Tahun 1800-an, Dokter Resepkan Jenggot Sebagai Penangkal Kuman

By Gregorius Bhisma Adinaya, Rabu, 25 Juli 2018 | 11:32 WIB
Jenggot pernah tenar karena alasan kesehatan (Deagreez/Getty Images/iStockphoto)

Entah untuk menampilkan kesan “macho” dalam masyarakat modern atau hanya sekadar pernyataan fashion, namun menumbuhkan jenggot memang belakangan ini sedang naik daun.

Meskipun saat ini memelihara jenggot lebih karena alasan penampilan daripada kegunaannya, namun sebenarnya pada tahun 1800-an, jenggot juga sempat ngetren karena alasan kesehatan. Bahkan tren jenggot ini berasal dari dokter saat itu.

Baca juga: Gelombang Panas di Jepang Tewaskan 65 Penduduk Dalam Seminggu

Menurut sejarawan medis asal Inggris, Alun Withey dari Universitas Exeter, jenggot sebenarnya diresepkan oleh dokter sebagai obat untuk penyakit umum seperti sakit tenggorokan. Tidak hanya itu, dokter juga meresepkan jenggot sebagai filter udara alami.

Meskipun terdengar konyol, namun hal ini ternyata memiliki penjelasan tersendiri.

Seperti yang dijelaskan oleh Colin Schultz dalam Majalah Smithsonian, pada masa itu, kuman adalah penemuan yang relatif baru dan menakutkan. Bahkan hingga saat ini, ketakutan kita akan kuman menyebabkan bisnis sabun antibakteri, semprotan dan pembersih rumah tangga laris manis—meskipun secara ilmiah, produk seperti ini tidak berfungsi secara penuh.

Bagi mereka yang tinggal di era Victoria, “teori kuman penyakit” sangat tenar, masyarakat tiba-tiba dihadapkan dengan rentetan berita yang mengabarkan bahwa kuman yang mematikan dan tak kelihatan berkerumun di sekitar mereka. Tentu saat itu hal ini menyebabkan kepanikan yang memunculkan beberapa ide aneh.

Banyak orang mendatangi dokter untuk meminta perlindungan terhadap kuman. Beberapa dokter pun kemudian memiliki "ide cemerlang". Mereka mengatakan kepada masyarakat untuk menumbuhkan jenggot guna menyaring udara di sekitar.

Baca juga: Benarkah Manusia Hanya Memakai 10 Persen dari Kemampuan Otaknya?

Tidak hanya itu, dokter juga mengatakan bahwa rambut pada wajah dapat membantu racun lain, seperti debu batu bara dan kotoran-kotoran yang terdapat di udara.

Kepanikan akan kuman dan saran para pakar kesehatan ini akhirnya membuat banyak orang memutuskan untuk memelihara jenggot mereka.

Sekarang kita tahu bahwa Jenggot sempat populer karena alasan lain. Kepopuleran ini tidak terlepas dari andil dokter yang "menyiramkan bensin ke dalam api". Saat ini, kita tahu bahwa memiliki rambut di wajah tak cukup untuk melindungi diri kita dari kuman. Lagi pula, tidak semua kuman ataupun bakteri membawa dampak buruk. Setidaknya teori tentang kuman saat itu memunculkan kesadaran tinggi akan kesehatan.

Bertolak belakang dengan pendapat ahli sebelumnya, menurut Lauren Friedman dari Business Insider, wajah berjenggot berdampak pada berkurangnya higienitas. “Studi terbaru di Behavioral Ecology menunjukkan bahwa rambut di wajah dan tubuh berpotensi menjadi sarang dan tempat berkembang biak ektoparasit pembawa penyakit,” ungkap Friedman.

Lain halnya dengan Lauren Friedman, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Hospital Infection—meneliti sampel dari 408 staf rumah sakit—menemukan bahwa karyawan rumah sakit yang mencukur rambut di wajah mereka, tiga kali lebih rentan terhadap methicillin-resistant Staph aureus (MRSA).

Baca juga: Mi Instan Atau Nasi, Mana yang Lebih Mudah Membuat Tubuh Gemuk?

Resep jenggot untuk mencegah kuman dan bakteri bukanlah metode kesehatan yang paling konyol—sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan. Pada tahun 1700-an, dokter berpikir untuk memberi udara melalui pantat seseorang agar bisa menyelamatkannya bagi korban kasus tenggelam.

Lebih konyol lagi, selama abad pertengahan, banyak orang disarankan untuk kentut di dalam stoples agar tidak terjadinya penyebaran wabah penyakit.