Selain Leo XIV, Ini Kisah Paus-Paus Gereja Katolik dengan Nama Leo

By Sysilia Tanhati, Rabu, 14 Mei 2025 | 10:00 WIB
Selain Paus Leo XIII dan Paus Leo XIV, ada beberapa Paus yang menggunakan nama Leo. Mereka menggoreskan sejarah penting dalam Gereja Katolik.
Selain Paus Leo XIII dan Paus Leo XIV, ada beberapa Paus yang menggunakan nama Leo. Mereka menggoreskan sejarah penting dalam Gereja Katolik. (Raphael/Wikipedia)

Paus Leo I juga memiliki keistimewaan langka dengan dinobatkan sebagai Doktor Gereja setelah kematiannya pada tahun 461 M. Sebutan ini diperuntukkan bagi orang-orang kudus yang tulisannya memiliki otoritas khusus dalam Gereja Katolik.

Pada tahun 2008, Paus Benediktus XVI membahas tentang Paus Leo yang Agung. Ia menjelaskan, “Julukan yang dikaitkan dengannya menunjukkan bahwa ia benar-benar salah satu Paus terhebat. Paus Leo I menghormati Takhta Suci dan memberikan kontribusi yang sangat penting untuk memperkuat otoritas dan prestisenya.”

Leo III dan Kaisar Romawi Suci pertama

Terpilih pada tahun 795 M, Paus Leo III adalah paus yang menobatkan Charlemagne sebagai kaisar Romawi Suci pertama.

Menurut Inside the Medieval World dari National Geographic, “Banyak sejarawan menganggap Charlemagne menyebarkan agama Kristen di wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah pagan. Jadi, membawa budaya dan homogenitas yang sama ke berbagai suku.” Penguasa tersebut menjadi pembela iman Kristen dan, di bawah kepemimpinannya, benua tersebut berkembang pesat.

Keputusan Paus Leo III untuk menunjuk kaisar sebagai pemimpin Gereja menegaskan kembali hubungan antara kepausan dan para penguasa Frank. Penguasa Frank melindungi Gereja Katolik dari ancaman terhadap tanah dan hak-haknya. Keputusan tersebut juga menjadi landasan bagi tindakan yang diambil oleh Paus Leo IX berabad-abad kemudian. Keputusan itu diambil ketika masalah otoritas dan doktrin memecah belah agama Kristen menjadi dua.

Paus Leo IX dan perpecahan besar

Terlahir dengan nama Bruno dari Egisheim, Paus Leo IX menjadi pemimpin Gereja Katolik. Ia juga menjadi penguasa Negara Kepausan, wilayah di dalam dan sekitar Roma, pada tahun 1049.

Pada saat itu, hubungan antara Roma dan Konstantinopel sedang tegang. Kaisar Konstantinus mengalihkan otoritas Kekaisaran Romawi ke timur ke Konstantinopel pada tahun 330. Kota tersebut semakin berkuasa dan menonjol selama berabad-abad berikutnya—yang akhirnya menjadi “Roma Baru”. Patriark Konstantinopel menganggap dirinya setara dengan uskup Roma. Dan sebagai hasilnya, terjadi ketegangan.

Umat ​​Katolik di kedua ujung Mediterania telah mengadopsi praktik yang berbeda (misalnya penggunaan roti tidak beragi atau beragi). Juga ada beberapa rincian doktrinal antara kedua tradisi tersebut masih belum terselesaikan. Perbedaan budaya semakin memperburuk konflik. Terutama dalam hal bahasa karena wilayah barat tetap mengabdikan diri pada Misa Latin dan wilayah timur mengadopsi bahasa Yunani.

Persoalan memuncak setelah Konstantinopel menutup semua gereja Latinnya. Sebagai tanggapan, Paus Leo IX mengirim delegasi yang dipimpin oleh Hubert dari Silva Candida ke Konstantinopel. Delegasi itu dikirim untuk menyelesaikan perselisihan dengan Patriark Michael Cerularius. Sebaliknya, Hubert menempatkan bulla ekskomunikasi untuk patriark di kota itu di altar Hagia Sophia pada tanggal 16 Juli 1054.

Baca Juga: Asal-usul Tradisi Paus Mengubah Nama dan Bagaimana Mereka Memilihnya?