Nationalgeographic.co.id - Angin sejuk mengalun bersama kumandang adzan zuhur. Gedung-gedung tinggi memagari kanal ajaib Kota Dubai. Saya melangkah pelan sembari menikmati lanskap kota. Sesekali melintas perempuan muda dengan pakaian olahraga ketat dan berpelantang telinga yang tengah berjoging. Saya juga berpapasan dengan seorang lelaki paruh baya—sepertinya orang Eropa—mengendarai skuter yang ditarik oleh anjing peliharaannya. Suhu siang itu berkisar 19 derajat celsius, cukup nyaman untuk kegiatan luar ruang.
Ini begitu nyata sekaligus menakjubkan bagi saya yang sehari-hari hidup di negara sedang berkembang. Hari ini saya berkesempatan berdiri di jantung kota transformasi urban paling dahsyat di muka Bumi.
Baca Juga : Inilah 11 Alasan Mengapa Traveling Membuat Hidup Kita Lebih Bahagia
Negara bagian di Uni Emirat Arab ini sebelumnya hanya gurun tandus dan kering. Penduduknya pun tinggal berpencar, dan berlindung dalam tenda-tenda. Desa-desa nelayan hidup mengelilingi sungai kecil, juga dikenal sebagai Dubai Creek. Di musim panas, Matahari memaparkan sengatannya hingga mencapai suhu 50 derajat celsius. Rombongan pedagang yang menunggangi unta-unta di masa silam berganti dengan raungan mesin mobil yang bergema di dinding-dinding gedung pencakar langit.
Bersama The Urban Explorer Oppo R17Pro saya melakukan penjelajahan kali ini untuk pelaporan jurnalistik. Saya mengambil foto dengan fitur Night Mode mutakhir ini. Dubai menjadi pilihan menarik sebagai latar belakang imaji. Hasilnya, gemerlap malam di Arab yang tersiar megah.
Keandalan fitur Night Mode ini kembali teruji di Dubai Fountain, sebuah atraksi air mancur terbesar di dunia. Berlokasi di danau tepat di kaki Burj Khalifa, di antara Dubai Mal dan Souk Al Bahar. Pengunjung dapat menikmati pertunjukan megah air mancur berpadu dengan teknologi pencahayaan modern secara gratis. Perpaduan refleksi gemerlap lampu dari Burj Khalifa dan lenggak-lenggok air mancur yang menari-nari pada malam itu tertangkap sempurna oleh kamera ini.
Sekali lagi, Dubai tidak pernah tanggung dalam menjalankan obsesinya. Kota ini senantiasa ada di garis depan perlombaan.
Sabtu tengah malam, saya menyusuri kawasan Marina, Dubai. Sekelompok anak muda berjejer menggelayuti kedai-kedai sepanjang sungai. Anak-anak kecil bermain otoped dan bola karet, riang berlarian menghindari ramainya orang berjalan.
Alunan lagu La Vie En Rose dari Edith Piaf kembali terdengar dari Dubai Fountain, menandai sesi terakhir dari pertunjukkan akan segera berlangsung. Inilah pengalaman yang menakjubkan ketika saya berkesempatan menyaksikan semuanya dari kaki gedung ikonik tertinggi di Bumi. Bulu roma saya merinding, begitu alunan musik dan pertunjukkan lampu bermula. Yang lebih menakjubkan, sepertinya semua pengunjung merasakan ekspresi hal yang sama.
Penulis | : | Didi Kaspi Kasim |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR