Nationalgeographic.co.id—Masa depan bisnis seperti biasa telah berakhir.
Sistem ekonomi kita saat ini, yang memang berhasil menciptakan output ekonomi, kekayaan, dan kesejahteraan manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya selama 70 tahun terakhir, justru memperburuk ketidaksetaraan sosial dan menyebabkan hilangnya alam dalam skala yang mengancam stabilitas ekonomi dan masyarakat kita.
Kondisi ini bahkan berpotensi mengarah pada keruntuhan peradaban seperti yang kita kenal.
Faktanya, lebih dari 70% populasi kita merasakan dampak ketidaksetaraan yang kian parah. Sepertiga lahan dunia telah terdegradasi parah, sementara hutan lenyap dengan kecepatan mengkhawatirkan – setara satu lapangan sepak bola setiap enam detik pada tahun 2019.
Ancaman kepunahan membayangi hingga 1 juta spesies. Semua ini menempatkan lebih dari separuh PDB global, senilai AS$44 triliun, dalam risiko. Jelas, sistem yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Membalikkan keadaan genting ini memerlukan transformasi mendalam pada sistem sosio-ekonomi kita, sebagaimana ditekankan dalam laporan World Economic Forum berjudul The Future of Nature and Business.
Potensi peluang dari transformasi ini sangat besar. Misalnya, pengelolaan hutan secara berkelanjutan berpotensi menciptakan peluang bisnis senilai AS$230 miliar dan 16 juta lapangan kerja pada tahun 2030. Peralihan dari sistem energi dan ekstraktif menuju model yang sirkular dan hemat sumber daya dapat menghasilkan peluang bisnis sebesar AS$2,3 triliun dan 30 juta pekerjaan pada tahun 2030.
Selain itu, bekerja selaras dengan alam dalam sistem infrastruktur dan lingkungan binaan dapat menghasilkan total peluang bisnis AS$3 triliun dan 117 juta pekerjaan pada tahun 2030.
Untuk mempercepat pergeseran penting menuju ekonomi yang positif bagi iklim dan alam ini, pada 2020, Raja Charles (yang saat itu masih berstatus Pangeran) memprakarsai The Circular Bioeconomy Alliance. Kegiatan aliansi ini dipandu oleh Rencana Aksi 10 Poin, yang disusun oleh koalisi multi-pemangku kepentingan dengan tujuan utama menempatkan kembali alam sebagai inti dari ekonomi kita.
"Saya sangat terdorong oleh banyaknya ilmuwan dan praktisi yang telah bekerja sama menyusun Rencana Aksi Bioekonomi Sirkular 10 Poin yang terinspirasi oleh Sustainable Markets Initiative dan Circular Bioeconomy Alliance yang saya prakarsai," ujar Raja Charles seperti dilansir laman World Economic Forum.
Beliau menambahkan, "Sudah saatnya para pemimpin, di semua disiplin ilmu, untuk maju, berani dalam ambisi mereka, dan menunjukkan apa yang mungkin terjadi sehingga orang lain dapat mengikuti."
Baca Juga: Sustainability: Sudah saatnya Air Menjadi Aset Strategis Baru dalam Era Ekonomi Biru
Bioekonomi Sirkular: Kerangka Kerja Baru yang Harmonis dengan Alam
Bioekonomi sirkular (circular bioeconomy) menawarkan cara pandang dan kerangka kerja konseptual baru. Ia memanfaatkan kekayaan alam terbarukan untuk mentransformasi dan mengelola sistem vital kita – mulai dari lahan, pangan, kesehatan, hingga industri. Tujuannya jelas: mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan, selaras dengan alam.
Untuk berhasil, bioekonomi sirkular memang membutuhkan teknologi canggih, inovasi, dan pengetahuan tradisional. Namun, pada intinya, ia bergantung pada keanekaragaman hayati sebagai 'mesin' utamanya.
Mengapa? Karena keanekaragaman hayati menentukan kapasitas sistem biologis untuk beradaptasi dan berkembang dalam lingkungan yang berubah, menjadikannya krusial bagi ketahanan dan keberlanjutan sumber daya biologis kita.
Kita harus mengakui peran mendasar ini, tidak hanya melalui langkah-langkah konservasi yang tepat, tetapi juga melalui instrumen berbasis pasar yang disesuaikan secara regional untuk memberikan insentif kepada petani, pemilik hutan, dan perusahaan berbasis bio agar berinvestasi kembali pada keanekaragaman hayati.
