Nationalgeographic.co.id – Jika Anda berkunjung ke desa Doudo, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, beberapa tahun yang lalu, Anda akan menemukan wilayah yang gersang. Sedari dulu, Doudo memang dikenal sebagai desa yang mengalami kesulitan air. Kehidupan warganya hanya bergantung pada telaga yang luasnya tidak lebih dari 1,8 hektare.
Dengan air telaga itu lah, warga desa memenuhi kebutuhan sehari-harinya, mulai dari mandi, minum, mencuci, hingga WC umum.
Tentu saja telaga tidak mampu mencukupi kebutuhan air ribuan warga sepanjang tahun. Jika musim kemarau datang, mereka bahkan kesulitan untuk membersihkan kotorannya. Hal ini menimbulkan masalah lain, seperti timbulnya penyakit seperti muntaber dan demam berdarah.
Baca Juga : Perjuangan Warga Lokal Melawan Abrasi di Pesisir Utara Pulau Madura
Pada Agustus 2007, Doudo mengalami kekeringan yang cukup ekstrem. Kondisi telaga yang kering kerontang memaksa mereka untuk mencari air ke desa tetangga. Tak jarang, penduduk harus membeli air dengan harga Rp170 ribu per tangkinya.
Konon katanya, jika di sebuah desa terdapat telaga, maka tidak akan ada sumber air lagi di sana. Percaya atau tidak, ituulah yang terjadi pada Doudo. Setelah melakukan berbagai kajian dan penelitian, memang benar-benar tidak ada sumber air di sana.
Namun, Sutomo, yang menjadi Kepala Desa saat itu, tidak ingin berpasrah diri dengan keadaan. “Saya berpikir, masa sih pemerintah desa tidak bisa memberikan kesejahteraan air bersih pada warganya? Makanya berusaha menjawab tantangan tersebut,” tutur Sutomo.
Dengan harapan yang tinggi dari para penduduk desa, Sutomo berusaha mencari sumber air di luar permukiman. Beruntung, di perbatasan desa––sekitar 1,5 kilometer dari pusat Doudo––ditemukan mata air. Pada 2008, Doudo pun melakukan pengeboran sumur pertama. Dibantu oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Gresik sehingga air bersih sudah mengalir menuju rumah-rumah warga. Dan pada 2017, Pertamina EP Asset 4 Field Poleng juga memberi bantuan pompa untuk memperluas akses air di Doudo.
Dari kekurangan menjadi berlimpah
Sejauh ini, empat sumur sudah dibangun di Doudo, dan ada satu yang masih dalam proses pengerjaan. Dengan adanya sumur-sumur tersebut, semua penduduk Doudo (398 kk) sudah terpenuhi akses air bersih. Kekeringan pun tidak pernah menghantui desa ini lagi.
Dalam memanfaatkan air, ada beberapa hal yang diperhatikan oleh warga desa Doudo. “Pertama, tercukupi air minum dulu. Setelah terpenuhi, baru untuk yang lain. Misalnya, kami membiasakan cuci tangan pakai sabun, kemudian kegiatan harian seperti pertanian dan niaga,” papar Sutomo yang kini menjadi Penanggung Jawab Teknis Sistem Penyedia Air Minum dan Sanitasi (SPAMS) Qurnia di Doudo.
Dengan produksi air yang melimpah, Doudo bahkan bisa membagikan airnya ke desa-desa tetangga seperti Sekapuk dan Wotan.
Tidak berhenti di situ, desa Doudo yang ke depannya bercita-cita menjadi Edu Green Village, menggunakan air untuk menata lingkungan. Di beberapa titik, ada lima keran air nonberbayar di setiap RT yang bisa digunakan warga kapan saja. SPAMS memberikannya secara cuma-cuma––Sutomo sendiri menyebutnya sebagai “air sosial”.
Baca Juga : Kisah Anak-anak yang Tinggal di Dekat Taman Nasional, Lebih Sehat dan Makmur?
Biasanya, air dari keran ini digunakan penduduk untuk menyiram tanaman setiap sore. Ya, semua rumah di Doudo wajib menanam tumbuhan di pekarangan rumahnya. Inilah yang membuat Doudo tampak asri. Mulai dari RT 1 sampai RT 5, Anda akan menemukan pemandangan hijau. Mereka bahkan memiliki kampung tematik berbasis lingkungan, seperti Kampung Sayur, Kampung 3R (Reuse, Reduce, Recycle), Kampung Aloe Vera, dan yang lainnya.
Dengan ini, target 100-0-100 yang dimiliki Doudo pun berhasil tercapai. Sebanyak 100% warga sudah bisa mengakses air bersih, tidak ada lagi kekumuhan di Doudo (0%), dan 100% penduduk sudah memiliki sistem sanitasi yang baik.
Kemampuan Doudo untuk bangkit dari kekeringan dan mengubah desanya menjadi hijau, rindang, dan asri, menginspirasi beberapa daerah lain. Doudo kerap menjadi desa percontohan dan berhasil memenangkan kompetisi lingkungan, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional. Termasuk juara Indonesia Green Awards (IGA) 2018 kategori Penyelamatan Sumber Daya Air dengan program ‘Mata Air Desaku’, serta Program Kampung Iklim (ProKlim) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR