Oleh Adi Setyawan, Pendiri komunitas Roodeburg Soerabaia
Nationalgeographic.co.id—Tulamben merupakan desa yang berjarak sekitar 160 km dari Pelabuhan Gilimanuk dan terletak di pesisir utara Pulau Bali. Desa yang terkenal dengan wisata menyelami bangkai kapal dan kisah tentang Perang Dunia II, kapal ini bernama United States Army Transport Liberty atau biasa disingkat USAT Liberty.
Penulis berangkat dari Surabaya bersama Tim Naval Historical Diver (NHD) Disjarahal menuju Tulamben, Karang Asem Bali. Di bawah kepemimpinan Laksma Dr. Hariyo Poernomo, tim ini telah melakukan dua kali pendokumentasian dan penelitian arkeologis bawah laut di tahun 2025. Sebelum Tulamben, tim NHD Disjarahal telah melakukan identifikasi reruntuhan kapal RI Gajah Mada di Cirebon.
Pantai di Tulamben adalah pantai berbatu dengan pasir hitam, nampak jelas jejak aktivitas vulkanis masa lalu. Nama desa ini mulanya adalah Batulamben, berasal dari batulambih yang bermakna "banyak batu". Seiring waktu, terjadi perubahan penyebutan menjadi Tulamben.
Dari tepi pantai ini kami duduk, mendiskusikan rencana penyelaman, sebagian lainnya mempersiapkan peralatan. Lautan yang tenang ini pernah menjadi saksi keganasan perang dunia II dan ia masih menyimpan kisahnya.
Tim Naval Historical Diver Disjarahal terdiri dari Letkol Laut Yudo Ponco Ari (DDO /Diver Duty Officer), dengan anggota Benny Gunawan, Edwin Hadimuljono, Rigana Rizky Pratikno, ketiganya operator kamera, Muhammad Adimaja dari Kantor Berita Antara dan saya sendiri sebagai penulis. Tim penyelam dari Lanal diantaranya Lettu Laut Farras Kuriawan, Serda Putu Ayu, Serda I Dewa Gede Agung Krisna, Kopka Muhajir dan Kld Himawan Senoaji.
Perjalanan Kapal Liberty
Konstruksi kapal yang mulanya bernama Wichita ini diselesaikan pada 7 Oktober 1918, dua hari kemudian kapal diserahkan kepada Angkatan Laut Amerika Serikat dengan nama USS Liberty sebagai kapal angkut yang tidak dilengkapi persenjataan.
Begitu keluar dari galangan, USS Liberty langsung dilibatkan dalam Perang Dunia I. USS Liberty meninggalkan Amerika pada 24 Oktober 1918 dan tiba di Pelabuhan Brest, Perancis, pada 8 November 1918 dengan membawa muatan kuda untuk keperluan perang dan material lain. Pada 11 November 1918, Perang Dunia I resmi berakhir dan berakhir pula keterlibatan USS Liberty dalam perang yang dikenal dengan sebutan "The Great War" tersebut.
Tahun 1940, memasuki kancah Perang Dunia II, kapal ini berpindah tangan ke Angkatan Darat lalu dinamakan USAT Liberty dan terlibat operasi di Palagan Pasifik. Pada 11 Januari 1941, beberapa jam menjelang matahari terbit, dua torpedo kapal selam Jepang menghantam USAT Liberty di barat daya Selat Lombok dengan koordinat 08-54S, 115-28E.

Baca Juga: Mari Sinkronkan Waktu, Ini Daftar Peristiwa yang Terjadi pada Tahun Kapal Titanic Tenggelam
Earle L. Evey selaku komandan Kapal Liberty mengirimkan sinyal SOS dan direspon oleh dua kapal perusak yaitu kapal Amerika USS Paul Jones dan kapal Belanda HNLMS Van Ghent. Dua kapal penolong ini berhasil mengevakuasi kapal USAT Liberty pada tanggal 12 Januari 1942. Kolonel Laut Juang Pawana menerangkan bahwa pada awal tahun 1942 dibentuk aliansi ABDACOM atau American British Dutch Australian Command, sebuah aliansi pertahanan antara Amerika, Inggris, Belanda dan Australia. Ini menjelaskan kenapa kapal dari aliansi negara-negara ini beroperasi di wilayah perairan Indonesia pada masa itu.
Letkol Laut Yudo Ponco Ari menambahkan bahwa usia ABDACOM sangat pendek, armada Jepang dengan mudah mengobrak-abrik pertahanan gabungan negara besar ini karena di dalam mereka sendiri tidak ada kekompakan. Amerika merasa paling cakap dalam memimpin sekaligus memandang Belanda sebagai negara dengan kecakapan militer yang buruk, di sisi lain Belanda merasa harus memimpin karena ia pemilik wilayah.
Kapal Liberty yang lumpuh kemudian ditarik menuju pelabuhan Celukan Bawang di Singaraja yang saat itu menjadi pusat administrasi wilayah perairan Sunda Kecil (sebutan untuk Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur di masa kolonial). Namun akibat banyaknya air yang masuk ke lambung, kapal Liberty hanya mampu ditarik mencapai desa Tulamben yang berjarak sekitar 75 km dari Singaraja. Di desa inilah kapal tersebut disandarkan dan dipindahkan isi kargonya sebelum terguling di pantai pada 14 Januari 1942.
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini, seluruh awak yang berjumlah 53 orang dan satu penumpang berhasil selamat menggunakan tiga sekoci. Sebuah pesawat amfibi Belanda yang juga ditugaskan untuk menolong berhasil menemukan ketiga sekoci dan berhasil mengevakuasi keseluruhan 54 jiwa dalam tiga kali penerbangan. Dua penerbangan pertama, para penyintas diterbangkan ke Bali dan penerbangan berikutnya diterbangkan menuju Surabaya. Earle L. Evey tercatat pulang ke Amerika dan kembali mengomandani kapal kargo lain bernama USS Draco pada Februari 1943.
Laksamana Hariyo menjelaskan bahwa pada masa pendudukannya, Belanda memiliki armada pesawat amfibi cukup besar yang bermarkas di Morokrembangan Surabaya. Strategi penggunaan pesawat amfibi dipilih Belanda karena wilayah Indonesia disatukan oleh lautan, sehingga tidak terlalu sulit untuk mendaratkan pesawat dan terbukti efektif pula dalam menjalankan operasi penyelamatan.
Kapal Liberty tetap berada di tempatnya hingga lahar dingin dari letusan gunung Agung menghempaskannya ke laut pada 1963. Letusan ini tercatat sebagai salah satu letusan gunung paling mematikan pada abad 20 di Indonesia, menewaskan sekitar 1500 orang dan mereduksi ketinggian puncak gunung Agung dari 4.000 meter menjadi 3.142 meter.
Kapal Selam Jepang I-66, Sang Pemburu
Pembangunan Kapal selam ini selesai pada 10 November 1932 di galangan kapal Angkatan Laut Sasebo. I-66 baru meninggalkan Jepang pada 26 November 1941, I-66 yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Kaigun Sosha Yajima Yashuo (setingkat Mayor TNI) meninggalkan Jepang bersama dengan 97 kapal perang, diiringi 527 pesawat tempur. Sebuah iringan yang berangkat dengan penuh kebanggaan menuju medan perang Pasifik. I-66 menempati posnya di Palau, sebuah kepulauan di utara Papua.
Pada 8 Desember 1941, kapal selam I-66 terlibat dalam Operasi E, penyerbuan ke Malaya, bersamaan dengan penyerbuan Jepang ke Pearl Harbor, perlu dicatat bahwa terdapat selisih waktu 17 jam dengan Hawai. I-66 membentuk garis patroli bersama kapal selam lain diantaranya I-57, I-58, I-62 dan I-64.
Seminggu kemudian, pada 15 Desember 1941, I-66 terlibat Operasi B, penyerbuan ke Serawak. Brunei, Kuching dan Miri yang segera jatuh dalam hitungan hari. I-66 dan I-65 kemudian ditugaskan di perairan Kuching, mendekati perairan Indonesia, mereka harus mewaspadai keberadaan kapal selam dari ABDACOM, saat itu Belanda saja memiliki sekitar 12 armada kapal selam.
Korban pertama dari I-66 adalah kapal selam Belanda K-XVI dibawah pimpinan Louis J. Jarman. Pada 24 Desember 1941, Kaigun Sosha Yoshitome melihat bayangan kapal selam Belanda di cakrawala dari jarak 5 km. Ia segera memburu dan melepaskan satu torpedo, K-XVI terpecah menjadi dua tanpa perlawanan. Hanya berselang minggu dari korban pertama, Yoshitome meluncurkan dua torpedo yang menghajar USAT Liberty pada 11 Januari 1942.
Baca Juga: Penyelidikan Teka-teki Tenggelamnya Kapal Titanic Dibuka Kembali berkat Kemajuan Pemindaian 3D
Korban dari kapal selam I-66 yang kemudian berganti nama menjadi I-166 pada 20 Mei 1942 ini terus berjatuhan, di antaranya:
1. Kapal logistik "Nord", laut Andaman, 21 Januari 19422. Kapal penumpang Inggris "Chak Sang", Teluk Benggala, 22 Januari 19423. Kapal kargo Inggris "Kamuning", Trinkomale, 14 Februari 19424. Kapal selam I-166 yang saat itu berada di bawah pimpinan Kaigun Sosha Tanaka melaporkan telah menenggelamkan sebuah kapal dagang Sekutu pada 16 Agustus 1942.5. Tanaka kembali melaporkan telah menenggelamkan sebuah kapal dagang Sekutu pada 17 Agustus 1942.6. Kapal dagang "Camila", perairan Kalkuta, 1 Oktober 19427. Kapal dagang Inggris "Cranfield", Laut Arab, selatan India, 23 November 1942
Pada 13 Juli 1944, kapal selam Inggris HMS Telemachus diperintahkan untuk mencegat lalu-lalang patroli kapal selam Jepang, Cdr William D.A King (setingkat Mayor TNI) sebagai komandan menentukan titik pencegatan. Karena kapal selam I-166 bersarang di Surabaya dan Penang, maka Cdr William memutuskan menantinya di Selat Malaka, di selatan Tanjung Sedepa.
Empat hari kemudian, 17 Juli 1944 pukul 07.08 pagi waktu setempat, perwira jaga HMS Telemachus melaporkan melihat bayangan kapal selam Jepang pada jarak 6,5 km di depan. Komandan Telemachus memperkirakan kapal musuh bergerak dengan kecepatan 18 knot dan tak bisa bermanuver zig-zag karena sempitnya wilayah perairan yang dipilih sebagai "killing ground" tersebut.
Pukul 07.20, William D.A King memberikan perintah tembak, seketika enam torpedo diluncurkan dari jarak 1.400 meter. Semua awak menanti dengan tegang, 92 detik kemudian terdengar ledakan, satu torpedo menghantam buritan kapal I-166. Kapal itu tenggelam di kedalaman 40 meter pada koordinat 02-48N, 101-03E. 88 pelaut terbunuh dalam ledakan, sepuluh orang lainnya terempas keluar dari badan kapal dievakuasi oleh perahu nelayan setempat setelah tujuh jam terapung.
Markas Jepang di Penang segera mengerahkan dua kapal torpedo, kapal penyebar ranjau WA-4 dan pesawat bomber Mitsubishi Ki-24 untuk memburu HMS Telemachus. Kapal WA-4 menjatuhkan 12 bom kedalaman dan Mitsubishi Ki-24 menjatuhkan dua bom 60 kg, namun semua upaya ini sia-sia, HMS Telemachus berhasil melarikan diri.
Arsip keseluruhan aksi kapal selam I-166 ini dikumpulkan dan dibukukan oleh Tsurukame Akira. Ia adalah anak dari Tsurukame Tsuruichi, Komandan Kamar Mesin I-166 yang turut menjadi korban di Selat Malaka. Buku ini berjudul Umi ni Nemuru Chichi wo Motomete, yang berarti "Pencarian Kisah Ayahku yang Beristirahat di Kedalaman Lautan". Penulis ucapkan terimakasih kepada Mayor Laut Akhmad Kurniawan yang membantu menterjemahkan data-data penting dari Bahasa Jepang ke Indonesia.
Misi Dokumentasi dan Diplomasi
Misi pendokumentasian reruntuhan USAT Liberty oleh tim Naval Historical Diver dimulai sejak hari Minggu tanggal 13 April 2025. Kami melakukan tiga sorti penyelaman dalam satu hari, dua sorti saat siang dan satu sorti selam malam. Pendokumentasian ini perlu dilakukan, karena reruntuhan kapal karam adalah aset yang harus dijaga, dengan adanya dokumentasi diharapkan bisa meminimalisir terjadinya pencurian ataupun pengrusakan.
Reruntuhan kapal ini bersandar di kedalaman sekitar 30 meter pada haluan/ bagian depan sedangkan bagian buritan sekitar 20 meter. Ia bersandar di sisi kanan, dengan arah kapal menghadap Barat Laut. Bagian kapal relatif sulit dikenali karena banyak yang sudah runtuh dan ditumbuhi begitu banyak terumbu karang, anemon berwarna hijau, putih, biru, dan rumput laut.
Baca Juga: Bukan Satu-satunya Kapal Tenggelam, Mengapa Titanic Bisa Terus Memikat Perhatian?
Walau bentuk utuhnya sulit dikenali, menyelami ruangan demi ruangan di reruntuhan kapal ini membawa sensasi tersendiri. Kadang memasuki area yang gelap, kadang melintasi ruangan luas dengan berkas-berkas cahaya indah yang menembus dinding-dinding kapal. Kekayaan flora di situs ini tentu membuat bermacam fauna betah. Kedatangan para penyelam seolah diabaikan oleh ikan-ikan yang tinggal di situ.
Yang menarik, warga setempat sendiri sudah memiliki aturan adat dalam menjaga reruntuhan kapal USAT Liberty, aturan ini disebut Awig-awig yang isinya antara lain :
- Dilarang memancing dalam radius 100 meter dari situs bangkai kapal.
- Dilarang mengambil atau memanfaatkan sisa-sisa kapal untuk kepentingan komersial.
- Dilarang mengganggu terumbu karang yang tumbuh di badan kapal.
- Dilarang mengambil batu-batu pantai.
- Dilarang melakukan aktivitas spear fishing / menembak ikan di area situs.
Rigana Rizky Pratikno, anggota Naval Historical Diver yang juga warga setempat membenarkan adanya aturan adat tersebut, yang dibuat demi menjaga kelestarian situs bersejarah dan menjaga keselarasan antara manusia dengan alam tempat tinggalnya. Giat pendokumentasian situs ditutup dengan acara pemasangan monumen plakat bawah laut antara Kedutaan Besar Amerika bersama TNI Angkatan Laut pada 17 April 2025.
Seremonial ini didahului dengan doa oleh para pecalang desa Tulamben yang turut pula menyelam, kemudian hadir penyelam dari Kopaska dan Dislambair. Bendera Amerika dibawa oleh Capt USMC Josh Chambers sedangkan bendera Indonesia dibawa oleh Lettu Laut Farras dari Lanal Denpasar, kedua bendera dipasang di samping kiri dan kanan monumen. Seremonial bawah air dipimpin oleh Letkol Laut Yudo Ponco.
Dalam amanatnya, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Dr. Muhammad Ali menyampaikan bahwa TNI AL berkomitmen mempererat kerjasama internasional melalui kegiatan bermakna yang mengedepankan nilai sejarah, penghormatan antar bangsa dan pelestarian budaya bawah laut.
Dihubungi terpisah, Dr. Junus Satrio Atmodjo, Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia yang juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, menanggapi positif giat yang diinisiasi oleh Dinas Sejarah Angkatan Laut ini. "Apa yang dilakukan para penyelam Dinas Sejarah Angkatan Laut ini sangat berguna dalam pengumpulan dokumentasi kekayaan di dasar laut, sebuah kegiatan yang tidak bisa dibilang mudah untuk dilakukan dan beresiko tinggi. Sudah barang tentu semua objek kapal karam yang berusia diatas 50 tahun secara otomatis menjadi aset yang harus dilindungi sesuai UU no 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Harapan saya semoga TNI AL bisa bersinergi dengan Kementerian Kebudayaan sehingga ada pencapaian yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan kesejarahan."
Mengakhiri giat, di dalam mobil yang membawa kami meninggalkan Tulamben menuju Denpasar, Kadisjarahal berpesan: "Sejarah di perairan laut Indonesia ini melibatkan begitu banyak negara; Belanda, Amerika, Australia, Jepang, Jerman dan masih banyak lagi. Semoga rangkaian kegiatan semacam ini bukan saja membuat catatan sejarah dibentangkan dengan jelas, tapi juga menjadikan peristiwa masa lalu sebagai pembelajaran demi perdamaian dunia kedepannya."
Sumber : Naval History & Heritage CommandTsurukame Akira, ""Umi ni nemuru chichi wo motomete", Gakken co, Japan, 2007
---Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.