Nationalgeographic.co.id— Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-18, orang-orang Sumbawa mendirikan permukiman di Batavia, tepatnya kawasan tepi Kali Krukut dan berbatasan dengan Pecinan Glodok. Keberadaan mereka tercatat pertama kalinya sejumlah 168 orang dalam cacah jiwa di Batavia pada 1759. Sebuah nama kampung dan tempat ibadah berlanggam Cina telah menjadi penandanya, Masjid Tambora di Kampung Tambora.
Wajah masjid itu telah berubah, tak beda dengan masjid-masjid yang dibangun pada masa kemudian. Tampaknya pelebaran dan renovasi besar-besaran masjid ini pada 1971 telah mengubah penampilan klasiknya.
Namun, tak semua tengara kekunoan masjid ini lenyap. Empat pilar yang menyangga bangunan intinya masih menampakkan tumpuan bersegi delapan—perlambang bunga teratai dalam budaya Cina. Pada bagian atas mimbarnya terdapat untaian aksara Arab, yang menerangkan bahwa masjid ini dibangun pada 1761.
Baca Juga : Keraton Yogyakarta Terlibat dalam Siasat Menjebak Dipanagara?
Di pelataran depannya masih terdapat dua nisan bercungkup dengan gaya Cina yang berhias porselen biru asal Delft, Belanda. Budaya tutur warga setempat menungkapkan dua nisan itu merupakan makam Kyai Haji Moestodjib dan Ki Daeng. Keduanya diyakini warga sebagai leluhur mereka yang berasal dari daerah di sekitar Gunung Tambora di Sumbawa, dan dua sosok yang kerap dihubungkan dengan pendiri Masjid Tambora.
Sekitar empat dekade silam, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta mencatat penuturan secara lisan tentang Moestodjib. Dia datang ke Batavia sebagai tawanan bersama serombongan orang asal Sumbawa pada 1756. Selepas kerja paksa selama lima tahun, dia dibebaskan dan mendirikan masjid sebagai tanda syukur pada 1761. Kemudian, Moestodjib dikabarkan wafat pada 1836.
“Namun ini kurang masuk akal,” ungkap Adolf Heuken perihal angka tahun-tahun tersebut dalam bukunya Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. “Apalagi kalau ia sudah naik haji sebelum tiba di Jakarta.” Ahli sejarah Jakarta asal Jerman itu juga mengungkapkan, “Kadang H. Moestodjib dianggap dua orang, kadang hanya satu.” Sementara soal dua nisan di pelataran masjid, Heuken berkomentar, “Hal seperti ini bisa merupakan penunjukan belakangan. Latar belakang historis H. Moestodjib perlu diselidiki lebih lanjut menurut sumber-sumber otentik.”
Mereka mengungkapkan bahwa jatidiri Kampung Tambora berasal dari akhir abad ke-17—atau sekitar seratus tahun sebelum Masjid Tambora berdiri. Kisah mereka lebih rumit lantaran terkait dengan peran para pangeran asal Sumbawa dan Gowa dalam membantu pemberontakan Trunajaya pada 1677-1679.
Nuruddin, seorang pangeran muda Kesultanan Bima, turut dalam ekspedisi ke Jawa pada awal paruh kedua abad ke-17. Kesultanan Bima berhubungan erat dengan Kesultanan Gowa di Makassar. Bersama laskar Gowa, Nuruddin membantu laskar Trunajaya yang memerangi Amangkurat I dan Amangkurat II di Mataram yang berada di pihak VOC. Meski mengalami kekalahan, laskar Nuruddin dan laskar Gowa bergabung dengan laskar Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, demikian ungkap Ismail dan Alan.
Keduanya juga mengungkapkan, lantaran seorang putera Sultan Banten berkhianat, Nuruddin bersama 19 anggota laskar ditangkap oleh Belanda ketika sedang menuntut ilmu di Cirebon. Kemudian mereka menjadi tawanan di Batavia.
“Tempat tawanan pejuang muda bersama laskar itu,” ungkap mereka, “sampai sekarang dikenal dengan Tambora, berada di Jakarta Kota Wilayah Barat.” Kemudian mereka melanjutkan, “Di sana terdapat bangunan masjid kuno yang bernama Masjid Tambora.”
Baca Juga : Singkap Misteri Lamassu di Sudut Perkantoran Hindia Belanda
Selepas ekspedisi militer ke Jawa, Nuruddin bertakhta sebagai Sultan Bima III pada usia 31 tahun. Dia memerintah pada 1682-1687, dan wafat dalam usia 36 tahun.
Namun penuturan Ismail dan Malingi tentang asal-usul Kampung Tambora tadi sejatinya masih terdengar janggal. Bukankah Nuruddin merupakan seorang pangeran asal Bima, yang kelak memiliki wilayah terpisah dengan Kerajaan Tambora? Mengapa orang-orang justru mengenang tempat Nuruddin sebagai tawanan itu sebagai "Kampung Tambora"?
Kedahsyatan amukan Gunung Tambora pada 10 April 1815 telah membinasakan peradaban manusia di pinggang gunung itu, termasuk Kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora. Sejarah dua kerajaan itu kerap dikaitkan dengan pelarian para bangsawan Gowa ke Semenanjung Sanggar karena kekalutan politik pascaperjanjian Bongaya pada abad ke-17.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR