Nationalgeographic.co.id— Ketika ibu kota Republik Indonesia berada di Yogyakarta, Soekarno tinggal di Istana Kepresidenan. Warga kota menyebut rumah besar tinggalan residen Belanda itu dengan “Loji Kebon”—halamanya luas dengan pepohonan rindang. Yogyakarta menjadi ibu kota negara semenjak 4 Januari 1946 sampai akhir 1949.
Soekarno memang fasih berbahasa Inggris. Namun, untuk siaran pidato berbahasa Inggris pertamanya, dia mempercayakan teksnya kepada seorang perempuan warga negara Amerika, kelahiran Inggris Raya—berdarah Viking.
Nama perempuan itu K’tut Tantri, sebuah nama yang diberikan Raja Bali kepadanya. Nama sejatinya adalah Muriel Stuart Walker. Setelah turut bergerilya bersama Bung Tomo dan pejuang Republik di Jawa Timur, Tantri pindah ke Yogyakarta. Selama di kota itu Tantri ditempatkan di Hotel Merdeka—kini Hotel Garuda—di Jalan Malioboro, bersama para negarawan Republik.
Ali Sastroamidjojo menugaskan kepada Tantri untuk membuat pidato berbahasa Inggris. Awalnya, dia menolak lantaran tak punya pengalaman tulis-menulis soal pidato politik, apalagi setingkat kepala negara.
Baca juga: Kesaksian Serdadu Australia Kala Ditawan Militer Indonesia di Surabaya
Soekarno sebenarnya lancar berbahasa Inggris, demikian menurut Tantri. "Tetapi itu pidato radionya yang pertama dalam bahasa itu."
Mungkin Sang Presiden berpikiran apabila ada seorang dengan bahasa Inggris sebagai bahasa asalnya, tentu akan lebih baik dalam membimbingnya.
“Aku lantas memusatkan pikiran, berusaha mengingat-ingat tulisan dan ucapan tokoh-tokoh demokrasi Amerika,” ungkap Tantri. Dia berhasil merumuskan ide-ide dari pemikiran Thomas Paine, Jefferson, Abraham Lincoln, dan sederet negarawan Amerika Serikat lainnya.
Soekarno dengan mantap membaca pidato berbahasa Inggris karya Tantri lewat corong Radio Republik Indonesia. Gaya Soekarno dalam membaca itu tampaknya telah memberikan makna yang lebih dalam bagi siapa saja yang mendengarnya, demikian pendapat Tantri.
“Pidato radio itu sukses besar,” ungkapnya. “Aku sangat terharu ketika mendengar suara Bung Karno yang berat dan penuh perasaan membaca naskahku.”
Hari itu pun Soekarno memanggil Tantri untuk datang ke Istana. Perempuan itu datang dengan busana kebaya dengan lengan berbalut merah-putih. Dia tercengang menyaksikan Soekarno yang tidak berseragam khaki atau setelan serba putih, melainkan bersarung dengan jas pendek dan mengenakan kopiah sebagai tutup kepalanya. “Kurasa selama ini belum ada orang kulit putih yang pernah melihatnya memakai sarung,” ungkap Tantri. “Kelihatannya tampan sekali!”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR