Nationalgeographic.co.id - Tampaknya kemacetan lalu lintas Jakarta bukan masalah baru. Warga pendahulunya sudah mengalami kemacetan serupa sejak abad ke-17.
Meskipun tidak separah hari ini, lalu lintas Batavia—nama lama untuk Jakarta—kerap didera kemacetan setiap kali ada pesta pernikahan. Arak-arakan kereta berkuda tak terhitung banyaknya, apalagi kalau yang punya hajat adalah keluarga pejabat VOC. Mereka menuju Kastil Batavia untuk melaksanakan prosesi pemberkatan dan pencatatan sipil.
Arak-arakan pernikahan mewah itu bergerak melambat menyeberangi jembatan menuju pintu gerbang selatan Kastil Batavia, kemudian memasuki kastil menuju balai kota dan gereja.
Kastil Batavia nan megah di muara Sungai Ciliwung itu memang sudah tidak ada lagi. Lokasinya kini dibelah Jalan Tongkol, di kawasan Kota Tua Jakarta. Setidaknya, ada tiga bangunan semasa yang menjadi saksi atas kemegahan Kastil Batavia: gedung Galangan Kapal VOC, Gudang VOC Timur, dan Gudang VOC Barat yang kini menjadi Museum Bahari.
Kala itu, kereta mempelai yang ditarik empat ekor kuda biasanya diiringi kereta-kereta kuda lain yang membawa serta keluarga besar, kerabat, dan teman. Jumlah kuda penarik kereta juga menandakan kelas. Keluarga Gubernur Jenderal, misalnya, menggunakan kereta yang dihela enam ekor kuda.
Arak-arakan pernikahan mewah itu bergerak melambat menyeberangi jembatan menuju pintu gerbang selatan Kastil Batavia, kemudian memasuki kastil menuju balai kota dan gereja. Akibatnya, terjadi kemacetan yang mengular di sepanjang jalan hingga di halaman dalam kastil. Sebuah masalah bagi kota yang baru dibangun ini.
Pamer kekayaan di depan publik juga mewarnai pemerintah Batavia abad ke-17. Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) sengaja membuat “Aturan tentang Perayaan Resmi dan Megah” pada 30 Desember 1754. Aturan yang dibikinnya berkait dengan kepemilikan simbol kekayaan yang paling nyata saat itu: kereta kuda dan parasol.
Tujuan peraturan tersebut sekadar membedakan status sosial warga Batavia, bukan membedakan antara warga Eropa dan Asia. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam VOC, semakin mewah upacara pernikahannya, dan semakin banyak jumlah barang mahal yang diperbolehkan.
Akhirnya, pada masa Gubernur Jenderal Willem Alting (1780-1797), pemerintah kota melarang penggunaan iring-iringan kereta kuda untuk acara pernikahan. Aturan pun tegas, bagi yang melanggar akan didera denda.
Dalam peraturan Mossel tersebut, perayaan keluarga—seperti pembaptisan dan pernikahan—akan dikenakan pajak. Pajak dihitung berdasarkan jumlah kereta kuda yang menghadiri perhelatan tersebut.
Rupanya, pajak tidak mempan untuk menyurutkan arak-arakan kereta nan mewah dan panjang dalam perhelatan pernikahan. Dan, hal ini kerap menjadi biang kemacetan. Akhirnya, pada masa Gubernur Jenderal Willem Alting (1780-1797), pemerintah kota melarang penggunaan iring-iringan kereta kuda untuk acara pernikahan. Aturan pun tegas, bagi yang melanggar akan didera denda. Pemungutan denda dilakukan oleh pihak gereja.
Warga Batavia tampaknya punya tabiat pamer kekayaan—mungkin hal itu diwariskan juga kepada penghuninya sampai hari ini—sehingga denda berapapun yang dibayarkan justru akan menambah prestise si pembayar denda.
Baca Juga: Saatnya Gulungan Arsip VOC Ungkap Losmen Lampu Merah di Batavia
Seolah sudah menjadi gaya hidup, arak-arakan kereta kuda yang mengantar pengantin dan keluarga mereka sengaja datang terlambat ke prosesi pemberkatan di gereja. Pasangan datang terlambat setelah lonceng gereja berdentang ketiga kalinya. Saat terlambat dan dinantikan oleh banyak tamu undangan itulah kedua mempelai ingin menunjukkan status sosial mereka sebagai keluarga yang mampu. Denda pun menjelma sebagai alat penegas gengsi.
Sengaja datang terlambat dan menjadi biang kemacetan sudah menjadi mode dan prestise masyarakat berkelas pada abad ke-17. Kemudian, pemerintah kota pun berupaya mengaturnya lagi dengan denda tambahan: Bagi mereka yang menggunakan satu kereta pengiring atau lebih, maka mereka wajib membayar denda dua kali lipat.
Tak semua warga Batavia berasal dari status sosial yang tinggi. Ada juga yang keberatan soal denda ini. Pasangan pengantin yang keberatan mencoba mengakalinya dengan cara menghentikan iring-iringan di tepian Kali Besar, agak jauh dari gereja. Lalu, mereka melanjutkan dengan jalan kaki menuju gereja sehingga menghindari kemacetan dan terbebas dari denda.
Baca Juga: Temuan Peti Harta Karun Kapal Rempah VOC yang Berlayar ke Batavia 1740
Kisah ini dinukil dari buku karya Hendrik E. Niemeijer dan buku lain karya Jean Gelman Taylor. Keduanya mengabarkan kepada kita tentang kehidupan sosial di Batavia pada abad ke-17 dan ke-18.
Hendrik adalah seorang ahli dalam sejarah Indonesia yang menerima gelar doktoralnya dalam Sejarah Indonesia Modern dari Vrije Universiteit, Amsterdam, pada 1996. Ia merilis bukunya bertajuk Batavia: Een koloniale samenliving in de 17de eeuw Amsterdam yang terbit pada 2005. Edisi bahasa Indonesianya, Batavia: Masyarakat Kolonial Abad ke-17, telah diterbitkan oleh Masup Jakarta pada 2012.
Sementara The Social World of Batavia karya Jean terbit pada 1983, dan telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Masup Jakarta pada 2009 dengan judul Kehidupan Sosial di Batavia. Ia merupakan lulusan University of Melbourne dalam kajian Prancis dan Indonesia, serta doktoral dalam bidang sejarah dari University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat.
Apakah perilaku pamer kekayaan dan datang terlambat yang kerap kita jumpai dalam kehidupan masa kini di Kota Jakarta merupakan kelanjutan tabiat penghuni awal Kota Batavia?
Baca Juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR