Arak-arakan pernikahan mewah itu bergerak melambat menyeberangi jembatan menuju pintu gerbang selatan Kastil Batavia, kemudian memasuki kastil menuju balai kota dan gereja. Akibatnya, terjadi kemacetan yang mengular di sepanjang jalan hingga di halaman dalam kastil. Sebuah masalah bagi kota yang baru dibangun ini.
Pamer kekayaan di depan publik juga mewarnai pemerintah Batavia abad ke-17. Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) sengaja membuat “Aturan tentang Perayaan Resmi dan Megah” pada 30 Desember 1754. Aturan yang dibikinnya berkait dengan kepemilikan simbol kekayaan yang paling nyata saat itu: kereta kuda dan parasol.
Tujuan peraturan tersebut sekadar membedakan status sosial warga Batavia, bukan membedakan antara warga Eropa dan Asia. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam VOC, semakin mewah upacara pernikahannya, dan semakin banyak jumlah barang mahal yang diperbolehkan.
Akhirnya, pada masa Gubernur Jenderal Willem Alting (1780-1797), pemerintah kota melarang penggunaan iring-iringan kereta kuda untuk acara pernikahan. Aturan pun tegas, bagi yang melanggar akan didera denda.
Dalam peraturan Mossel tersebut, perayaan keluarga—seperti pembaptisan dan pernikahan—akan dikenakan pajak. Pajak dihitung berdasarkan jumlah kereta kuda yang menghadiri perhelatan tersebut.
Rupanya, pajak tidak mempan untuk menyurutkan arak-arakan kereta nan mewah dan panjang dalam perhelatan pernikahan. Dan, hal ini kerap menjadi biang kemacetan. Akhirnya, pada masa Gubernur Jenderal Willem Alting (1780-1797), pemerintah kota melarang penggunaan iring-iringan kereta kuda untuk acara pernikahan. Aturan pun tegas, bagi yang melanggar akan didera denda. Pemungutan denda dilakukan oleh pihak gereja.
Warga Batavia tampaknya punya tabiat pamer kekayaan—mungkin hal itu diwariskan juga kepada penghuninya sampai hari ini—sehingga denda berapapun yang dibayarkan justru akan menambah prestise si pembayar denda.
Baca Juga: Saatnya Gulungan Arsip VOC Ungkap Losmen Lampu Merah di Batavia
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR