakannya – seperti "Natal Amerika" atau "Natal Jerman."
Sentimen nasionalisme ini semakin berkobar selama pandemi Covid-19, di mana narasi tentang "abad penghinaan" Tiongkok akibat penjajahan asing kerap digaungkan.
Konsekuensinya, segala bentuk kritik atau upaya untuk mengubah tradisi yang dianggap sebagai bagian integral dari identitas nasional Tionghoa, seringkali dianggap sebagai serangan terhadap martabat negara.
Dampak dari sentimen nasionalisme yang kuat ini tidak hanya terasa di dalam negeri, tetapi juga memengaruhi hubungan internasional. Banyak merek, politisi, dan tokoh publik asing yang kesulitan untuk menavigasi lanskap budaya Tiongkok yang sensitif.
Contohnya, pada Juli 2022, merek fashion mewah Dior menghadapi protes di Paris setelah dituduh melakukan plagiarisme desain tradisional Tionghoa.
Di tengah situasi yang kompleks ini, banyak pihak berusaha untuk mencari jalan tengah. Beberapa pemimpin negara mencoba untuk mengakomodasi berbagai kelompok dengan mengucapkan "Happy New Year" dalam beberapa bahasa, termasuk Mandarin, Kanton, dan Vietnam. Namun, upaya seperti ini tidak selalu berhasil meredakan ketegangan.