Nationalgeographic.co.id - Suhu turun hingga -50 derajat celsius di musim dingin, udara hampir hampa oksigen dan tekanan yang rendah membuat sulit bernapas–semua kondisi ini membuat Antartika menjadi wilayah Bumi yang tidak bisa ditinggali manusia.
Menurut sebuah studi terbaru, untuk bertahan di Antartika yang ekstrem, para ilmuwan yang berkunjung ke sana kerap masuk ke dalam kondisi 'hibernasi psikologis'.
Tidak ada manusia yang tinggal di Antartika secara permanen. Namun, para peneliti harus mengunjungi wilayah tak tersentuh ini untuk melakukan observasi terkait astrofisika, glasiologi, geofisika, perubahan iklim, dan penipisan ozon.
Baca Juga : Semangat Mendidik dan Membangun Potensi Anak Berkebutuhan Khusus
Tak bisa dimungkiri, hidup di Antartika sangatlah sulit. Pemandangan alamnya yang berwarna putih sangat monoton dan privasi menjadi barang mewah di sini. Peneliti harus berinteraksi dengan kelompok kecil yang sama setiap harinya selama berbulan-bulan.
Menurut studi yang dipublikasikan pada jurnal Frontiers in Psychology, dalam beberapa kasus, peneliti dikirim ke Antartika tanpa ketentuan kapan mereka bisa pulang. Dan karena infrastruktur akan membuat Antartika rentan terhadap kerusakan, maka kemampuan menghubungi dunia luar benar-benar tidak ada di wilayah ini.
Penurunan mood dan gangguan tidur sering dialami peneliti saat musim terdingin di Antartika. Membuat mereka mengalami kondisi mental terparah yang sering disebut winter-over syndrome.
Proses penelitian
Untuk menyelidiki dampak musim dingin pada mereka yang berada di Antartika, ilmuwan mempelajari sesama rekan peneliti yang bertugas di Concordia Research Station, sebuah fasilitas penelitian di area yang dikenal sebagai Dome C (berada di ketinggian 10.604 kaki). Karena suhunya yang sangat ekstrem, tim peneliti di Concordia tidak pernah ke luar ruangan dan terisolasi.
Saat menjalankan studi, partisipan diasingkan ke tiga area di dalam ruangan dan dipantau dari Februari hingga November. Mereka kemudian diminta untuk mencatat jadwal tidur, mengisi kuesioner tentang kondisi mental serta mengungkapkan bagaimana mekanisme mereka dalam mengatasi kondisi emosional.
Setelah musim dingin berlalu, para peserta melaporkan 'penderitaan' tidur mereka dan mengaku kehilangan emosi positif.
Hibernasi psikologis
Nathan Smith, peneliti psikologi dan rasa aman dari University Manchester, menyatakan bahwa para peneliti yang bertugas di Antartika kerap menjalani 'hibernasi psikologis'. Untuk mengatasi keadaan sulit di sana, salah satu yang dilakukan peneliti untuk bertahan hidup adalah 'menghilangkan' diri mereka sejenak.
Smith menjelaskan: "Hibernasi psikologis merupakan mekanisme protektif untuk melawan stres kronis–yang mana masuk akal jika kondisinya benar-benar tidak bisa ditangani. Anda pasti berusaha rileks dan menolak berupaya keras agar energi tetap terjaga."
"Namun, di sisi lain, ini akan berbahaya, karena Anda mungkin lambat bereaksi terhadap apa yang terjadi. Di lingkungan dengan cuaca ekstrem, jika tidak dapat menangani masalah secepat mungkin, itu bisa mengakibatkan cedera serius atau kematian," tambahnya.
Baca Juga : Catatan John Allen Chau Ungkap Detik-detik Sebelum Ia Tewas Dibunuh Suku Sentinel
Beruntung, menurut Smith, pusat penelitian di Antartika saat ini jauh lebih layak huni. Fasilitasnya memberikan perlindungan yang tinggi. Dengan begitu, mengaktifkan hibernasi psikologis seperti mengistirahatkan diri sejenak dan tidak mempedulikan apa pun bisa efektif mengatasi stres.
Selain peneliti di Antartika, astronaut di luar angkasa yang tinggal dalam kondisi yang sama–ketinggian ekstrem, isolasi, dan terbatasnya ruang–juga bisa memakai mekanisme hibernasi psikologis ini saat stres mengeksplorasi luar angkasa.
Source | : | Newsweek |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR