Polemik Penentuan Awal Ramadan di Zaman Kolonial Hindia Belanda

By Galih Pranata, Rabu, 5 Maret 2025 | 19:00 WIB
Potret sebuah masjid di Hindia Belanda yang diambil sekitar 1940.
Potret sebuah masjid di Hindia Belanda yang diambil sekitar 1940. (Wikimedia Commons)

"Sementara itu, penggunaan telepon, kawat dan radio sah hukumnya untuk melaporkan hasil rukyah," imbuh Azmi. Demikianlah terjadilah semacam kesatuan dalam pelaksanaan awal Ramadan dan Syawal bagi seluruh Jawa dan Madura.

Kemudian PPDP Hoofdbestuur yang berkedudukan di Surakarta memelopori pelaporan awal Ramadan dan Syawal melalui stasiun radio SRI (kini RRI) di Surakarta pada tanggal 13 Oktober 1939.

Penentuan untuk awal Ramadan 1358 H dilaksanakan secara serempak yang jatuh pada hari Sabtu Pahing, tanggal 14 Oktober 1939 M, berdasarkan laporan hasil rukyah di Betawi dan Pemalang.

Namun, pada gilirannya, penentuan awal Ramadan menjadi polemik di kemudian tahun. Utamanya muncul golongan-golongan pergerakan yang telah menentukan sendiri perhitungan rukyah, seperti halnya Muhammadiyah.

"Berdasarkan pendapat mazhab Syafi'i yang memperbolehkan para ahli hisab dan orang-orang yang meyakini kebenarannya untuk mengamalkan ilmunya dalam memulai dan mengakhiri puasanya, kalangan Muhammadiyah menganjurkan warganya untuk berpuasa dan hari raya Idul Fitri berdasarkan hasil hisabnya," terusnya.

Polemik ini bahkan menguar hingga melibat para ulama. Tak hanya di Hindia, melainkan hingga mereka yang berada di Mekkah. Terkait dengan polemik ini, pemerintah Hindia Belanda memilih bungkam.

Meskipun telah dibentuk Mahkamah Agama Islam yang berkedudukan di Weltevreden, Batavia (Jakarta), Mahkamah ini tidak pernah mengeluarkan pernyataan atau fatwa dalam masalah rukyah dan hisab ini.

Hal ini disebabkan karena meskipun Mahkamah ini merupakan tempat al-qada al-isti'nafi (Pengadilan Banding) berkenaan dengan kewenangan al-qada dari para pemimpin daerah, namun masalah penentuan awal Ramadhan dan Syawal termasuk dalam wilayah at-tahkim, yang mana Mahkamah tersebut tidak diberi kewenangan oleh penguasa.

Alhasil, polemik yang melibatkan perdebatan dan resistensi seperti ini terus berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Namun, gesekannya sempat terlupakan sebab maraknya revolusi demi perang kemerdekaan.