Membangun Masa Depan dengan Sumber Daya Biologis
Bergerak menuju ekonomi yang positif iklim dan alam tidak sekadar berarti mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan. Ini juga tentang beralih ke material bebas fosil, menggantikan produk-produk berintensitas karbon tinggi seperti plastik, beton, baja, dan tekstil sintetis dengan alternatif rendah karbon.
Langkah ini tidak hanya meredam perubahan iklim, tetapi juga membawa dampak lingkungan positif lainnya. Ekonomi yang benar-benar positif bagi iklim dan alam mustahil terwujud tanpa penggunaan berbagai material bio terbarukan yang mampu menggantikan, bahkan melampaui, kinerja material konvensional.
Pergeseran ini juga menjadi momentum untuk memodernisasi dan membuat industri lebih sirkular. Sumber daya biologis terbarukan, terutama jika dikelola secara lestari seperti sumber daya hutan, secara alami bersifat sirkular dan seringkali lebih mudah diproses ulang.
Bahkan, kehutanan berkelanjutan dan produk kayu menjadi dasar bagi ekonomi sirkular di berbagai belahan dunia. Beberapa sektor penting seperti kimia, tekstil, plastik, atau konstruksi kini membutuhkan model bisnis dan inovasi konseptual baru agar menjadi industri yang lebih sirkular dan rendah karbon. Di sinilah bioekonomi sirkular bisa menjadi katalisatornya.
Baca Juga: Tak Hanya Sukses di Lapangan, Liverpool Juga Juara di Luar Lapangan Lewat Sustainability
Ambil contoh kayu, material biologis paling serbaguna di bumi. Kini bisa diubah menjadi material revolusioner baru bernama nanoselulosa: lima kali lebih kuat dari baja tetapi juga lima kali lebih ringan. Mobil pertama yang terbuat dari nanoselulosa diperkenalkan tahun lalu di Jepang.
Generasi baru tekstil berbasis kayu yang berkelanjutan dan sirkular dengan jejak karbon lima kali lebih rendah daripada serat plastik seperti poliester juga kini memungkinkan. Produk kayu rekayasa, seperti Cross Laminated Timber (CLT), adalah cara paling efektif mereduksi jejak karbon sektor konstruksi yang saat ini didominasi oleh dua material berintensitas karbon dan sumber daya tinggi: beton dan baja.
Meskipun terbarukan, penting untuk diingat bahwa sumber daya biologis tidaklah tak terbatas. Oleh karena itu, penting untuk memastikan sistem kehutanan atau bahan baku lainnya bersifat berkelanjutan, regeneratif, dan sirkular.
Kita perlu mengembangkan model bisnis dan merancang produk serta layanan dengan cara baru untuk memisahkan kemakmuran bisnis dari sekadar konsumsi produk. Ini juga berarti membuat produk yang mudah digunakan kembali dan didaur ulang, meminimalkan limbah, dan memaksimalkan nilainya sepanjang siklus hidupnya.
Peluang untuk Kesejahteraan Inklusif dan Lapangan Kerja
Salah satu tantangan sosial terpenting abad ini adalah mengatasi ketidaksetaraan dan menciptakan kemakmuran yang inklusif, termasuk penyediaan lapangan kerja dan pembangunan infrastruktur di daerah pedesaan dan wilayah yang selama ini 'tertinggal'.
Cara sumber daya biologis dimiliki dan didistribusikan, bahkan 'kesulitan' yang terkait dengan mobilisasi, transportasi, dan pemrosesannya, justru menawarkan potensi peluang besar untuk ini. Sumber daya hutan di Eropa adalah contoh yang baik: menutupi lebih dari 40% lahan dan dimiliki oleh sekitar 16 juta pemilik hutan.
Sektor berbasis hutan saat ini menaungi sekitar 400.000 perusahaan, mayoritas adalah usaha kecil, dan menyediakan lebih dari 3 juta pekerjaan. Ini adalah infrastruktur sosio-ekologis yang sangat berharga yang perlu diakui dan dipelihara.
Memang benar, memobilisasi, mengangkut, dan memproses sumber daya fosil seperti minyak jauh lebih mudah daripada memproduksi, mengelola (selama 100 tahun), mengangkut, dan memproses kayu.
Namun, 'kesulitan' ini justru menjadi kekuatannya: mendistribusikan kekayaan, pekerjaan, dan infrastruktur, memastikan kita memiliki modal manusia yang siap menjaga modal alam kita. Bioekonomi sirkular menawarkan jalur yang kuat untuk mencapai kemakmuran yang merata bagi semua.
---Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.