Polemik Penentuan Awal Ramadan di Zaman Kolonial Hindia Belanda

By Galih Pranata, Rabu, 5 Maret 2025 | 19:00 WIB
Potret sebuah masjid di Hindia Belanda yang diambil sekitar 1940.
Potret sebuah masjid di Hindia Belanda yang diambil sekitar 1940. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.grid.id—Ramadan telah melalui perjalanan panjang di negeri ini. Sejak lama, para bangsa Eropa telah menyaksikan suasana yang begitu berbeda dari bulan-bulain biasanya. Para muslim menggiatkan diri dalam ibadah-ibadah.

Sejak para santri didikan pesantren-pesantren di Jawa mulai menimba ilmu ke Mekkah dan kembali ke tanah air, mereka mulai memperkenalkan penanggalan hijriah, dan ilmu-ilmu Falak (astronomi).

"Pada masa inilah mereka mengenalkan Ilmu Hisab (Falak) kepada masyarakat, bahkan menggunakannya sebagai alat ampuh untuk melawan stagnasi kehidupan masyarakat di bawah penguasa pribumi yang feudalistik," tulis Azmi Muttaqin.

Azmi menulis kepada Journal of Islamic Studies and Humanities berjudul Determination of The Beginning of Ramadhan and Syawal In Indonesia, yang terbit pada tahun 2022. 

Maka dari sana, kalender Hijriah mulai dipergunakan, sedangkan kalender Jawa mulai dipandang sebelah mata. 

Akan tetapi, karena sistem pemerintahan adat Jawa pada khususnya merupakan pengejawantahan teori Imam al-Mawardi, yaitu bahwa fungsi negara merupakan kelanjutan dari tugas kenabian untuk memelihara agama dan mengatur dunia.

Oleh karenanya, muncullah seorang pejabat yang disebut Qadi (Penghulu). Sementara para penghulu pada waktu itu sebagian besar adalah alumni dari Mekkah.

Gerakan pembaruan falakiyah tetap berlanjut, yaitu dengan menggeser arah kiblat masjid, terutama masjid negara di kabupaten, dengan kemiringan 10 sampai 15 derajat ke arah utara.

Meskipun demikian, sistem penanggalan Jawa masih tetap digunakan untuk upacara-upacara keagamaan, seperti Sekaten dan sebagainya serta untuk pembacaan selapanan (yang dilakukan setiap 35 hari sekali pada hari yang sama).

Perihal penghitungan dimulakannya bulan Ramadan juga telah dilakukan rukyah oleh para Qadi. Para Qadi atau penghulu, kemudian bergabung dengan Perhimpoenan Panghoeloe Dan Para Pegawainya (PPDP).

Penentuan jatuhnya awal Ramadan, ditentukan sesuai dengan luas wilayah berdasar satu matla'. Dalam konteks ini, PPDP melalui Surat Edaran PPDP Hoofdbestuur tertanggal 25 Oktober 1938 menyebut seluruh wilayah pulau Jawa dan Madura merupakan satu matla'.

Baca Juga: Kemeriahan Kekaisaran Ottoman Jelang Ramadan dan Hari Raya Idulfitri

"Sementara itu, penggunaan telepon, kawat dan radio sah hukumnya untuk melaporkan hasil rukyah," imbuh Azmi. Demikianlah terjadilah semacam kesatuan dalam pelaksanaan awal Ramadan dan Syawal bagi seluruh Jawa dan Madura.

Kemudian PPDP Hoofdbestuur yang berkedudukan di Surakarta memelopori pelaporan awal Ramadan dan Syawal melalui stasiun radio SRI (kini RRI) di Surakarta pada tanggal 13 Oktober 1939.

Penentuan untuk awal Ramadan 1358 H dilaksanakan secara serempak yang jatuh pada hari Sabtu Pahing, tanggal 14 Oktober 1939 M, berdasarkan laporan hasil rukyah di Betawi dan Pemalang.

Namun, pada gilirannya, penentuan awal Ramadan menjadi polemik di kemudian tahun. Utamanya muncul golongan-golongan pergerakan yang telah menentukan sendiri perhitungan rukyah, seperti halnya Muhammadiyah.

"Berdasarkan pendapat mazhab Syafi'i yang memperbolehkan para ahli hisab dan orang-orang yang meyakini kebenarannya untuk mengamalkan ilmunya dalam memulai dan mengakhiri puasanya, kalangan Muhammadiyah menganjurkan warganya untuk berpuasa dan hari raya Idul Fitri berdasarkan hasil hisabnya," terusnya.

Polemik ini bahkan menguar hingga melibat para ulama. Tak hanya di Hindia, melainkan hingga mereka yang berada di Mekkah. Terkait dengan polemik ini, pemerintah Hindia Belanda memilih bungkam.

Meskipun telah dibentuk Mahkamah Agama Islam yang berkedudukan di Weltevreden, Batavia (Jakarta), Mahkamah ini tidak pernah mengeluarkan pernyataan atau fatwa dalam masalah rukyah dan hisab ini.

Hal ini disebabkan karena meskipun Mahkamah ini merupakan tempat al-qada al-isti'nafi (Pengadilan Banding) berkenaan dengan kewenangan al-qada dari para pemimpin daerah, namun masalah penentuan awal Ramadhan dan Syawal termasuk dalam wilayah at-tahkim, yang mana Mahkamah tersebut tidak diberi kewenangan oleh penguasa.

Alhasil, polemik yang melibatkan perdebatan dan resistensi seperti ini terus berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Namun, gesekannya sempat terlupakan sebab maraknya revolusi demi perang kemerdekaan.